Tasawuf
Bagian ke-5
Bumi, rembulan dan planet-planet lain di tatasurya
ini beredar dalam keseimbangan dan pada batas-batas orbit yang tepat. Begitu
pula semua bintang di alam raya ini berjalan dalam keseimbangan. Ini tidak
berarti tidak ada penyimpangan. Ada penyimpangan itu! Seperti jatuhnya meteor
atau komet pada planet. Penyimpangan itu tidak menghancurkan tatasurya selama
“mizan” atau keseimbangan alam itu tidak terlampaui.
Kehidupan masyarakat manusia di bumi ini juga
mengikuti hukum keseimbangan. Manusia harus menjaga keseimbangan itu. Itulah
sebabnya di dalam Al Quran banyak peringatan untuk tidak merusak bumi ini.
Merusak bumi (termasuk atmosfernya) adalah perbuatan merusak keseimbangan alam.
Akhirnya, proses peretumbuhan dan perkemba-ngan manusia dalam perjalanan menuju
Tuhannya yang mengalami kerusakan. Alam dibuat Tuhan untuk tidak mentolerir
perbuatan yang merusak. Jika manusia telah rusak perilakunya, maka alam dengan
segera memberi jawabannya yang berupa bencana dan mala petaka. Dalam surat al-
A‘raf/7:55-56 manusia diperingatkan,
55. Ud-‘u rabbakum tadharru-‘an wa khunyatan innahu
la yuhibbu l-mu‘tadin.
56. Wa la tufsidu fi l-ardhi ba‘da islahiha wa
d-‘uhu khaufan wa thama-‘an inna rahmata llahi qaribun mina l-muhsinin.
55. Mohonlah kepada Tuhanmu dengan merendahkan diri
dan dengan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orangyang
melanggar batas.
56. Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi
setelah diperbaikinya. Dan mohonlah kepada-Nya dengan penuh kesadaran dan
penuhharapan. Sesungguh-nya rahmat Allah itu dekat dengan orang-orang yang
berbuat ‘ihsan’.
Pada pelajaran sebelumnya telah dijelaskan bahwa
“iman dan amal saleh” [imas] itu satu paket. Sering imas ini dinyatakan sebagai
‘kesalehan’ saja. Kesalehan diartikan dengan segenap tindakan yang memberikan
manfaat bagi kehidupan. Kebalikannya adalah “fasad” atau kebusukan, kerusakan
atau immoralitas. Nah, kebusukan atau kerusakan inilah yang sebenarnya disebut
sebagai kekafiran. Kafir berasal dari kata “ka-fa-ra” yang artinya menutupi,
menyembunyikan atau mengingkari kebenaran. Ketika Nabi Muhammad Saw di Mekah,
kafir dalam pengertian menutupi atau mengingkari kebenaranlah yang menjadi
sasaran dakwah beliau. Kaum kafir yang menjadi sasaran peringatan beliau adalah
mereka yang melanggar batas seperti dalam ayat 55 di atas atau mereka yang
melakukan kerusakan di bumi (ayat 56). Dan ayat tersebut memang diturun-kan di
Mekah.
Jadi, pada mulanya kekafiran itu tak ada kaitannya
dengan agama lain. Ketika beliau masih di Mekah, beliau mengajarkan agama itu
kepada kaum jahil yang hidup di kawasan Mekah dan sekitarnya. Berdasarkan
sejarah, kaum jahil ini tidak mengerti batas-batas tatakrama kehidupan atau
kemanusiaan. Padahal, jika manusia itu tidak mengerti batas kemanusiaannya,
manusia akan mudah terjerumus ke dalam perbuatan nista atau zalim, aniaya.
Konsekuensi perbuatan aniaya adalah perbuatan yang merusak kehidupan di bumi
ini. Cobalah kita perhatikan ekploitasi sumber daya alam di bumi Indonesia ini.
Hutan gundul, sampah menggunung, limbah beracun tak tertimbun adalah akibat
adanya pelanggaran batas (keseimbangan). Buahnya adalah kerusakan lingkungan hidup.
Dan, akibatnya bencana dan mala petaka datang silih berganti.
Ketika beliau di Madinah, bangunan umat Islam yang
baru berdiri ini mengalami gempuran dari pihak Kafir Qureisy dari Mekah. Nabi
mampu menyatukan orang Arab Madinah dari klan Aus dan Khajrad yang senantiasa
bertikai, yang digambarkan di dalam Al Quran sebagai orang-orang yang berada di
tepi neraka. Di Madinah pada waktu itu hidup orang-orang non-Arab yang berkitab
(Yahudi, dan Nasrani dari salah satu sekte agama Kristen). Bahkan orang Yahudi
dapat dikatakan sudah mantap hidup di sana. Semula ajaran Islam ini disampaikan
kepada suku-suku Arab yang tinggal di Madinah dan sekitarnya. Kemungkinan
timbulnya konflik antara mereka dan orang-orang Islam telah dicermati oleh
beliau. Dalam keadaan demikian ini tentu saja Nabi memberi peringatan kepada
semua pihak yang hidup di Madinah, agar masing-masing pihak bisa menjaga
hak-haknya dan saling melindungi tanpa memperhatikan agamanya. Ajaran ini
dirangkum dalam “Piagam Madinah”.
Orang-orang Yahudi yang semula dipandang tinggi
statusnya oleh orang-orang Arab, dengan datangnya agama baru ini, mereka merasa
kehilangan pengaruhnya. Hasutan-hasutan mulai dilancarkan. Konflik tak dapat
dihindari lagi. Ajaran yang nuansa-nya universal ini harus diimplementasikan
secara riil di Madinah. Kota yang menjadi basis perkembangan agama Islam ini
tentu saja harus dijaga keamanan dan kedamaiannya agar ajaran Al Quran tetap
bisa didakwahkan. Kelompok-kelompok agama lain yang sudah mapan ini diminta
untuk tetap teguh memegang kebenaran kitabnya [dalam bahasa sekarang, tidak
boleh plin-plan]. Ajakan untuk memelihara hak, menjaga batas, tak digubris lagi
oleh mereka. Akhirnya, lahir kenyataan baru, yaitu orang-orang yang berkitab
yang tidak bisa menerima kebenaran yang disampaikan oleh Nabi. Inilah yang
disebut “orang-orang kafir dari golongan yang berkitab”.
Jadi, pada mulanya kekafiran itu hanya terbatas bagi
mereka yang melakukan kerusakan di bumi atau mereka yang mengingkari kebenaran.
Selanjutnya kekafiran itu juga diatributkan bagi pemeluk agama lain yang tidak
mau mengerti terhadap hak-hak yang dimiliki oleh umat Islam. Hal ini bisa
dibaca pada surat al-Bayyinah/98:1-7. Kesimpulannya, orang kafir adalah orang
yang mengingkari kebenaran dan melakukan kerusakan di bumi. Tak peduli agama
apa dia.
Kembali kepada ayat di atas. Manusia diperintah
untuk memohon kepada Tuhan dengan cara merendahkan diri, suara yang lembut,
penuh kesadaran dan penuh harapan. Inilah tatakrama dalam berkomunikasi dengan
Tuhan. Merendahkan diri artinya bersikap rendah hati, merasa tak punya apa-apa.
Karena pemilik yang sebenarnya dari semua ini adalah Allah. Kalau diumpamakan
“gentong” maka kita harus merasa sebagai gentong yang kosong, yang siap diisi.
Suara yang dibunyikan harus lembut! Cuma didengar oleh telinganya sendiri.
Inilah prinsip zikir! Selanjutnya, permohonan itu harus dikerjakan dengan penuh
kesadaran. Artinya, harus tumbuh dari hati dan pikiran yang jernih. Dan,
terakhir ditopang oleh keyakinan yang kuat akan dikabulkannya permohonan itu.
Ingat, rahmat Tuhan itu akan hinggap pada
orang-orang yang berbuat ihsan. Suatu perbuatan yang tumbuh dari hati yang
murni. Suatu perbuatan yang tidak distimulasi oleh keinginan yang melanggar
batas. Perbuatan yang tidak dilandasi oleh dorongan untuk mengeksploitasi bumi.
Hanya sebatas yang diperlukan! Hanya mengambil manfaat untuk kehidupan. Bukan
untuk kemubaziran atau pemborosan dalam hidup ini. Memang hal ini tampak
seperti bertentangan terhadap prinsip “pemasaran”. Tetapi sebenarnya kita ini diingatkan
agar menjaga kesejahteraan alam ini demi anak-cucu dan kemanusiaan kita. Apalah
artinya kita sekarang hidup bergelimang harta, tetapi di masa depan kita
menga-lami ketekoran hidup. Karena energi semesta sudah kita hutang sekarang
ini, sehingga di masa depan kita tekor karena harus membayarnya.
Di dalam surat al-Isra’/17:26-29 dinyatakan,
26. Berikan kepada sanak kerabat akan haknya. Juga
kepada orang-orang miskin dan ibnu sabil. Dan janganlah menghambur-hamburkan
harta secara boros.
27. Sesungguhnya para pemboros (mubazirin) adalah
saudara setan, dan setan itu senantiasa mengingkari Tuhan.
28. Apabila kamu tidak bersedia untuk memberi mereka
karena engkau mengharapkan mendapat rahmat dari Tuhan, maka katakanlah kepada
mereka dengan ucapan yang lemah lembut.
29. Janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu, dan
jangan pula terlalu mengulurkannya sehingga kamu menjadi tercela dan menyesal.
Di bab yang lalu telah diterangkan bahwa syariat itu
untuk menjaga kesehatan dan kesejahteraan manusia lahir dan batin. Syariat atau
sembah raga ini meliputi pelayanan di antara sesama dan pelatihan pribadi dalam
berhubungan dengan Tuhan. Dengan kata lain, sembah raga itu ada yang berwujud
pelayanan riil di antara sesama manusia, dan ada pula yang berupa pelatihan
diri untuk penyatuan diri dengan Yang Mahaesa. Jangan salah paham lho! Dari
segi aspek realitas, kita itu senantiasa bersama dan berada di dalam Tuhan.
“Dan Dia senantiasa bersama kamu di mana saja kamu berada.” (QS 57:4). Nah,
penyatuan diri adalah upaya untuk kembali kepada Tuhan, wa inna ilaihi
raji-‘un.
Dengan terciptanya masyarakat yang
anggota-anggotanya saling melayani, maka terwujudlah azas manfaat. Syariat atau
sembah raga untuk menuju masyarakat shalihin. Masyarakat yang di dalamnya
merupakan wujud pluralitas sejati. Perbedaan agama, kepercayaan, dan etnis
tidak menghalangi untuk bisa hidup saling melayani dalam mewujudkan masyarakat
yang damai [QS 2:62, dan 5:69]. Semua pihak dituntut untuk mengutamakan
kesalehan dan rendah hati! Karena itu jangan berisik, kalau bersuara
bersuaralah yang lemah lembut. Kesadaran dalam berzikir [sembahyang] diterapkan
dalam kehidupan sosial. Bila dalam berdoa kepada Tuhan harus dilandasi dengan
harapan, begitu pula dalam kehidupan bersama. Kita harus punya keyakinan bahwa
pelayanan yang tulus di antara sesama akan berbuah kesejahteraan dan kedamaian
bersama. Duri-duri kecurigaan harus disingkirkan.
Nah, untuk membentuk masyarakat shalihin, kita harus
bisa menghormati hak-hak kerabat kita sendiri, orang-orang miskin dan ibnu
sabil. Ini adalah syariat dasar yang dikumandangkan sejak di Mekah. Seruan ini
di Madinah nantinya diwujudkan dalam bentuk “zakat” dalam pengertian sedekah.
Seperti yang telah dibuktikan oleh sejarah, masalah ekonomi adalah hal yang
menentukan sejarah manusia dan kemanusiaan. Tak ada agama yang tidak
menempatkan dana atau sedekah sebagai syariat dasarnya. Islam yang diklaim
sebagai agama terakhir pun menempatkannya sebagai salah satu sendi syariatnya.
Sesuai dengan perkembangan agama, implementasi sedekah atau dana ini tergantung
pada keadaan perekonomian manusia. Mula-mula sedekah itu berupa anjuran untuk
memberikan sebagian harta kepada yang miskin. Kemudian berkembang menjadi
kewajiban, dan yang disedekahkan pun ada takarannya, misalnya 10% dalam agama
Kristen, 2,5% dalam agama Islam. Namun demikian, banyaknya harta yang harus
dizakatkan tidak diatur di dalam Al Quran. Pihak penerima zakat yang
dicantumkan di dalam Al Quran.
Pada ayat-ayat di atas ditekankan sekali agar kita
mampu memelihara harta benda yang dikaruniakan oleh Tuhan dengan
sebaik-baiknya. Pemboros dan kikir sama-sama harus dijauhi. Karena keduanya
adalah perbuatan setan. Keduanya merupakan produk hati yang gelap dan pikiran
yang keruh. Kegelapan dan kekeruhan senantiasa menjauhkan kita dari Tuhan. Ya,
setan itu selalu mengingkari kebenaran. Manusia harus pandai-pandai untuk
mengambil jalan tengah. Boros hakekatnya menghambur-hamburkan energi yang
disediakan Tuhan di alam ini. Kikir berarti menyembunyikan anugerah Tuhan yang
diberi-kan kepada manusia, yang seharusnya dimanfaatkan untuk kesejahteraan
hidupnya. Baik boros maupun kikir, keduanya adalah perbuatan tercela , yang
pada akhirnya menyebabkan manusia hidup menyesal alias menderita.
Apa yang diuraikan ini masih pada tahap sembah raga.
Landasan untuk menempuh tingkatan hidup yang lebih tinggi. Kalau dalam bahasa
tasawuf Timur Tengah, ada empat tahapan yang harus ditempuh manusia untuk bisa
kembali kepada Tuhan Yang Mahaesa. Yaitu, dari syariat, tarekat, hakekat,
hingga makrifat. Yang dalam bahasa tasawuf Jawa disebut sebagai sembah raga,
sembah cipta, sembah jiwa, dan sembah rasa. Yang kesemuanya ini disebut sebagai
catur sembah. Baik makrifat ataupun sembah rasa adalah tahapan manusia untuk
dapat mengenal DS-nya. Dengan mengenal DS-nya manusia akan kenal dengan
Tuhannya. Ingat bunyi Hadis, “Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu,”
barangsiapa yang mengenal dirinya niscaya akan kenal dengan Tuhannya.
Di tahap syariat, yang dinamakan orang miskin adalah
orang yang kekurangan harta benda. Orang ini mempunyai pekerjaan tetapi tidak
mampu untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Yang lebih rendah dari orang miskin
adalah “fakir”, kaum papa. Orang yang betul-betul tidak mampu memenuhi
keperluan hidupnya. Nah, di banyak ayat sering miskin dan fakir ini disebut
“miskin” saja. Orang Indonesia biasa menyebutnya fakir-miskin. Agar tidak
menimbulkan problema kesehatan dan kesejahteraan masyarakat, mereka yang miskin
ini harus ditanggulangi. Ketika struktur ekonomi masih sederhana, menyantuni mereka
dengan zakat sedekah sudah cukup. Namun ketika struktur ekonomi menjadi semakin
kompleks, pemecahannya tidak cukup dengan zakat sedekah. Artinya, kemiskinan
tak akan bisa dipecahkan hanya di tahap syariat.
Lalu harus dipecahkan dengan cara apa? Di sinilah
kita dituntut untuk meningkatkan kualitas sembah atau ibadat kita. Kita tak
boleh mandeg atau cuma berhenti di syariat. Kita harus memahami sumber
kemiskinan yang lebih dalam. Kita tidak cukup hanya melihat kemiskinan dari
segi tidak adanya pekerjaan, lemahnya ketrampilan, atau rendahnya pen-didikan.
Kemiskinan harus dilihat dari sumbernya yang lebih dalam, yaitu kemiskinan budi
pekerti atau akhlak. Ya, kemiskinan di tingkat ihsan atau jiwa. Jika di dalam
umat ini ter-lalu banyak orang yang miskin jiwanya, maka jangan heran bila
timbul kemiskinan lahiriah yang luar biasa. Jadi, perintah untuk tidak hidup
boros atau kikir adalah untuk menanggu-langi terjadinya kemiskinan.
Lho, apa hubungannya boros dan kikir dengan
kemiskinan? Di atas telah dijelaskan bahwa boros itu menghambur-hamburkan
energi. Energi itu dihamburkan untuk memenuhi kepentingan sendiri, atau buat
kesenangan egonya. Akibatnya, di tempat atau kelompok lain akan timbul
kekurangan. Muncul kemewahan pada kelompok tertentu, dan timbul kemiskinan pada
banyak kelompok lain. Begitu pula kekikiran! Kekikiran menyebabkan
terakumulasinya energi pada orang atau kelompok tertentu, tetapi tidak
dimanfaatkan. Energi itu tidak didistribusikan, hanya ditimbun saja. Terjadilah
kebuntuan aliran energi di tengah masyarakat. Yang tidak teraliri mengalami
kemiskinan. Nah, ternyata sumber kemiskinan itu keborosan dan kekikiran.
Sedangkan boros dan kikir itu timbul dari kemiskinan budi atau jiwa. Boros dan
kikir itu setan, perbuatan yang menjauhkan diri dari kebenaran atau mengingkari
Tuhan. Jadi, pemboros dan orang kikir adalah saudara setan. Orang tidak
bertindak boros atau kikir bila keihsanan telah tumbuh di dalam jiwa orang
tersebut.
Ihsan adalah tahap yang lebih tinggi dari Islam dan
Iman. Ihsan ada di wilayah sembah jiwa. Suatu wilayah di tahap akhir sebelum
memasuki tahap sembah rasa. Bila di tahap syariat orang harus bisa menampilkan
kesejahteraan ragawi, di tahap tarekat atau sembah cipta manusia harus bisa
hidup dalam kedamaian hati. Kenikmatan yang diperoleh tidak lagi pada banyaknya
harta benda. Kemudian masuk ke tahap sembah jiwa atau dunia ihsan, dunia
ketulusan hati. Memasuki alam kesadaran untuk duduk bersimpuh di hadirat Ilahi.
Kenikmatan yang diperoleh berupa kesempurnaan diri. Di tahap ini manusia mulai
mampu menimbang hakikat yang terjadi.
Mengapa sih bicara tentang syariat, keborosan dan
kekikiran dihubungkan dengan energi? Di sinilah kita harus tahu! Bahwa hidup
ini berkaitan dengan aliran energi. Badan kita ini sebenarnya hanyalah ibarat
kabel yang dilalui energi. Sedangkan harta-benda, warna, cahaya dan
lain-lainnya adalah bentuk-bentuk energi. Karena itu jangan heran bila secara
alami manusia tertarik pada harta benda. Harta benda adalah bentuk energi yang
paling kasar. Pintu masuknya ke dalam diri kita adalah indera jasmani.
Kekurangan energi menimbulkan kelemahan atau penderitaan jasmani, seperti
lapar, haus, sakit, dan derita jasmani lainnya. Bila energi ini kita peroleh,
maka kita terpuaskan atau menjadi sehat.
Bagaimana bila energi kita serap banyak-banyak
sehingga melebihi kapasitas jasmani kita? Jasmani manusia memiliki daya
tampung. Jika daya tampungnya
terlampaui, maka akan terjadi penimbunan. Timbunan-timbunan ini akan menghambat
atau menghalangi aliran energi di dalam tubuh. Akibatnya, timbul sakit pada
jasmani. Agar tidak tertimbun, maka energi ini kita alirkan keluar. Misalnya,
berupa banyak bergerak [pekerjaan fisik, olah raga, salat, dll], marah-marah,
dan aktivitas seksual. Tentu saja penyaluran energi dengan marah-marah adalah
perbuatan negatif. Nah, bila kelebihan energi ini bisa mengalir keluar dengan
mulus, maka manusianya menjadi terpuaskan.
Perlu diperhatikan, kelebihan energi bendawi (selama
badan sehat) akan meningkat-kan aktivitas seksual. Dan ini memang jalur alami
pada makhluk hidup. Hanya saja pada manusia bila kelebihan energi ini tidak
dikontrol dengan baik, penyalurannya menjadi tidak seimbang, yaitu lebih banyak
melalui aktivitas seksual. Akibatnya, aktivitas seksual yang secara alaminya
suci, menjadi terkontaminasi sehingga menjadi aktivitas yang negatif. Nah,
syariat sebenarnya mengatur masuk-keluarnya energi bendawi secara sehat. Jadi,
bila ada orang yang mudah marah, itu tandanya kelebihan energi bendawi atau
terjadi penyumbatan energi di dalam tubuh.
Secara individual boros berarti menyerap energi
harta benda secara berlebih-lebihan, sehingga banyak pihak yang menderita
kekurangan energi. Orang boros menyebabkan ketekoran energi pada pihak lain,
dan membuat ketekoran energi pada dirinya di masa depannya. Karena itu orang
yang boros akan mengalami penderitaan. Orang kikir banyak mengumpulkan energi.
Karena tak disalurkan, dan cuma ditimbun, maka akan menim-bulkan sumbatan
energi dalam hidupnya. Penyakit jasmani pun akan timbul. Akibatnya, orang yang
kikir juga mengalami penderitaan. Ia akan menderita karena energi itu tidak
dimanfaatkan dengan benar. Dan dalam masyarakat keborosan dan kekikiran akan
menim-bulkan kemiskinan. Yang pada akhirnya menimbulkan bencana dan malapetaka.
Zakat sedekah adalah sarana untuk mencegah timbulnya
keborosan dan keki-kiran harta benda. Memang ini merupakan langkah pertama
untuk mengendalikan kemis-kinan dalam suatu negara. Hal ini diungkapkan dalam
surat at-Taubah/9:103,
Pungutlah zakat sedekah dari sebagian harta benda
mereka. Dengan zakat itu engkau membersihkan dan menyucikan. Dan mohonkan
rahmat bagi mereka. Sesungguhnya permohonanmu itu menentramkan jiwa mereka.
Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.
Jadi, dengan zakat itu kemungkinan terjadinya
penyumbatan energi bendawi di dalam masyarakat dicegah. Masyarakat dibersihkan
dari berbagai macam penyakit. Namun, bila serangan penyakit terlalu berat dan
terlalu kompleks, zakat tak akan sanggup menyehatkannya. Harus ada upaya
tarekatnya, atau sembah ciptanya. Mengenai pihak-pihak yang secara fisikal
berhak menerima zakat sedekah akan dibahas pada materi tasawuf yang akan
datang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar