BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pemikiran-pemikiran para filosof
dari pada ajaran dan wahyu dari Allah sehingga banyak ajaran Islam yang tiddak
mereka akui karena menyelisihi akal menurut prasangka mereka Berbicara
perpecahan umat Islam tidak ada habis-habisnya, karena terus menerus terjadi
perpecahan dan penyempalan mulai dengan munculnya khowarij dan syiah kemudian
muncullah satu kelompok lain yang berkedok dan berlindung dibawah syiar akal
dan kebebasan berfikir, satu syiar yang menipu dan mengelabuhi orang-orang yang
tidak mengerti bagaimana Islam telah menempatkan akal pada porsi yang benar.
sehingga banyak kaum muslimin yang terpuruk dan terjerumus masuk pemikiran
kelompok ini. Akhirnya terpecahlah dan berpalinglah kaum muslimin dari agamanya
yang telah diajarkan Rasulullah dan para shahabat-shahabatnya.
Akibat dari hal
itu bermunculanlah kebidahan-kebidahan yang semakin banyak dikalangan kaum
muslimin sehingga melemahkan kekuatan dan kesatuan mereka serta memberikan
gambaran yang tidak benar terhadap ajaran Islam, bahkan dalam kelompok ini
terdapat hal-hal yang sangat berbahaya bagi Islam yaitu mereka lebih
mendahulukan akal dan mencampakan dalil-dalil dari Al-qur’an dan As-Sunnah.
Oleh karena itu sudah menjadi kewajiban bagi seorang muslim untuk
menasehati saudaranya agar tidak terjerumus kedalam pemikiran kelompok ini
yaitu kelompok Mu'tazilah yang pengaruh penyimpangannya masih sangat terasa
sampai saat ini dan masih dikembangkan oleh para kolonialis kristen dan yahudi
dalam menghancurkan kekuatan kaum muslimin dan persatuannya. Oleh karena itu
perlu dibahas asal pemikiran ini agar diketahui penyimpangan dan penyempalannya
dari Islam, maka dalam pembahasan kali ini dibagi menjadi beberapa pokok
pembahasan.[1]
B. Perumusan
Masalah
Dalam karya ilmiah ini penulis akan memaparkan pembahasan tentang teologi
aliran Mu’tazilah seperti pembahasan di bawah ini.
1.
Bagaimana sejarah perkembangan aliran Mu’tazilah ?
2.
Apa doktirn-doktrin yang menjadi ajaran aliran Mu’tazilah ?
3.
Siapa saja tokoh-tokoh Aliran Mu’tazilah ?
C. Tujuan
Penulisan
Dari penjelasan di atas penulis bertujuan untuk memenuhi tugas akhir pada
mata kuliah Bahasa Indonesia.
D. Manfaat
Penulisan
Untuk memperdalam pemahaman mahasiswa agar mempunyai wawasan yang luas
tentang teologi aliran Mu’tazilah.
BAB II
TEOLOGI ALIRAN MU’TAZILAH
A. Sejarah
kemunculan
Sejarah munculnya mu’tazilah kelompok pemuja akal ini muncul di kota
Bashrah (IraQ), pada abad ke-2 Hijriyah, antara tahun 105-110 H, tepatnya pada
masa pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan khalifa Hisyam Bin Abdul
Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan
Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal, nah kemunculan
ini adalah karena Wasil bin Atha' berpendapat bahwa muslim berdosa besar bukan
mukmin dan bukan kafir yang berarti ia fasik. Imam Hasan al-Bashri berpendapat
mukmin berdosa besar masih berstatus mukmin. Inilah awal kemunculan paham ini
dikarenakan perselisihan tersebut antar murid dan Guru, dan akhirnya golongan
mu’tazilah pun dinisbahkan kepadanya. Seiring dengan bergulirnya waktu,
kelompok Mu’tazilah semakin berkembang dengan sekian banyak sektenya. Hingga
kemudian para dedengkot mereka mendalami buku-buku filsafat yang banyak
tersebar di masa khalifah Al-Makmun. Maka sejak saat itulah manhaj mereka
benar-benar terwarnai oleh manhaj ahli kalam (yang berorientasi pada akal dan
mencampakkan dalil-dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah).
Oleh karena itu, tidaklah aneh bila kaidah nomor satu mereka berbunyi:
“Akal lebih didahulukan daripada syariat (Al Qur’an, As Sunnah dan Ijma’) dan
akal-lah sebagai kata pemutus dalam segala hal. Bila syariat bertentangan
dengan akal menurut persangkaan mereka, maka sungguh syariat tersebut harus
dibuang atau ditakwil. Ini merupakan kaidah yang batil, karena kalaulah akal
itu lebih utama dari syariat maka Allah akan perintahkan kita untuk merujuk
kepadanya ketika terjadi perselisihan. Namun kenyataannya Allah perintahkan
kita untuk merujuk kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, sebagaimana yang terdapat
dalam Surat An-Nisa: 59. Kalaulah akal itu lebih utama dari syariat maka Allah
tidak akan mengutus para Rasul pada tiap-tiap umat dalam rangka membimbing
mereka menuju jalan yang benar sebagaimana yang terdapat dalam An-Nahl: 36.
Kalaulah akal itu lebih utama dari syariat maka akal siapakah yang dijadikan
sebagai tolok ukur?! Dan banyak hujjah-hujjah lain yang menunjukkan batilnya
kaidah ini.
Mengapa disebut Mu’tazilah ? Mu’tazilah, secara etimologis bermakna:
orang-orang yang memisahkan diri. Sebutan ini mempunyai suatu kronologi yang
tidak bisa dipisahkan dengan sosok Al-Hasan Al-Bashri, salah seorang imam di
kalangan tabi’in.Asy-Syihristani berkata: (Suatu hari) datanglah seorang
laki-laki kepada Al-Hasan Al-Bashri seraya berkata: “Wahai imam dalam agama,
telah muncul di zaman kita ini kelompok yang mengkafirkan pelaku dosa besar (di
bawah dosa syirik). Dan dosa tersebut diyakini sebagai suatu kekafiran yang
dapat mengeluarkan pelakunya dari agama, mereka adalah kaum Khawarij. Sedangkan
kelompok yang lainnya sangat toleran terhadap pelaku dosa besar (di bawah dosa
syirik), dan dosa tersebut tidak berpengaruh terhadap keimanan. Karena dalam
madzhab mereka, suatu amalan bukanlah rukun dari keimanan dan kemaksiatan tidak
berpengaruh terhadap keimanan sebagaimana ketaatan tidak berpengaruh terhadap
kekafiran, mereka adalah Murji’ah umat ini. Bagaimanakah pendapatmu dalam
permasalahan ini agar kami bisa menjadikannya sebagai prinsip (dalam
beragama)?” Al-Hasan Al-Bashri pun berpikir sejenak dalam permasalahan
tersebut. Sebelum beliau menjawab, tiba-tiba dengan lancangnya Washil bin Atha’
berseloroh: “Menurutku pelaku dosa besar bukan seorang mukmin, namun ia juga
tidak kafir, bahkan ia berada pada suatu keadaan di antara dua keadaan, tidak
mukmin dan juga tidak kafir.” Lalu ia berdiri dan duduk menyendiri di salah
satu tiang masjid sambil tetap menyatakan pendapatnya tersebut kepada
murid-murid Hasan Al-Bashri lainnya. Maka Al-Hasan Al-Bashri berkata: “Washil
telah memisahkan diri dari kita”, maka disebutlah dia dan para pengikutnya
dengan sebutan Mu’tazilah. Pertanyaan itu pun akhirnya dijawab oleh Al-Hasan
Al-Bashri dengan jawaban Ahlussunnah Wal Jamaah: “Sesungguhnya pelaku dosa
besar (di bawah dosa syirik) adalah seorang mukmin yang tidak sempurna imannya.
Karena keimanannya, ia masih disebut mukmin dan karena dosa besarnya ia disebut
fasiq (dan keimanannya pun menjadi tidak sempurna)”.[2]
B.
Sebab penamaannya
Para Ulama telah berselisih tentang sebab penamaan kelompok (aliran) ini
dengan nama Mu'tazilah menjadi beberapa pendapat:
Pertama: Berpendapat bahwa sebab penamaannya adalah karena berpisahnya
Waashil bin Atho' dan Amr bin Ubaid dari majlis dan halaqohnya Al Hasan Al
Bashry. Hal ini didasarkan oleh riwayat yang mengisahkan bahwa ada seseorang
yang menemui Al Hasan Al Bashry, lalu berkata:wahai imam agama. Telah muncul
pada zaman kita ini satu jamaah yang mengkafirkan pelaku dosa besar dan dosa
besar menurut mereka adalah kekafran yang mengeluarkan pelakunya dari agama,
dan mereka adalah Al Wa'iidiyah khowarij dan jamaah yang menangguhkan pelaku
dosa besar, dan dosa besar menurut mereka tidak mengganggu (merusak) iman,
bahkan amalan menurut mazhab mereka bukan termasuk rukun iman, dan iman tidak
rusak oleh kemaksiatan, sebagaiman tidak bermanfaat ketaatan bersama kekufuran,
dan mereka adalah murjiah umat ini, maka bagaimana engkau memberikan hukum bagi
kami dalam hal itu secara i'tikad? Lalu Al Hasan merenung sebentar tentang hal
itu, dan sebelum beliau menjawab, berkata Waashl bin Atho': saya tidak akan
mengatakan bahwa pelaku dosa besar itu mu'min dan tidak juga kafir, akan tetapi
dia di dalam satu kedudukan diantara dua kedudukan tersebut (manzlah baina
manzilatain), tidak mu'min dan tidak kafir. Kemudian dia berdiri dan memisahkan
diri ke satu tiang dari tiang-tiang masjid menjelaskan jawabannya kepada para
murid Al Hasan, lalu berkata Al Hasan : telah berpisah (i'tizal) dari kita
Washil, dan Amr bin Ubaid mengikuti langkah Waashil, maka kedua orang ini
beserta pengikutnya dinamakan Mu'tazilah.
Berkata A Qodhi Abdul Jabaar Al Mu'tazily dalam menafsirkan sebab penamaan
mereka ini:telah terjadi dialog antara Waashil bin Atho' dan Amr bin Ubaid
dalam permasalahan ini -permasalahan pelaku dosa besar-lalu Amr bin Ubaid
kembali ke mazhabnya dan meninggalkan halaqoh Al Hasan Al Bashry dan memisahkan
diri, lalu mereka menamainya Mu'tazily, dan ini adalah asal penggelaran Ahlul
Adil dengan Mu'tazilah.
Kedua: Berpendapat bahwa mereka dinamai demikian karena ucapan imam Qatadah
kepada Utsman Ath Thowil: siapa yang menghalangimu dari kami? apakah mereka
Mu'tazilah yang telah menghalangimu dari kami? Akujawab:ya.
BerkataIbnuAblIzzy : dan mu'tazilahadalah Amr bin
Ubaid dan Waashil bin Atho' Al Ghozaalserta para pengikutnya,
merekadinamakandemikiankarenamerekamemisahkandiri dari Al Jamaahsetelahwafatnya
Al Hasan Al Bashry di awal-awalabadkedua dan merekaitubermajlissendiri dan
terpisah, sehnggaberkataQotadah dan yang lainnya: merekalahMu'tazilah.
C.
Tokoh-tokoh aliran Mu’tazilah
Tokoh-tokoh aliran Mu’tazilah banyak jumlahnya dan masing-masing mempunyai
pikiran dan ajaran-ajaran sendiri yang berbeda-beda dengan tokoh sebelumnya
atau tokoh-tokoh pada masanya, sehingga masing-masing tokoh mempunyai aliran
sendiri-sendiri. Dari segi geografis, aliran Mu’tazilah dibagi menjadi dua,
yaitu aliran Mu”tazilah Basrah dan aliran Mu’tazilah Baghdad. Aliran Basrah dan
yang pertama-tama mendirikan aliran Mu”tazilah.
Tokoh-tokoh aliran Basrah antara lain :
1.
Wasil bin ‘Ata al Ghazzal (80-131 H/699-748 M)
2.
Abdul Huzail Muhammad bin al Huzail al ‘Allaf (135-226 H/752-840 M)
3.
Ibrahim bin Sayyar bin Hani an Nazzaham (wafat 231 H/845 M)
4.
al Jubbai (wafat 303 H/915 M)
Tokoh-tokoh aliran Baghdad antara lain :
1.
Basyr bin al Mu’tamir (wafat 226 H/840 M)
2.
al Khayat (wafat 300 H/912 M)
Kemudian pada masa-masa berikutnya lagi ialah al Qadhi Abdul Jabbar (wafat
1024 M di Ray) dan az Zamachsyari (467-538 H/1075-1144 M).[3]
D. Doktrin mu’tazilah
Mempunyai doktrin yang selalu dipegang erat oleh mereka, bahkan di
atasnya-lah prinsip-prinsip mereka dibangun. Doktrin itu mereka sebut dengan
Al-Ushulul-Khomsah (lima landasan pokok).[4]
Adapun rinciannya sebagai berikut dan sekaligus kami iringi dengan bantahan
cara pemahaman mereka mengenai ajaran keislaman mereka, sebagai berikut :
1. Tauhid
Yang mereka maksud dengan At-Tauhid adalah mengingkari dan meniadakan
sifat-sifat Allah, dengan dalil bahwa menetapkan sifat-sifat tersebut berarti
telah menetapkan untuk masing-masingnya tuhan, dan ini suatu kesyirikan kepada
Allah, menurut mereka. Oleh karena itu mereka menamakan diri dengan
Ahlut-Tauhid atau Al-Munazihuuna lillah (orang-orang yang mensucikan Allah).
Bantahannya :
1)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Dalil ini
sangat lemah, bahkan menjadi runtuh dengan adanya dalil sam’i (naqli) dan ‘aqli
yang menerangkan tentang kebatilannya. mensifati dirinya sendiri dengan
sifat-sifat Adapun dalil sam’i bahwa Allah yang begitu banyak , padahal Dia
Dzat Yang MahaTunggal.” Allah berfirman: “Sesungguhnya adzab Rabbmu sangat
dahsyat. Sesungguhnya Dialah yang menciptakan (makhluk) dari permulaan dan
menghidupkannya (kembali), Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Pengasih, Yang
mempunyai ‘Arsy lagi Maha Mulia, Maha Kuasa berbuat apa yang dikehendaki-Nya.”
(Al-Buruuj: 12-16).
“Sucikanlah Nama Rabbmu Yang Maha Tinggi, Yang Menciptakan dan
Menyempurnakan (penciptaan-Nya), Yang Menentukan taqdir (untuk masing-masing)
dan Memberi Petunjuk, Yang Menumbuhkan rerumputan, lalu Ia jadikan rerumputan
itu kering kehitam-hitaman.” (Al-A’la: 1-5).
Adapun dalil ‘aqli: bahwa sifat-sifat itu bukanlah sesuatu yang terpisah
dari yang disifati, sehingga ketika sifat-sifat tersebut ditetapkan maka tidak
menunjukkan bahwa yang disifati itu lebih dari satu, bahkan ia termasuk dari
sekian sifat yang dimiliki oleh dzat yang disifati tersebut. Dan segala sesuatu
yang ada ini pasti mempunyai berbagai macam sifat.
2)
Menetapkan sifat-sifat Allah tanpa menyerupakannya dengan sifat makhluq
bukanlah bentuk kesyirikan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata
dalam Ar-Risalah Al-Hamawiyah: “Menetapkan sifat-sifat Allah tidak termasuk meniadakan
kesucian Allah, tidak pula menyelisihi tauhid, atau menyamakan Allah dengan
makhluk-Nya.” Bahkan ini termasuk konsekuensi dari tauhid al-asma wash-shifat.
Sedangkan yang meniadakannya, justru merekalah orang-orang yang terjerumus ke
dalam kesyirikan. Karena sebelum meniadakan sifat-sifat Allah tersebut, mereka
terlebih dahulu menyamakan sifat-sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya. Lebih
dari itu, ketika mereka meniadakan sifat-sifat Allah yang sempurna itu, sungguh
mereka menyamakan Allah dengan sesuatu yang penuh kekurangan dan tidak ada
wujudnya. Karena tidak mungkin sesuatu itu ada namun tidak mempunyai sifat sama
sekali. Oleh karena itu Ibnul-Qayyim rahimahullah di dalam Nuniyyah-nya
menjuluki mereka dengan ‘Abidul-Ma’duum (penyembah sesuatu yang tidak ada
wujudnya). Atas dasar ini mereka lebih tepat disebut dengan Jahmiyyah,
Mu’aththilah, dan penyembah sesuatu yang tidak ada wujudnya.
2. Al-‘adl (
Keadilan )
Yang mereka maksud dengan keadilan adalah keyakinan bahwasanya kebaikan itu
datang dari Allah, sedangkan . Dalilnya kejelekan datang dari makhluk dan di
luar kehendak (masyi’ah) Allah adalah firman Allah : “Dan Allah tidak suka
terhadap kerusakan.” (Al-Baqarah: 205). “Dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi
hamba-Nya.” (Az-Zumar: 7). Menurut mereka kesukaan dan keinginan merupakan
kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Sehingga mustahil bila Allah tidak suka
terhadap kejelekan, kemudian menghendaki atau menginginkan untuk terjadi
(mentaqdirkannya) oleh karena itu mereka menamakan diri mereka dengan nama
Ahlul ‘Adl atau Al-‘Adliyyah.[5]
Bantahannya :
As-Syaikh Yahya bin Abil-Khair Al-‘imrani berkata : kita tidak sepakat
bahwa kesukaan dan keinginan itu satu, dasarnya adalah dalam Al-Qur’an Allah
berfirman : “Maka sesungguhnya Allah tidak menyukai Orang-orang kafir”.
Padahal kita semua tahu Allah-lah yang menginginkan adanya orang kafir
tersebut dan Dia-lah yang menciptakan mereka. Terlebih lagi Allah telah
menyatakan bahwasanya apa yang dikehendaki dan dikerjakan hamba tidak lepas
dari kehendak dan ciptaan-Nya, Allah berfirman : “ Dan kalian tidak akan
mampu menghendaki ( jalan itu ), kecuali bila dikehendaki Allah”. ( Al –
Ihsan : 30 ). “Padahal Allah-lah yang meciptakan kalian dan yang kalian
perbuat”. (Ash-Shaafaat : 96).
Dari sini kita tahu
bahwa ternyata istilah keadilan itu mereka jadikan sebagai yang merupakan
bagian dari takdir Allah , kedok untuk mengingkari kehendak Allah. Atas dasar
inilah mereka lebih pantas dikatakan Qadariyyah, Majusyiah, dan orang-orang
yang zalim.
3. Al-Wa’du
Wal-Wa’id
Yang mereka maksud dengan landasan ini adalah bahwa wajib bagi Allah untuk
memenuhi janji-Nya (al-wa’d) bagi pelaku kebaikan agar dimasukkan ke dalam
Al-Jannah, dan melaksanakan ancaman-Nya (al-wa’id) bagi pelaku dosa besar
(walaupun di bawah syirik) agar dimasukkan ke dalam An-Naar, kekal abadi di
dalamnya, dan tidak boleh bagi Allah untuk menyelisihinya. Karena inilah mereka
disebut dengan Wa’idiyyah.[6]
Bantahannya :
1)
Seseorang yang beramal shalih (sekecil apapun) akan mendapatkan pahalanya
(seperti yang dijanjikan Allah) sebagai karunia dan nikmat dari-Nya. Dan
tidaklah pantas bagi makhluk untuk mewajibkan yang demikian itu, karena
termasuk pelecehan terhadap Rububiyyah-Nya dan sebagai bentuk keraguan kepada
Allah terhadap Firman – Nya : “Sesungguhnya Allah tidak menyelisihi janji
– Nya”. ( Ali-Imran : 9 ) Bahkan Allah mewajibkan bagi diri-Nya sendiri
sebagai keutamaan untuk para hamba-Nya. Adapun orang-orang yang mendapatkan
ancaman dari Allah karena dosa besarnya (di bawah syirik) dan meninggal dunia
dalam keadaan seperti itu, maka sesuai dengan kehendak Allah. Dia Maha berhak
untuk melaksanakan ancaman-Nya dan Maha berhak pula untuk tidak
melaksanakannya, karena Dia telah mensifati diri-Nya dengan Maha Pemaaf, Maha
Pemurah, Maha Pengampun, Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang. Terlebih lagi Dia
telah menyatakan : “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik
(bila pelakunya meninggal dunia belum bertaubat darinya) dan mengampuni dosa
yang di bawah (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (An-Nisa: 48).
2)
Adapun pernyataan mereka bahwa pelaku dosa besar (di bawah syirik) kekal abadi
di An-Naar, maka sangat bertentangan dengan firman Allah dalam Surat An-Nisa
ayat 48 di atas, dan juga bertentangan dengan sabda Rasulullah SAW yang
artinya: “Telah datang Jibril kepadaku dengan suatu kabar gembira, bahwasanya
siapa saja dari umatku yang meninggal dunia dalam keadaan tidak syirik kepada
Allah niscaya akan masuk ke dalam al-jannah.” Aku (Abu Dzar) berkata: “Walaupun
berzina dan mencuri?” Beliau menjawab: “ Walaupun berzina dan mencuri “ ( HR.
Al-Bukhori Dan muslim dari sahabat Abu Dzar Al-Ghiffari ) namun meskipun
mungkin mereka harus masuk neraka terlebih dahulu.
4. Suatu
keadaan di antara dua keadaan (Posisi di antara 2 posisi )
Yang mereka maksud
adalah, bahwasanya keimanan itu satu dan tidak bertingkat-tingkat, sehingga
ketika seseorang melakukan dosa besar (walaupun di bawah syirik) maka telah
keluar dari keimanan, namun tidak kafir (di dunia). Sehingga ia berada pada
suatu keadaan di antara dua keadaan (antara keimanan dan kekafiran).
Bantahannya :
1)
Bahwasanya keimanan itu bertingkat-tingkat, bertambah dengan ketaatan dan
berkurang dengan kemaksiatan, sebagaimana firman Allah : “Dan jika
dibacakan ayat-ayat-Nya Kepada mereka, maka bertambahlah keimanan mereka”. (
Al-Anfal : 2 ). Dan juga firman-Nya : “Dan apabila diturunkan suatu
surat, maka di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata: ‘Siapakah
di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turunnya) surat ini?’ Adapun
orang-orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya, sedang mereka merasa
gembira. Dan adapun orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka
dengan surat itu bertambah kekafiran mereka, di samping kekafirannya (yang
telah ada) dan mereka mati dalam keadaan kafir”. ( At-Taubah : 124-125 ).
Dan dalam
Firman-Nya yang lain juga : “(Yaitu) orang-orang (yang menaati Allah dan
Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan: ‘Sesungguhnya
manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah
kepada mereka’, maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka
menjawab: ‘Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik
Pelindung’.” (Ali ‘Imran: 173).
2)
Atas dasar ini, pelaku dosa besar (di bawah syirik) tidaklah bisa dikeluarkan
dari keimanan secara mutlak. Bahkan ia masih sebagai mukmin namun kurang iman,
karena Allah masih menyebut dua golongan yang saling bertempur (padahal ini
termasuk dosa besar) dengan sebutan orang-orang yang beriman, sebagaimana dalam
firman-Nya: “Dan jika ada dua golongan dari orang-orang yang beriman saling
bertempur, maka damaikanlah antara keduanya.” (Al-Hujurat: 9)
5. Amar
Ma’ruf Nahi Mungkar
Di antara kandungan landasan ini adalah wajibnya memberontak terhadap
pemerintah (muslim) yang zalim. Bantahannya : Memberontak terhadap
pemerintah muslim yang zalim merupakan prinsip sesat yang bertentangan dengan
Al Qur’an dan As Sunnah. Sebagaimana Allah berfirman : “Wahai orang-orang
yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri (pimpinan)
di antara kalian.” (An-Nisa: 59) Rasulullahbersabda: “Akan datang setelahku
para pemimpin yang tidak mengikuti petunjukku dan tidak menjalankan sunnahku,
dan sungguh akan ada di antara mereka yang berhati setan namun bertubuh
manusia.” (Hudzaifah berkata): “Wahai Rasulullah, apa yang kuperbuat jika aku
mendapati mereka?” Beliau menjawab: “Hendaknya engkau mendengar (perintahnya)
dan menaatinya, walaupun punggungmu dicambuk dan hartamu diambil.” (HR. Muslim,
dari shahabat Hudzaifah bin Al-Yaman).
Adapun ciri-ciri Mu’tazilah ialah suka berdebat, terutama di hadapan umum
mereka yakin akan kekuatan fikiran, karena itulak suka berdebat dengan siapa
saja yang berbeda pendapat dengannya.
Sekitar dua abad lamanya ajaran-ajaran mu’tazilah ini berpengaruh, karena
diikuti atau didukung oleh penguasa waktu itu. Masalah-masalah yang
diperdebatkan antara lain :
1.
Sifat-sifat allah itu ada atau tidak
2.
Baik dan buruk itu ditetapkan berdasarkan syara’ atau akal
3.
Orang yang berdosa besar akan kekal di neraka atau tidak
4.
Perbuatan manusia itu dijadikan oleh allah
5.
Al-qur’an itu makhluk atau tidak
6.
Allah itu bias dilihat di akhirat nanti atau tidak
7.
Alam itu qodim atau hadits
8.
Allah wajib membuat yang baik (shilah) dan yang lebih baik (ashlah).[7]
E. Pandangan
Ulama
Para Ulama banyak mendepenisikan kalimat ini, sebagian ulama
mendefinisikannya sebagai “satu kelompok dari qadariyah yang menyelisihi
pendapat umat Islam dalam permasalahan hukum pelaku dosa besar yang dipimpin
oleh Washil bin Atho' dan Amru bin Ubaid pada zaman Al Hasan Al Bashry”. Suatu
persi menyebutkan munculnya Mu’tazilah adalah dari kisah Hasan Al-Bashri
(105-110 H), yang berbeda pendapat dengan muridnya yang bernama washil bin
‘atha’ (80-131) pada masalah pelaku dosa besar. Maka dengan I’tizalnya’ dari
majlis Hasan Al-bashri dinamakanlah Wasil dan orang-orang yang sepaham
dengannya dengan Mu’tazilah. Mereka begitu hebat melobi dan memutar kata
sehingga bisa memegang pemerintahan islam selama kurang lebih dua ratus tahun.
Sebagaimana berselisih faham Hasan bashri dengan muridnya berselisih pula Abu
Hasan Al-asy'ari (260-330) dengan gurunya yang bernama Abu Ali Al-juba’I
(235-303) pada masalah sifat Allah swt yaitu wajibnya Allah swt berbuat baik.
BAB III
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Aliran Mu’taziliyah (memisahkan diri) muncul di Basrah, Irak pada abad 2 H.
Kelahirannya bermula dari tindakan Wasil bin Atha (700-750 M) berpisah dari
gurunya Imam Hasan al-Bashri karena perbedaan pendapat. Wasil bin Atha
berpendapat bahwa muslim berdosa besar bukan mukmin bukan kafir yang berarti ia
fasik. Imam Hasan al-Bashri berpendapat mukmin berdosa besar aliran Mu’tazilah
yang menolak pandangan-pandangan kedua aliran di atas. Bagi Mu’tazilah orang
yang berdosa besar tidaklah kafir, tetapi bukan pula mukmin. Mereka menyebut
orang demikian dengan istilah al-manzilah bain al-manzilatain (posisi di antara
dua posisi).
Aliran Mu’tazilah terdiri atas lima prinsip utama yaitu :
1.
Tauhid
2.
Keadilan (al-‘adl)
3.
Janji dan ancaman (Al-Wa’du Wal-Wa’id)
4.
Tempat diantara dua tempat (al Manzilatu bainal manzilatain)
5.
Menyuruh kebaikan dan melarang segala kemungkaran (amar ma’ruf nahi mungkar).
DAFTAR PUSTAKA
Rojak
Abdul, Anwar Rosihon. ilmu kalam. 2006. CV Pustaka Setia, Bandung.
Abdul
Aziz. A. Sachedina, Kepemimpinan Dalam Islam, terjemahan: Ilyas Hasan, cetakan
kedua, Mizan, Bandung, 1994
Abdul Karim Utsman, Syarh al-Ushul al-Khamsah, Maktabah Wahbah, Kairo, 1996
Ahmad Daudi, Kuliah Ilmu Kalam, Bulan Bintang, Jakarta, 1997
Ahmad Mahmud Subhi, Fii ‘Ilmi al-Kalami, Dar al-Nahdhah al-‘Arabiah, Beirut, 1985
Ahmad Warson Munawir, al-Munawwir, Yogyakarta, 1984
Jauhari, Heri, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah, CV Pustaka Setia, Bandung
http://www.almanhaj.or.id/content/1985/slash/0.
Nasution, Harun, Teologi
Islam Aliran-aliran Sejarah Anlisa Perbandingan, Jakarta :UI Press. 2002
Abu Fatiah, Al-Adnani, Agenda Al- Muzzai, Solo : Pustaka Amanah, 1999
Abu Fatiah, Al-Adnani, Agenda Al- Muzzai, Solo : Pustaka Amanah, 1999
Abdurrazak, Ilmu Kalam,
Jakarta: Bulan Bintang, 2004
Anwar, Rosihan, Ilmu
Kalam, Jakarta : Pustaka Setia, 2005
Dhuhri, Saifuddin,
Diktat Kuliah¸ Lhokseumawe: STAIN Malikussaleh , 1999
[1]http://www.docstoc.com/docs/27379706/Aliran-Mutazilah
[2]Htp:// wiki. Myquran.org/index.php/Mu%27tazilah
[3]A.Hanafi.Pengantar Teologi Islam,2003,hlm.82-83
[4]Adapun lima prinsip dasar Mu’tazilah yaitu: at-Tauhid, al-‘Adl,
al-Wa’ad wa al-Wa’id, al-manzilah baina al-Manzilataini, dan al-Amru bi
al-Ma’ruf wa an-Nahi ‘ani al-Munkar, untuk lebih jelas lihat: Ahmad Mahmud
Subhi, Fii ‘Ilmi al-Kalami (1) al-Mu’tazilah, Dar al-Nahdhah al-‘Arabiah,
Beirut, 1985, h. 119
[5]Yunan Yusuf, Corak pemikiran
kalam Tafsir al-Azhar, Penamadani, Jakarta, 2003, h. 93
[6]Zuhdi Jarallah, al-Mu’tazilah, Dar
al Faris Li Nasyri wa al-Tauzik, Amman, 1990, h. 59
[7]H.Salim A.Nasir,Pengantar Ilmu
Kalam,1995,hlm.117
Tidak ada komentar:
Posting Komentar