Tasawuf
Bagian ke-6
Semua ini ternyata diatur dalam keseimbangan. Ada
batas-batas yang telah ditetap-kan oleh Tuhan, baik di alam raya ini maupun di
dalam diri manusia. Di dalam surat Ar Rahman/55:7-9 dinyatakan,
7. Dan Dia tinggikan langit, lalu Dia tetapkan
neraca.
8. Agar kamu tidak melampaui batas neraca itu.
9. Tegakkan neraca itu dengan adil, dan janganlah
menguranginya.
Wujud alam ini memang dualisme karena itu ada mizan,
ada neraca alias ada ukuran pada setiap benda atau wujud ini. Batas-batas itu
tetap harus dijaga. Batas-batas itu tidak boleh dilampaui. Dalam arti, tak
boleh dilebihi maupun dikurangi sehingga batasnya ambruk. Kita bisa membayangkan,
bila manusia yang menghuni bumi ini berlebihan pria atau wanitanya. Bukan
kedamaian yang kita rasakan. Tetapi bencana!
Boros maupun kikir [pada bagian ke-5] dilarang,
karena keduanya melampaui batas. Energi yang diserap manusia, baik energi fisik
maupun metafisik, haruslah yang sesuai dengan batas-batas neraca di dalam
dirinya. Dihambur-hamburkan akan mendatangkan bencana. Bila cuma dideposit juga
menimbulkan mala petaka. Siapa yang tahu batasnya? Apabila berkaitan dengan
energi pada tubuh, tentu saja yang bersangkutan yang tahu. Tapi, bila
berhubungan dengan lingkungan, yang tahu tentu saja para cerdik-pandai. Karena
itu, mereka diharapkan tidak melakukan manipulasi.
Pada tahap awal cara untuk mengenal batas-batas itu
dengan syariat. Cara yang mudah yang bisa dikenali oleh setiap orang. Karena
itu kata syariat dapat diartikan sebagai jalan umum, jalan yang bisa dilewati
oleh siapa saja. Jadi, syariat bisa ditempuh tanpa perlu kepandaian secara
khusus. Bila kita makan dan sudah terasa kenyang, ya kita hentikan. Dan bila
sudah terasa lapar, kita sebaiknya makan. Inilah syariat! Karena itu dalam
surat Al Maidah/5:6 disebutkan, “Ma yuridu llahu liyaj-‘ala ‘alaikum min
harajin walakin yuridu liyuthahhirakum wa liyutimma ni ‘matahu ‘alaikum
la-‘allakum tasykurun.” Allah tidak bermaksud menjadikan kesulitan bagimu,
tetapi Dia berkehendak untuk membersihkanmu dan menyempurnakan nikmat-Nya
kepadamu agar kamu menjadi orang-orang yang bersyukur.
Ayat di atas memang berkenaan dengan wudhu. Yang
bagi orang padang pasir waktu itu, enggan menggunakan air untuk kebersihan
badannya. Jadi, syariat berwudhu jelas dimaksudkan untuk membuat bagian vital
tubuh ini bersih (dan sehat tentunya), dan sebagai penyempurnaan kenikmatan
dari Tuhan. Dengan badan dan pikiran terasa segar, manusia bisa menggunakan
akalnya dengan jernih untuk memberikan nilai tambah dalam kehidupan ini, yang
disebut juga bersyukur.
Mengapa air yang digunakan sebagai sarana untuk
membersihkan badan jasmani ini? Ya, air adalah bahan pelarut universal. Anda
masih ingatkan dengan pernyataan surat Al Anbiya’/21:30. Pada ayat tersebut
dijelaskan bahwa “segala sesuatu yang hidup ini berasal dari al ma’ atau zat
cair”. Memang kata ma’ itu berarti air. Namun dengan kata sandang “al”, air
yang dimaksud bukanlah semata-mata air yang kita kenal sekarang ini yang berupa
“H2O”. Maka al-ma’ bisa berarti zat cair atau cairan. Bahwa air menjadi wahana
bagi berlangsungnya reaksi kimia bagi kehidupan adalah benar. Metabolisme dalam
tubuh ini berlangsung dengan bantuan air. Karena itu air adalah alat untuk
membersihkan dan menyucikan badan.
Bila badan harus dibersihkan dan disucikan dari
kotoran, maka pemilikan kita pun harus dibersihkan dan disucikan, seperti yang
diutarakan pada bagian ke-5, yaitu pada surat At Taubah/9:103. Penyucian
harta-benda ini adalah bagian dari upaya untuk menempatkan “yang punya, the
have” dalam neraca kepemilikan. Agar tidak timbul atau terjadi kecemburuan
sosial! Dengan kewajiban bersedekah/zakat bagi yang punya, maka ia telah
dibersihkan dari kotoran sosial, dan batinnya disucikan dari keserakahan
terhadap harta-benda. Dan pada zaman Nabi, mereka yang berzakat ini dengan
sendirinya mendapat jaminan keamanan sosial. Kalau zaman sekarang, pembayar
pajak di negara maju berhak mendapatkan perlindungan keamanan hidupnya. Ya,
syariat di dalam agama memang bertujuan untuk memberikan jaminan keamanan dan
ketentraman lahiriah. Syariat memang untuk membangun kehidupan bersama yang
teratur dan harmonis.
Jika kita perhatikan aturan sedekah ini, disamping
ada pihak yang berkewajiban mengeluarkan sedekah, ada pula pihak-pihak yang
berhak menerima sedekah tersebut. Surat At Taubah:60 yang diwahyukan pada 9 H,
menjelaskan tentang orang-orang yang berhak menerima sedekah. Yaitu, orang
fakir, orang miskin, fungsionaris sedekah, mu-allafah, hamba sahaya, orang yang
berhutang, orang yang ada di jalan Tuhan, dan orang yang ada dalam perjalanan.
Orang fakir adalah orang yang tidak memiliki
pekerjaan tetap, pengangguran, atau orang-orang lemah. Miskin adalah orang yang
mempunyai usaha tetapi hasilnya tidak cukup buat hidupnya. Termasuk juga dalam
kategori miskin adalah orang-orang yang tidak punya kecakapan berusaha,
sehingga tekor terus hidupnya. Kemudian, yang berhak menerima dan menyalurkan
sedekah kepada yang betul-betul membutuhkan adalah para administratur sedekah
itu. Menurut tafsiran Yusuf Ali, sedekah itu memang hanya bagi yang miskin dan
betul-betul membutuhkan, dan para administratur atau orang-orang yang kerjanya
mengurus sedekah itu seadil-adilnya. Lha, yang disebut orang fakir-miskin
adalah 5 macam penerima yang disebutkan diatas, yaitu muallafah, hamba sahaya,
orang hutang, para sabilillah, dan ibnu sabil.
Jadi, Yusuf Ali tetap mengacu pada makna sedekah
seperti yang diungkapkan pada ayat-ayat Makiyah, yaitu untuk mereka yang hidup
dalam keadaan fakir-miskin. Bila di Mekah belum ada ‘amilin atau fungsionaris
sedekah, maka di Madinah sedekah itu harus dipungut dan dimanajemeni dengan
baik. Waktu itu yang tergolong manusia fakir-miskin adalah muallafah [orang
yang membutuhkan bantuan dalam menegakkan kebenaran agama], hamba sahaya (tidak
mampu memerdekakan dirinya bila tidak ditolong), orang yang hidupnya dalam
kebangkrutan atau tergantung pada hutang, fi sabilil-Lah [mereka yang membangun
kebajikan seperti pasukan keamanan dan ketertiban, membangun rumah-rumah
ibadah, sekolah, rumah sakit dll], dan ibnu sabil [yaitu mereka yang menempuh
perjalanan untuk kebajikan seperti mencari ilmu, spionase, peneliti dls].
Dengan demikian, sedekah atau zakat memang ditujukan
untuk membebaskan manusia dari beban kehidupan yang berat, ketergantungan, dan
kolonial. Inilah jiwa syariat Islam! Yaitu untuk membersihkan manusia dari
beban kehidupannya. Tentu saja praktik operasional zakat pada waktu itu sesuai
dengan keadaan kehidupan waktu itu. Sistem ekonomi waktu itu, ya, cuma
pertanian dan perdagangan. Belum ada sistem kepegawaian, perburuhan, industri,
dan jasa seperti sekarang ini. Juga belum dikenal perekonomian global seperti
sekarang ini. Karena itu mereka yang masuk kategori penerima zakat pun sangat
sederhana. Dan di zaman Nabi, pajak tidak diberlakukan!
Sampai bagian ke-6 ini tasawuf kita ini masih
membahas tahap syariat. Suatu tahap dini dalam menjalani kehidupan yang
religius, hidup beragama. Suatu tahap awal untuk mengenal batas-batas perilaku
manusia. Kata “syariat” pada mulanya mempunyai arti “jalan menuju sumber air”.
Jelas bahwa syariat bukanlah bagian “yang ada” di dalam diri manusia. Syariat
adalah aturan yang datangnya dari luar diri manusia! Ia adalah jalan ke sumber
air. Fungsinya, dengan demikian, untuk menjadi rambu-rambu agar aktivitas “yang
ada” di dalam diri manusia itu tidak melampaui batas-batas, tidak melanggar
neraca atau keseimbangan yang telah ditetapkan Tuhan.
Oleh karena syariat itu datangnya dari luar diri
manusia, maka bentuk syariat itu dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dan
zamannya. Dengan demikian, wajar bila tiap-tiap agama mempunyai bentuk
syariatnya sendiri. Inilah yang ditegaskan dalam Surat Al-Maidah/5:48, “li
kulli [ummatin] ja-‘alna minkum syir-‘atan wa minhajan.” Bagi setiap umat telah
Kami jadikan syariat dan tata-caranya. Perhatikan bunyi ayat tersebut! Di situ
dinyatakan bahwa “Kami telah menjadikan”, bukan Aku telah menciptakan.
Dijadikan artinya dibuat dari sesuatu yang telah ada. Sedangkan “Kami” artinya
Tuhan menyertakan sesuatu untuk menjadikan suatu syariat. Apa sesuatu itu?
Semua keadaan yang meliputi kebangkitan suatu umat pada geografi dan kurun
waktu tertentu. Karena itu, secara normatif syariat itu berkaitan dengan rambu
perintah, halal [yang dibolehkan], dan haram [yang terlarang].
Makna syariat perlu diperjelas dalam pelajaran ini,
agar kita tidak terjebak atau cuma macet di jalan. Apalah artinya kita sudah
ada di jalan yang benar, tetapi terjebak dalam kemacetan di jalan tersebut?
Sudah di jalan yang benar dalam menuju sumber air, tapi tidak sampai di sumber
air, belum lagi mengambil airnya. Kemacetan akan mendorong orang untuk
mengambil jalan pintas. Nah, begitulah gambaran orang yang menjalani formalitas
beragama saat ini. Banyak orang yang terjebak dalam formalitas keagamaan. Agama
tak lebih dari identitas belaka. Makanya, banyak orang yang tampak sangat
agamis, tetapi budipekertinya tidak mencerminkan kehidupan agama yang benar.
Pemahaman terhadap syariat perlu ditingkatkan.
Banyak orang yang salah paham, dikiranya belajar
tasawuf itu mendangkalkan syariat. Padahal jelas bahwa dengan hidup bertasawuf
manusia semakin kenal dengan rambu-rambu kehidupan. Ia mampu memahami ayat-ayat
itu dari dalam lubuk hatinya, baik ayat-ayat tentang hubungan manusia dengan
sesamanya maupun lingkungannya. Ia tidak dikendalikan oleh rambu dan marka
jalan. Tapi memang ia tahu batas-batas jalan yang dilaluinya. Syariat harus
disertai “minhaj”, upaya untuk mencapai sumber air, yang dalam makna spiritual
adalah cara untuk mencapai sumber air kehidupan, “al-ma-ul hayat”. Salat harus
dibarengi dengan upaya untuk menciptakan kondisi zikir. Puasa harus dilakukan
untuk membentuk manusia yang mampu mengendalikan diri. Zakat harus diwujudkan
untuk membebaskan beban kehidupan manusia. Dan haji harus dijadikan sarana
untuk membentuk manusia yang berwatak humanis dan sosial. Untuk menjadi manusia
yang bebas dari kungkungan etnisitas, golongan, dan keagamaan. Menjadi manusia
yang kenal dengan manusia lain, ta-‘arruf.
Semua upaya itu sebenarnya langkah manusia ke dalam
dirinya. Langkah menuju ke sumber kehidupannya yang sejati! Langkah untuk
menembus “yang ada” di dalam diri manusia agar bisa bertemu dengan “Yang Maha
Ada”. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan “yang
ada” pada diri manusia? “Yang ada” adalah sejumlah karakteristik atau
sifat asal universal yang dimiliki manusia untuk eksistensi dirinya.
Dengan kata lain, “yang ada” adalah semua yang
dipandang sebagai realitas yang paling fundamental dalam diri manusia. Apa itu?
Yang paling pokok dari “yang ada” adalah kehendak untuk hidup! Begitu
dilahirkan, manusia berusaha mempertahankan hidupnya. Nah, wujud “yang ada”
yang tampak pada waktu bayi adalah makan dan minum. Selama kesehatannya tidak
terganggu manusia perlu makan dan minum. Dan, bila dibiarkan keinginan makan
dan minum ini, tidak pernah dilatih atau dididik, maka ia akan tumbuh tak
terbatas.
Makan dan minum pada manusia berbeda dengan yang ada
pada dunia hewan. Sejak lahir makan-minum pada hewan telah terkontrol oleh
dirinya secara otomatis. Hewan tidak perlu dilatih untuk membatasi
makan-minumnya. Tetapi manusia perlu dilatih dan dididik untuk mengenal batas
dalam makan-minum. Kalau tidak, manusia akan terdorong makan-minum tanpa batas.
Perilaku manusia akan lebih buruk daripada hewan. Dan tentu saja, akan merusak
kehidupan manusia itu sendiri. Bukan hanya jumlahnya yang perlu dibatasi,
tetapi juga macam makan-minumnya. Nah, dalam agama yang membatasi ini namanya
“syariat”. Tentu saja batas-batas itu dipengaruhi oleh budaya, geografis dan
zamannya. Karena itu di atas disebutkan bahwa “syariat” adalah bukan dari
bagian “yang ada” pada diri manusia. Ia ada di luar diri manusia dan berfungsi
untuk membatasi gerak “yang ada” agar tidak melampaui batas kehidupannya.
Dalam hal makan-minum ini, marilah kita perhatikan
beberapa ayat yang terkait.
7:31, “Hai manusia, pakailah perhiasanmu ketika kamu
bersujud, makan dan minumlah tetapi jangan berlebihan. Sesungguhnya Allah tidak
mencintai orang-orang yang berlebih-lebihan.”
2:168, “Hai manusia, makanlah yang halal dan yang
baik (thayyib) apa-apa yang terdapat di bumi. Dan, janganlah kamu mengikuti
langkah-langkah setan, karena sesungguhnya setan itu musuhmu yang nyata.”
2:172, “Hai orang-orang yang beriman, makanlah
apa-apa yang baik yang telah Kami sediakan bagimu. Dan bersyukurlah kepada
Allah bila hanya kepada-Nya kamu beribadah.”
2:173, “Dia hanya mengharamkan kamu makan bangkai,
darah, daging babi, dan daging yang dipersembahkan kepada selain Allah.
Barangsiapa terpaksa bukan karena keinginan, dan tidak melampaui batas, maka
tak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah itu Maha Pengampun dan Maha
Penyayang.”
5:87, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
haramkan apa-apa yang baik yang telah dihalalkan oleh Allah bagimu. Dan, jangan
melampaui (melanggar) batas. Sesungguhnya Allah tidak mencintai orang-orang
yang melampaui batas.”
5:88, “Dan makanlah apa-apa yang halal dan yang baik
yang telah diberikan oleh Tuhan kepadamu. Dan, bertakwalah kepada Allah yang
kamu imani.”
Ayat-ayat di atas cukup untuk dijadikan landasan
untuk memahami syariat tentang makan-minum. Ayat pada surat ke-7 diwahyukan di
Mekah, sedangkan ayat pada surat ke dua dan lima diturunkan di Madinah yaitu di
awal hijrah dan di pertengahan ke dua masa setelah hijrah.
Pertama-tama manusia dididik untuk makan-minum yang
tidak melampaui batas. Tidak berlebih-lebihan! Jadi, tekanan awalnya adalah
mampu mengendalikan diri dalam makan dan minum. Karena berlebih-lebihan dalam
makan dan minum akan menganggu atau bahkan merusak kesehatan lahir dan batin.
Kemudian diseru untuk hanya makan yang halal dan yang baik (thayyib). Yang
halal artinya yang dibenarkan menurut hukum, baik dari jenis makanannya maupun
cara mendapatkannya. Sedangkan yang baik adalah yang tidak merusak kesehatan
atau tidak jijik untuk dimakan. Ular, tikus, cacing, tidak termasuk yang
dilarang memakannya. Namun, banyak orang yang jijik, atau muntah bila makan
hewan-hewan tersebut. Bagi orang yang jijik terhadap hewan tersebut, maka
daging hewan tersebut jelas tidak thayyib.
Dalam tafsir Yusuf Ali, makanan yang thayyib adalah
makanan yang bersih, sehat, bergizi, dan lezat. Dengan demikian, makanan yang
thayyib adalah makanan yang halal dari segi zatnya. Sedangkan makanan yang
halal, belum tentu baik dari segi substansinya. Karena kehalalan berkaitan dengan hukum yang berlaku. Minuman kopi
pada abad ke-15 termasuk jenis makanan yang diharamkan [alias tidak halal] di
dunia Islam. Namun, akhirnya dihalalkan, sampai hari ini! Tetapi, kalau
seseorang memandang tidak thayyib, maka dia harus meninggalkannya.
Meskipun sudah ada batas-batas, atau larangan, kalau
toh terpaksa [bukan karena ingin menikmati kelezatannya], dan tidak melebihi
batas yang diperlukan, boleh-boleh saja makan makanan yang diharamkan tadi!
Inilah prinsip Islam! Suatu syariat ditetapkan bukan untuk mempersulit manusia,
tetapi memberikan kemudahan. Daripada harus “trial and error”, coba-salah-coba
lagi, yang bisa merugikan manusia, karena kasih-sayang-Nya manusia diberitahu
mana-mana yang dilarang untuk memakannya.
Perlu diketahui bahwa kelahiran agama Islam bukanlah
terlepas dari sejarah. Sebelum ada agama Islam, telah ada dua agama besar,
yaitu Yahudi dan Nasrani, yang telah mapan di luar Mekah maupun di Madinah dan
sekitarnya. Khususnya agama Yahudi, para pemeluknya menganggap sebagai
anak-anak Tuhan dan hidup beradab. Mereka memandang diri mereka bermartabat
tinggi. Sedangkan orang-orang Arab mereka pandang lebih rendah martabatnya.
Orang-orang Yahudi sangat jijik dan melarang umatnya makan bangkai [Imamat
17:15], darah [Imamat 7:26], dan daging babi [Imamat 11:7]. Dengan demikian,
pengharaman terhadap makanan tertentu bukanlah aturan yang sama sekali baru.
Melainkan aturan atau syariat itu sudah ada pada umat Yahudi, dan tetap
dipertahankan di dalam agama Islam. Jadi, wajar bila syariat itu dipengaruhi
oleh budaya, agama yang sudah ada, dan lingkungannya [geografis dan zaman].
Bila kita mau memahami syariat itu dengan pikiran
yang jernih, ternyata syariat itu tidak diberikan oleh Tuhan dengan keharusan
dipegangi secara kaku. Seperti yang dinyatakan dengan tegas pada 2:173, bagi
mereka yang terpaksa [idh-thurra] bukan karena ingin menikmati kelezatannya
[ghaira bagh] atau melebihi keperluannya [la-‘ad], maka tak ada dosa baginya.
Hal ini diperkuat oleh surat 5:3. Dengan redaksi: “Barangsiapa terpaksa karena kelaparan, bukan
cenderung melakukan dosa [melanggar hukum], maka sesungguhnya Allah itu Maha
Pengampun dan Maha Penyayang.” Jadi, bunyi ayat ini begitu pribadi! Mengapa?
Karena ayat ini mendidik kejujuran seseorang dalam mengarungi hidup ini. Yang
merasa lapar, yang merasa terpaksa, yang mengetahui jika perbuatannya itu untuk
mempertahankan hidupnya, dan yang mengetahui berapa banyak makanan yang
diperlukan agar ia tidak merasa lapar adalah orang yang bersangkutan. Orang
lain tidak boleh menajiskan!
Pada kedua ayat ditutup dengan pernyataan “Allah
Yang Maha Pengampun dan Yang Maha Penyanyang”. Maha Pengampun berarti Maha
Menutupi kekurangan atau kesalahan hamba-Nya. Sedangkan Maha Penyayang berarti
Dia niscaya memberikan imbalan terhadap kebaikan hamba-Nya. Betul-betul suatu
pernyataan yang sangat pribadi! Hanya Allah yang tahu betul apakah hamba-Nya
telah berbuat karena kelemahannya atau berbuat demi kebajikan dirinya.
Tasawuf memang mengajak manusia untuk kembali ke
dalam dirinya. Kita dituntun untuk mengenal syariat dengan arif. Kita tempatkan
syariat sebagai sarana atau jembatan menuju sumber air kehidupan yang ada di
lubuk batin kita. Syariat dalam tasawuf adalah alat untuk menemukan “yang ada” di dalam diri manusia. Syariat
bukanlah institusi untuk menghakimi dan menghukum manusia. Tetapi ia adalah
sarana untuk menyempurnakan kenikmatan yang diberikan Tuhan kepada manusia,
agar manusia mampu bersyukur. Agar manusia mampu memberikan nilai tambah
terhadap anugerah-Nya.
Dengan syariat diharapkan terwujudnya badan jasmani
yang bersih, sehat, dan segar. Dengan raga yang bersih, sehat, dan segar
diharapkan adanya batin manusia yang bersih dan sehat pula, hatinya tenang,
pikirannya jernih, dan dorongan hawa nafsunya terkendali. Sehingga manusia
dapat melanjutkan perjalanannya dalam menemukan air kehidupan, “tirta prawita”
atau “al-maul hayat”.
Dengan tasawuf manusia diingatkan agar tidak
terpeleset menjadi hamba syariat. Manusia harus terus berusaha menjadi hamba
Allah. Dan, salah satu wujud “yang ada” adalah kecenderungan untuk menghamba
bagi manusia. Entah itu menghamba kepada benda, pikiran, kepercayaan, atau
menghamba kepada Tuhan Pencipta Alam. Salah satu ayat diatas mengingatkan,
bahwa dalam masalah perut, manusia dilarang mengikuti langkah-langkah setan.
Masih ingatkan, bahwa setan sejati itu bersemayam di dalam diri manusia, dengan
stasiunnya berupa perasaan dan pikiran [jinnah dan nas]. Jadi, jika manusia
memperturutkan perasaan dan pikirannya, maka ia akan melanggar batas. Ia akan
melampaui batas yang telah ditetapkan. Ingat, setiap ciptaan mempunyai
batas-batas eksistensinya. Ada qadar [kadar] dan taqdir [berdasarkan ukuran
yang pas bagi realitas itu sendiri]. Ada neraca di dalam suatu realitas! Bila
batas-batas itu dilanggar, manusia tak akan bisa melanjutkan perjalanannya.
Syariat dijadikan oleh Tuhan dalam wujud yang indah.
Namun, berkali-kali dalam sejarah, manusia telah salah dalam menempatkan
syariat. Syariat yang seharusnya dipakai sebagai alat atau wahana ke suatu
tujuan, ternyata dijadikan tujuan itu sendiri! Padahal tujuan yang sejati
adalah Tuhan. Bilamana syariat telah menjadi tujuan, maka yang tampak menonjol
adalah formalisme keagamaan. Bukan ilmu yang dicari, tetapi ijazah! Segala
sesuatu bila sudah jatuh ke dalam formalisme, maka tak akan ada lagi
“kemerdekaan”. Yang ada hanyalah kolonial atau pemasungan kehidupan. Syariat
tidak lagi sebagai alat, tetapi penjara! Inilah yang menyebabkan penampilan
lahiriah umat Islam sekarang ini tampak sangat religius, tetapi sebenarnya
telah kehilangan religiusitasnya.
Nah, dengan memahami syariat secara proporsional,
dengan melihatnya sebagaimana adanya, maka kita bisa melanjutkan perjalanan
tasawuf kita. Kita tidak lagi terjebak di tengah kemacetan syariat, tetapi kita
bisa berjalan secara wajar untuk kembali kepada Tuhan. Tasawuf berikutnya,
yaitu yang ke-7, akan dibahas makna kembali kepada Tuhan. Insya Allah minggu
depan. Wa billahit taufiq wal hidayah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar