Tasawuf
Bagian ke-7
Kembali kepada Allah
Syariat adalah jalan menuju sumber air kehidupan. Ia
adalah jalan umum, jalan yang ditempuh secara bersama-sama oleh suatu
komunitas. Namun, semakin dekat dengan sumber air itu, jalannya semakin sempit.
Jalan yang hanya cukup dilalui oleh dirinya. Jalan inilah yang disebut
“tarekat” [thariqah].
Kalau digambarkan hubungan antara syariat dan
tarekat, dapat diumpamakan seseorang yang mau nonton film di gedung bioskop.
Ada syarat umum yang berlaku bagi yang ingin menonton. Pertama, umur yang akan
menonton, yang dalam bahasa agama ia harus sudah akil-balig [sudah cukup umur
dan berakal sehat]. Kedua, orang tersebut harus punya karcis atau undangan
menonton. Bila yang akan menonton itu tidak diatur, maka mereka akan berebut
beli karcisnya, atau berebut masuk gedung pertunjukannya. Nah, antre agar bisa
beli karcis dan masuk satu per satu dapat dium-pamakan sebagai tarekat.
Dari syariat ke tarekat tidaklah terputus begitu
saja. Kedua jalan ini bersam-bungan, dari jalan yang lebar kemudian menuju
jalan yang lebih sempit. From the road of life to the path of life. Dari jalan
di luar diri menuju jalan di dalam diri. Dari jalan raya masuk ke gang di mana
rumah “DS” berada. Yaa, sebenarnya kita ini seperti orang-orang yang hendak
pulang ke masing-masing rumahnya. Karena rumah itu ada di dalam RW yang sama,
maka mula-mula kita berjalan di atas jalan raya yang sama, dan selanjutnya
berpisah menuju gang-gang yang berbeda, akhirnya masuk ke rumahnya
sendiri-sendiri. Di rumah itulah Allah menyambut manusia secara perorangan.
Seperti yang dinyatakan dalam surat Maryam/19 : 93, 95,
93. In kullu man fi s-samawati wa l-ardhi illa ati
r-rahmani ‘abda.
95. Wa kullu hum atihi yauma l-qiyamati farda.
93. Sungguh setiap diri, baik yang ada di langit
maupun di bumi, akan datang kepada Yang Maha Pemurah sebagai seorang hamba.
95. Dan, setiap diri datang kepada-Nya pada hari
kebangkitan sendirian.
Jadi, meskipun di dalam syariat kita melakukan
peribadatan yang sama, seperti shalat berjamaah, puasa Ramadhan, dan ibadah
Haji, tetapi jalan kepada-Nya betul-betul kita tempuh sendirian. Syariatnya
sama, tetapi tarekatnya berbeda. Karena tarekat itu harus pas dengan orang yang
menempuhnya. Tarekat harus mengarah dengan tepat letak rumah yang dituju. Jika
diumpamakan dengan orang yang akan menonton film, kita ada di antrean yang
sama, tetapi uang yang kita gunakan untuk membayarnya atau nomor tempat
duduknya berbeda sesuai dengan kenyamanan diri kita masing-masing. Yang
dituntut dalam syariat adalah keseragaman, sedangkan yang dituntut dalam
tarekat adalah keunikan.
Kembali kepada perumpamaan di atas, setelah orang
duduk dan menyaksikan filmnya, maka penghayatan terhadap film itu pun
berbeda-beda tergantung pada latar belakang sang penonton, yaitu budaya,
pengalaman, pengetahuan, dan kedalaman rasa
yang dimilikinya. Begitu pula ketika kita kembali
kepada Tuhan, setiap orang akan melihat filmnya sendiri. Penghayatan terhadap
filmnya sendiri itu tergantung pada amaliah, kebersihan dan kesucian batin yang
bersangkutan. Dan, pada saat dia menyadari filmnya, berarti dia sudah ada di
tahap hakekat. Tahap bangkitnya ke-sadaran diri. Tahap “yaum al-qiyamah”! Bila
dia sudah hidup di alam “qiyamah” maka dia sudah hidup di “maqam makrifat”. Dia
senantiasa tercerahkan! Dia tidak hidup lagi tergantung pada orang lain, tidak
terkolonisasi, hidup merdeka. Bahkan dia telah menjadi gantungan bagi
orang-orang lainnya.
Dengan
demikian, tasawuf sebenarnya mendidik orang untuk hidup mandiri, hidup merdeka,
hidup yang setara dengan orang lain. Hidup menjadi sufi sebenarnya adalah hidup
yang sepenuhnya menggantungkan diri kepada Yang Ilahi. Yang dengan kata lain,
disebut “hidup tawakal” atau “tawakkul”. Sebelum kita bisa hidup hanya dengan
menggantungkan diri kepada Tuhan, berarti kita belum hidup dalam makrifat,
meskipun secara teoritis kita sudah mempelajarinya. Tetapi belajar adalah cara
untuk mencapainya! Jadi, tidak perlu pesimis bila hari ini kita masih dalam
perjalanan untuk memperoleh “tirta prawitasari” atau sari dari air suci, esensi
kehidupan.
Orang yang mampu melihat hakikat dirinya disebut
“insan kamil” alias manusia sempurna. Manusia yang merupakan wujud dari
makrokosmos dan mikrokosmos. Dia adalah miniatur dari Yang Haq, wujud mini dari
Tuhan Yang Mahaesa. Nah, perjalanan kita untuk menjadi miniatur-Nya adalah
perjalanan kembali kepada-Nya. Orang yang sadar bahwa dirinya dalam hidup ini
sesungguhnya kembali kepada Tuhan, adalah orang yang sadar bahwa dirinya
menyongsong “yaum al-qiyamah”. Banyak orang yang mengira bahwa kebangkitan itu
terjadi setelah hancur-leburnya bumi atau semesta alam. Lalu, timbullah ilusi
dan khayalan tentang kiamat. Akhirnya, muncullah perilaku yang aneh-aneh.
Terjebak di perjalanan! Formalisme!
Kiamat sebenarnya merupakan bagian dari kesadaran
kita. “Wa bi l-akhiratihum yuqinun,” dan mereka yakin terhadap kehadiran Hari
Akhirat. Kapan adanya Hari Akhir atau kiamat itu? Sekarang ini, saat ini!
Tergantung pada yang menyikapinya. Mari kita perhatikan ayat-ayat berikut ini.
42:17, Allah yang menurunkan Kitab dengan benar dan
sebagai Neraca. Tahukah engkau bahwa mungkin saja kiamat itu dekat?
42:18, Orang-orang yang tidak beriman ingin “Saat
Kiamat” itu disegerakan, dan orang-orang yang beriman justru waspada
terhadapnya karena mereka mengetahui bahwa kiamat itu benar adanya. Ketahuilah
bahwa orang-orang yang bertikai tentang “Saat Kiamat” adalah dalam kesesatan
yang jauh.
16:77, Dan bagi Allah Yang Mahagaib di langit dan di
bumi, peristiwa kiamat itu akan datang dalam sekejap penglihatan atau lebih
cepat. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Pertama, kita harus tahu bahwa Tuhan telah
menurunkan Kitab-Nya di dunia ini dengan benar. Artinya, ada Undang-Undang bagi
kehidupan manusia. Kedua, dan Kitab itu pun berfungsi sebagai Neraca, yaitu
penimbang moralitas manusia. Dengan neraca itu manusia harus menegakkan
keadilan dalam hidup ini, “fairness”. Hidup yang tidak merugikan diri-sendiri
dan orang lain. Cara hidup yang demikian ini timbul karena orang-orang beriman
itu selalu waspada terhadap kehadiran kiamat pada dirinya. Orang beriman
mengetahui bahwa kiamat benar adanya. Jadi yakin terhadap Hari Akhirat bukanlah
percaya adanya Hari Akhirat, tetapi mengetahuinya. Karena tahu itulah dia tidak
ingin melanggar neraca tersebut, tidak ingin mencuranginya. Inilah keadilan!
Kecurangan akan menghalangi manusia dalam bertarekat. Perbuatan curang
senantiasa mendatangkan neraka kepada pelakunya.
Datangnya kiamat itu sekejap mata atau lebih cepat.
Dan datangnya pun boleh jadi sudah dekat. Pernyataan surat 42:17 ini bukanlah
sekadar kemungkinan, tetapi betul-betul kenyataan bagi yang mengetahuinya.
Tuhan tidaklah membuat puisi, tapi memberikan informasi kepada manusia. Orang
yang tidak beriman meminta kiamat itu disegerakan, karena mereka tidak
mengetahuinya. Bagaimana dapat disegerakan, wong mereka itu tidak
mengetahuinya? Bagaimana bisa diperbantahkan wong mereka itu tidak
mengetahuinya. Berbantah atau bertikai masalah datangnya kiamat adalah mubazir,
dan bahkan menyesatkan kita. Hari kiamat harus kita alami untuk bisa
menemui-Nya. Bukankah cepat atau lambat kita pasti menemui-Nya.
Lalu, bagaimana kalau kita tidak mau menemui-Nya?
Sungguh malang orang yang tidak mau bertemu dengan sumber hidupnya. Bukankah
kita berasal dari-Nya, dan kembali kepada-Nya? Nah, kita harus bisa kembali
kepada-Nya dengan kesadaran dan bukan dengan terpaksa! Kita harus merdeka dalam
menyongsong kehadiran-Nya. Sungguh rugi orang yang menolak untuk bertemu
dengan-Nya. Karena menolak untuk bertemu dengan Tuhan, berarti dia memilih
hidup dalam ilusi atau impian semata. Hidup di alam kebahagiaan semu! Seperti
yang diungkapkan dalam surat 6:31, “Sungguh merugilah orang-orang yang
mendustakan pertemuan mereka dengan Allah, sehingga apabila kiamat datang kepada
mereka dengan tiba-tiba, mereka mengatakan: alangkah besarnya penyesalan kami
karena kelalaian kami kepadanya.”
Coba perhatikan ayat ini, di situ dijelaskan bahwa
kiamat datang kepada mereka [yang mendustakan] dengan tiba-tiba. Begitu mereka
tersingkap dengan tiba-tiba kesadarannya tentang hidup ini, maka yang ada
adalah penyesalan. Yang dipikul adalah kesengsaraan. Hanya karena lalai tentang
hadirnya kiamat yang datang tiba-tiba itu. Lain dengan orang beriman, dia
selalu waspada. Orang-orang yang selalu hidup murung, menderita dan merasa
terus-menerus dalam kesengsaraan [bahkan ada yang nekat bunuh diri karena tak
kuat menanggung penderitaan hidup ini], adalah contoh orang-orang yang
kedatangan kiamat. Bila kiamat tidak datang selama dia dalam hidup ini, maka
kiamat pun akan datang setelah matinya. Hal ini diungkap dalam surat 50:22,
“Sungguh engkau berada dalam kelalaian tentang [kematian] ini. Maka Kami
singkapkan darimu apa yang menutupimu, dan penglihatanmu pada hari ini sangat
tajam.” Dengan demikian, tidak ada gunanya melakukan rekayasa, tipudaya, atau
“tricky” dalam hidup ini.
Tobat.
Langkah awal dalam tarekat adalah “tobat” atau
adanya kemauan untuk kembali kepada-Nya. Bukan hanya mau ramai-ramai di jalan
umum, tetapi adanya kemauan untuk menempuh sendirian kepada-Nya. Bukan hanya
menuntut ada teman yang menyertai, tetapi berani melangkah sendirian. Nah,
tahap ini disebut “decondi-tioning” atau “takhalli”. Berhenti mengikuti arus
massa. Bukan melawan arus, tetapi menancapkan pendirian! Jadi, tobat di sini
jangan diartikan dengan “meninggalkan kejahatan atau kecurangan” yang pernah
kita lakukan. Kita tidak perlu berbuat curang untuk bisa bertobat. Tetapi kita
sengaja untuk memilih cara yang benar, kepatuhan yang benar. Inilah makna tobat
dalam tarekat!
Tobat dalam tarekat berarti berketetapan untuk tidak
mencuri, tidak berzina, tidak menipu, tidak membohongi orang, tidak menganiaya
siapa pun, tidak merugikan orang lain, tidak menyakiti; atau dengan kata lain,
menegasikan segala perbuatan dan tindakan yang buruk atau jahat. Dalam syariat
tobat adalah meninggalkan dan tidak mengulangi perbuatan jahat yang telah
diperbuat. Dalam tarekat tobat berarti memilih untuk tidak berbuat jahat.
Memilih untuk berbuat lurus! Tidak berpedoman
“tujuan menghalalkan segala cara”. Tujuan harus dicapai dengan cara yang
benar dan baik [Jawa, bener lan pener].
Memang berat godaan bagi yang mengambil jalan lurus.
Lebih-lebih bila kita sudah pernah menikmati “yang bengkok” itu. Bisikan untuk
mencecap dan mencicipi kebengkokan itu datang bertubi-tubi. Bagaimana jalan
keluarnya bila rayuan setan ini berhembus di dalam hati kita? Bila sugesti
setan [bisikan jahat] datang bertubi-tubi ke dalam diri kita, maka kita harus
segera berzikir, bersegera untuk eling [sadar] dan waspada. Kita harus bebaskan
pikiran kita dari bisikan itu dan kita serahkan diri kita kepada-Nya. Kita
harus yakin bahwa Allah mendengarkan dan memperhatikan seruan kita. Kita harus
yakin bahwa Allah melindungi kita! Mengapa kita harus yakin? Karena kita telah
memilih jalan yang lurus, dan Allah senantiasa di jalan lurus. Di bawah ini ada
beberapa ayat yang menopang keyakinan untuk berbuat benar.
7:200, Jika setan mengganggu [mensugesti] engkau
maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya Allah itu Maha Mendengar dan Maha
Mengetahui.
7:201, Sesungguhnya orang-orang yang menjaga diri,
apabila mereka tertimpa gangguan setan, mereka berzikir kepada Allah, dan
ketika itu pula mereka melihat gangguan itu.
42:13, Berat bagi orang-orang yang menyekutukan
Tuhan untuk menem-puh jalan yang diinformasikan kepada mereka. Allah menarik
orang yang menghendaki jalan-Nya, dan memberi petunjuk kepada jalan-Nya bagi
siapa yang kembali [kepada-Nya].
Dengan berzikir kepada Allah, kita sebut nama-Nya
dengan bahasa kita, bahasa yang kita pahami dan keluar dari hati yang tulus.
Misalnya, “Ya Tuhan, Pelindung diriku, singkirkan gangguan setan itu dariku.
Berilah aku kekuatan untuk menempuh jalan-Mu. Sesungguhnya Engkaulah pemilik
kekuatan yang sebenarnya.” Ini hanyalah salah satu contoh saja dalam berdoa.
Dalam berdoa tak ada keharusan dalam ucapan bahasa Arab. Doa yang baik adalah
doa yang kita mengerti maksudnya dengan benar. Doa demikianlah yang ces pleng!
Jangan ragu berdoa dalam bahasamu yang keluar dari dalam lubuk hatimu. Dia Maha
Mendengar dan Maha Mengetahui!
Namun, bila kita tidak terdidik dalam berdoa dengan
menggunakan bahasa kita sendiri, kita boleh menggunakan contoh-contoh doa dalam
Al Quran atau Al Hadis. Bila kita menggunakan doa dalam bahasa yang bukan
bahasa kita sendiri, maka kita harus belajar memahami makna dan maksudnya. Yang
penting untuk diperhatikan, janganlah pikiran kita dibebani dengan doa-doa.
Pikiran kita harus dibebaskan dari berbagai macam hal yang tidak diperlukan.
Pikiran harus senantiasa dijaga tetap segar dan jernih. Dalam kejernihan
pikiran kita bisa melihat gangguan setan.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh ayat 42:13, bila
pikiran kita tetap mendua maka beratlah jalan Ilahi yang hendak kita tempuh.
Kita harus yakin bahwa jalan lurus [jalan positif] yang kita pilih dan ikuti
itu adalah jalan yang benar dan tepat. Bila kita sungguh-sungguh menempuhnya
niscaya Allah sendiri yang menarik kita ke tengah jalan itu. Allah menghendaki
orang yang menghendaki jalan-Nya. Inilah maksud dari “Allahu yajtabi ilaihi man
yasya-u” dalam ayat tersebut. Jadi, kata “man yasya-u” tidak berarti Allah yang
aktif dan manusianya pasif. Tetapi interaktif antara “kawula” dan “Gusti”,
hamba dengan Tuhan.
Wara’.
Kata “wara’” dapat diterjemahkan dengan “hati-hati”
atau waspada. Manusia yang tetap menjaga dirinya di jalan yang benar, atau
manusia bertakwa, adalah orang yang senantiasa sadar dan waspada. Dengan eling
dan waspada itu dia bisa melihat gangguan setan. Bila kita bisa melihat bisikan
setan, tentu kita dapat menghindarinya. Sebaliknya, jika cuma meraba-raba dalam
kegelapan, ada kemungkinan terhanyut dalam bisikan itu. Dalam syariat wara’
berarti berhati-hati dalam memilih makanan, dan berhati-hati dalam berbuat dan
bertindak. Sedangkan wara’ dalam tarekat artinya senantiasa sadar dan waspada.
Baik tobat maupun wara’ adalah tahap “decondioning”,
“takhalli”, atau usaha untuk mengosongkan diri kita dari segala dorongan untuk
berbuat jahat. Pada tahap ini kita dituntut untuk selalu introspeksi maupun
berani mengakui kesalahan yang kita perbuat. Memang sulit rasanya bagi orang
dewasa yang sudah terkontaminasi atau tercemar kotoran dalam hidupnya,
melakukan dekondisioning. Tetapi bagi yang telah berketetapan hati, langkah
awal ini harus dilalui. Harus ada tekad yang bulat dan kuat. Dalam ayat 7:200
disebutkan, bila ada bisikan maka segeralah berlindung kepada-Nya. Lalu dalam
7:201 dijelaskan bahwa begitu terkena gangguan setan, maka harus segera
berzikir, segera eling dan waspada! Dan dalam 42:13 disebutkan bahwa orang yang
menghendaki jalan-Nya niscaya ditarik Allah ke dalamnya. Lihat kembali ayat
surat Al-‘Ankabut/29:69, “Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh menempuh
jalan Kami, niscaya Kami tunjuki mereka jalan-jalan Kami.”
Mengamalkan Zikir
Dekondisioning harus dilatih! Bagaimana caranya?
Seperti yang dijelaskan dalam ayat 7:201, dengan berzikir. Ada dua macam zikir,
yaitu zikir dengan berbuat dan zikir dengan bertindak. Pertama, zikir dengan
berbuat artinya zikir tanpa tindakan. Tindakannya hanya terjadi dalam diri orang
yang melakukannya. Dalam zikir ini kita dilatih untuk mengawasi ucapan kita
sendiri dalam keadaan heneng atau diam.
Dalam zikir ini kita dilatih untuk mengawasi nafas
kita sendiri. Zikir jenis inilah yang dilakukan ketika seseorang melakukan
shalat atau sesudah shalat. Jika di dalam shalat, yang dilakukan adalah
memperhatikan bacaan di dalamnya. Jika di luar shalat zikir ini dilakukan
dengan duduk relaks, atau duduk yang nyaman, dan disertai ucapan kalimat
thayyibat seperti subh?nallah [Mahasuci Allah], alhamdu lil-Lah [segala puji
kepunyaan Allah], dan allahu akbar [Allah Mahabesar].
Untuk melatih kesadaran dan kewaspadaan kita
terhadap kalimat thayyibat yang diucapkan, dibuatlah pencacahan terhadap
kalimat tersebut. Misalnya dengan meng-ucapkan kalimat subhanallah dan
alhamdulillah masing-masing 33x dan allahu akbar diucapkan 34x sehingga
banyaknya pengucapan kalimat tersebut 100 kali. Dengan zikir ini kita dilatih
untuk tetap sadar dan waspada. Pada tahap dekondisioning ini semua pikiran yang
kotor dikuras. Jadi, cara mengurasnya bukan dengan jalan mengosongkan pikiran,
tetapi dengan cara mengisinya dengan ucapan kalimat yang baik. Dan,
pengucapannya pun sekadar didengar telinganya sendiri!
Untuk pelatihan tahap dekondisioning ini para murid
[orang yang berkehendak] bisa melatihnya di pagi hari setelah masuk shalat
subuh. Latihannya harus dilakukan dengan teratur, cermat, berhati-hati, tekun
dan rajin. Misalnya, pelaksanaan zikir ini ditetapkan selama empat puluh hari,
setiap pagi. Diusahakan dilatih dalam lingkungan yang hening, sepi. Atau, jika
berbakat 10 hari sudah cukup.
Kedua, zikir dengan bertindak. Artinya, ada aksi,
ada tindakan! Begitu ada orang yang mengajak kolusi dalam pekerjaan kita,
ketika itu pula kita ingat untuk berusaha menghindarinya. Bila desakan ke arah
itu menguat, kita harus berani mengatakan kepadanya: tidak! Memang berat
mengamalkan zikir dengan bertindak. Karena zikir ini dihadapkan pada kenyataan.
Keadaan inilah yang mendorong guru tarekat mendirikan “jamaah tarekat” atau organisasi
tarekat. Dengan organisasi, kesulitan anggotanya bisa diatasi. Jadi, kita
jangan heran jika di dalam komunitas Islam hadir begitu banyak tarekat. Dalam
agama Kristen hadir banyak “gereja” untuk gembalanya. Di Cina ada Zhuan Fa Lun
atau gerakan meditasi “Fa Lun Qung”. Sehingga buruh-buruh pabrik yang tadinya
biasa “ngutil” produksi pabrik tersebut, seperti handuk, sabun, sandal dll,
setelah terlatih meditasi Fa Lun mereka sadar dan mengembalikan hasil
ngutilnya. Bahkan manajer pabrik sadar dengan gerakan itu produktivitas pabrik
meningkat. Tapi secara politis, Pemerintah Cina terancam oleh gerakan ini.
Mulai saat ini marilah kita praktikkan tarekat ini,
dengan zikir berbuat dan zikir bertindak. Jangan ada target dulu. Lebih baik
kita merasa berlatih dulu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar