Tasawuf
Bagian ke-4
Di bagian ke-3 diterangkan bahwa kita semua, alam
semesta ini, dihadirkan oleh Tuhan dari “Satu Wujud”. Lalu, dipisahkan-Nya
wujud yang satu itu menjadi triliunan entitas atau wujud. Dari wujud-wujud itu
ada yang menjadi “sarana” kehidupan, seperti planet bumi; dan ada pula yang menjadi
“wahana” kehidupan. Yang pertama adalah alat, lingkungan atau perlengkapan
untuk mencapai tujuan, sedangkan yang belakangan adalah kendaraan untuk
mencapai tujuan. Jadi, bumi adalah tempat kehidupan dan badan adalah kendaraan
bagi sang hidup untuk kembali kepada Yang Maha Hidup.
Nah, tubuh atau fisik kita sebenarnya hanyalah
“kendaraan” atau “alat transpor” bagi “Diri Sejati” kita, “hidup” kita, atau
“sukma” kita. Saya sengaja tidak menggunakan kata “aku” untuk menghindari
kesalahpahaman dengan “ego” atau ananiyah, keakuan. Jadi, untuk selanjutnya
diri sejati yang ada pada masing-masing diri kita, saya singkat dengan “DS”.
Ya, dialah penunggang kereta yang bernama badan jasmani ini. Dialah yang
disebut “sang hidup”. Baju yang digunakan DS ini namanya “nafs” atau jiwa. Dan,
DS ini roh adanya. Karena itu, manusia yang hidup ini sebenarnya terdiri dari
komponen yang bersifat fisik (corpus, badan), nafsani (animae, jiwa atau
nyawa), dan rohani (spiri-tus, semangat atau roh).
Fisik, jiwa dan roh adalah kelengkapan bagi DS untuk
menjalani hidup ini. Jika jiwa putus hubungan dengan fisik, maka manusia
disebut mati. Dari komponen badan, jiwa dan roh, maka jiwa adalah tali
penghubungnya. Jiwa yang dalam bahasa Arabnya “nafs” berasal dari kata kerja “na-fu-sa” yang berarti menginginkan,
berhasrat, atau bernapas. Artinya, jiwalah yang menyebabkan badan jasmani ini
menjadi hidup. Dan jiwa pula yang membuat manusia bisa merasa duka dan suka.
Bila jiwa ini putus hubungan dengan jasmani karena jasad tersebut tak dapat
dioperasikan lagi maka matilah badan. Dengan kata lain, “jiwa mengalami mati”.
Dalam cacah penduduk dikatakan bahwa di lingkungan itu tinggal sekian jiwa.
Bila ada kecelakaan yang menyebabkan kematian dikatakan “kecelakaan itu
menyebabkan terenggutnya sekian jiwa” atau
“sekian jiwa melayang”. Jadi, peranan jiwa bagi DS sangat penting.
Lalu, dimana fungsi roh bagi DS dalam kehidupan? Di
dalam Al Quran Surat Al Israa’/17:85 dinyatakan, “Mereka bertanya kepada engkau
tentang roh. Katakan, ‘Roh itu amar (kehendak) Tuhanku. Kamu tidaklah diberi
ilmu (tentang roh) kecuali sedikit’.” Banyak orang yang menerjemahkan ayat
tersebut dengan “roh itu urusan Tuhanku”. Dengan terjemahan tersebut, pintu
pemahaman roh telah mereka tutup. Akibatnya, dunia ilmu pengetahuan kita
semakin tertinggal. Roh berasal dari kata dasar Arab “ra-wa-ha”, artinya
mengipasi, menyegarkan kembali, menghidupkan hati, atau membangkitkan semangat.
Kata yang seakar kata dengan roh adalah “riyah” atau angin, “raahah” atau
senang, nyaman, atau rekreasi, dan “rauhah” atau perjalanan. Kata “rawaah”
berarti pergi atau keberangkatan. Minuman anggur dalam bahasa Arabnya adalah
“raah”. Dan, istirahat dalam bahasa kita juga berasal dari akar kata yang sama
dengan roh.
Kata roh dalam Al Quran selalu dinyatakan dalam
bentuk tunggal. Roh merupakan perlengkapan bagi DS untuk mengembangkan dirinya.
Dengan rohnya manusia bisa meningkatkan dan membedakan dirinya dari dunia
hewan. Dengan roh manusia dapat memberdayakan akalnya atau “al-qalam” yang ada
di dalam dirinya. Perlu diketahui bahwa dengan al-qalam Tuhan mengajari manusia
dari apa-apa yang belum diketahuinya. Lihat kembali Surat al-‘Alaq/96: 4 ? 5.
Nah, DS yang terampil mempergunakan al-qalam inilah yang dalam Tasawuf Jawa
disebut “Guru Sejati” atau “Sukma
Sejati”. Pada tahap inilah manusia bisa menorehkan keindahan dan kemajuan di
bumi ini. Dengan GS-nya manusia mampu membuahkan “ilmu” yang tidak diajarkan
oleh manusia sebelumnya. Dari manakah ilmu itu? Tentu saja langsung dari Tuhan.
Inilah yang difirmankan dalam Surat al-Kahfi/18:65, “Kami telah memberikan
rahmat kepadanya dan mengajarkan suatu ilmu dari sisi Kami.” Juga dinyatakan
dalam Surat al-Baqarah/2: 282, “Dan bertakwalah kepada Allah, niscaya Allah
mengajarmu. Dan Allah itu Maha Mengetahui segala sesuatu.” Dengan demikian,
Allah mengajar DS dengan al-qalam sehingga DS menjadi GS bagi dirinya.
Lho, apa hubungannya pemahaman GS dengan tasawuf?
Apa tidak terlalu tinggi jika setiap orang harus bisa mengangkat derajat DS-nya
menjadi GS? Bukankah derajat itu untuk sedikit orang di dunia ini? Bukankah
secara umum manusia ini tergolong orang awam? Apa tidak mubazir belajar
demikian ini?
Mari kita ingat lagi ajaran yang telah diberikan
pada bagian sebelumnya. Ajaran tasawuf membawa manusia untuk bisa mendapatkan
hikmah dalam kehidupan ini. Telah dijelaskan bahwa hikmah itu tak ada kampus
atau sekolahannya. Pengajar hikmah adalah Tuhan Yang Mahaesa! Tuhan mengajar
manusia (DS-nya) dengan al-qalam. DS yang mendapat ilmu dari sisi Tuhan,
akhirnya menjadi guru bagi dirinya. Guru yang ada di dalam diri manusia itulah
sebenarnya guru yang waskita, yang betul-betul awas. Sehingga dia disebut
sebagai “Guru Sejati”. Jika nurani manusia bekerja maka sesungguhnya yang
bekerja adalah GS-nya. Menurut filsafat, pengetahuan yang sejati pun lahir dari
dalam DS seseorang. Jika DS seseorang tertutup atau tak bekerja, maka orang itu
tak akan mampu menghasilkan ilmu baru. Bila DS seseorang tak bekerja, maka
maksimal ilmu yang didapat oleh orang tersebut adalah sebanyak yang diajarkan
oleh gurunya. Iptek yang dihasilkan oleh orang yang terdidik adalah “inovasi”,
bukan penemuan atau “invention”. Tanpa penemuan listrik, dunia ini tetap
diterangi lampu minyak. Orang naik haji dari Indonesia masih tetap membutuhkan
waktu 3 bulan perjalanan.
Sedangkan sasaran pokok ajaran tasawuf adalah
mengangkat posisi masyarakat ke tingkatan standar, yaitu masyarakat shalihin.
Di dalam masyarakat shalihin, manusia-manusia di dalamnya saling menolong dalam
kebaikan dan bukan tolong-menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan.
Difirmankan dalam surat al Ma-idah/5:2,
“Dan
janganlah kebencianmu terhadap seuatu kaum, karena mereka menghalangimu
berkunjung ke Masjid al-Haram, menyebabkan kamu ber-buat melanggar batas
(kemanusiaan). Dan tolong-menolonglah dalam kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam dosa dan permu-suhan. Bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya pembalasan dari Allah amat keras.”
Mari kita perhatikan ayat tersebut! Masjid al-Haram
adalah pusat peribadatan orang-orang Islam. Sebelum Mekah ditaklukkan oleh
Nabi, orang-orang Islam mendapat halangan dari orang-orang Qureisy untuk
beribadah di Masjid al-Haram. Tentu saja hal ini membuat orang-orang Islam
benci kepada orang-orang Qureisy Mekah. Namun, sikap benci atau kebencian harus
dikendalikan. Kebencian itu tidak boleh menyebabkan perilaku yang melanggar
batas kemanusiaan. Dalam istilah sekarang kebencian seseorang terhadap suatu
kaum tidak boleh menyebabkan ia melanggar HAM. Nah, bagaimana se-seorang bisa
mengenal HAM kalau tidak memahami suara nuraninya?
Kita diperintahkan untuk saling menolong dalam
kebajikan dan saling memelihara dalam kedamaian hidup. Kita dilarang untuk
saling menolong dalam kejahatan dan per-musuhan. Bantu-membantu dalam
kebajikan, tolong-menolong dalam memelihara per-damaian adalah suara nurani.
Nurani adalah kerja DS. Bila DS kita kerangkeng dan kita tutup rapi, maka suara
nurani itu tak terdengar lagi. Bila nurani telah hilang maka tak ada artinya
syahadat, shalat, puasa, zakat dan haji. Semua ibadah itu hanyalah kulit yang
rapuh bila tidak terpancar dari hati yang tulus.
Memang sekarang ini kita masih jauh dari kehidupan
shalihin ini. Kita masih disi-bukkan oleh kepentingan diri-sendiri. Inilah
sebenarnya yang merupakan wujud dari ego manusia! Manusia tidak mencoba meniti
ke dalam dirinya. Tetapi, ia malah memperturut-kan dorongan egonya, hanya mau
memenangkan kepentingannya. Roh yang fungsinya untuk menghidupkan hati,
tersekat oleh ego manusia. Manusia yang mestinya mengetuk pintu hatinya, masuk
menemuinya DS-nya, dan bertemu Allah; malah lari tunggang langgang seperti
“dracula” yang takut cahaya matahari. Lari dari jalan yang benar akan
menghadapi risiko yang berat. Inilah sistem kerja semesta! Karena itu dalam
ujung ayat tersebut diperingatkan bahwa “pembalasan dari Allah itu amat keras”.
Kita jangan sampai menganggap bahwa Allah itu
pembalas. Allah bukanlah pembalas! Dia Maha Pemurah dan Maha Penyayang. Allah
yang menetapkan sistem pada ciptaan-Nya dan sekaligus memberinya petunjuk.
Namun, jika ciptaan-Nya itu keluar sistem maka sungguh gawat risikonya.
Bayangkan bila rembulan di atas kita itu lepas dari orbitnya, maka bumi ini
bisa meledak. Karena itu manusia diperingatkan agar tetap men-jaga dirinya di
jalan yang benar, jalan yang telah digariskan. Ada 69 kata perintah “ittaquu”
atau lindungi atau jaga dirimu, dalam Al Quran. Cara untuk melindungi diri itu
telah diinformasikan kepada DS. Sedangkan petanya adalah kitab-kitab suci.
Jadi, orang yang membaca kitab suci sebenarnya adalah orang yang membuka peta
perjalanan hidup. Sedangkan kehendak untuk melakukan perjalanan ada pada diri
manusia itu sendiri. DS tidak muncul bila pikiran manusia keruh, hatinya kotor.
Karena kebanyakan DS manusia itu tertutup oleh karat
hati, maka manusia diajari untuk membersihkan diri dari bagian luarnya dulu
kemudian semakin ke dalam. Nah, cara membersihkan diri dari bagian luar inilah
yang dinamakan “syariat”. Setiap umat diberikan syariat, seperti dijelaskan
pada 5:48, “Setiap umat di antaramu telah Kami beri syariat dan minhaaj.”
Syariat adalah jalan yang dilalui dalam hidup ini. Agar tetap hidup, manusia
harus makan. Tetapi makanan yang disyariatkan adalah yang halal lagi baik. Yang
halal dan baik ini yang membedakan kehidupan lahiriah antara agama yang satu dengan
yang lain. Untuk mempertahankan hidupnya, disamping harus makan, manusia juga
harus minum. Minuman yang disyariatkan tentu saja yang halal dan baik. Dalam
surat al-Baqarah/2:168 dinyatakan, “Wahai manusia makanlah apa-apa yang halal
dan baik yang ada di bumi ini. Dan janganlah mengikuti langkah-langkah setan,
karena sesungguhnya ia musuhmu yang nyata.”
Jika kita bicara tentang setan maka janganlah
membayangkan yang aneh-aneh. Kata setan yang berasal dari kata Arab “syaa-tha”
dan “sya-ya-tha” mempunyai arti sesuatu
yang membakar, menghanguskan, atau yang menyebabkan hati menjadi keras atau tak
berperasaan. Karena itu setan tidak bertempat di luar manusia. Rumah setan
adalah manusia itu sendiri. Ia bertamasya di seluruh tubuh manusia melalui
peredaran darah. Persinggahannya ada di dalam perasaan dan pikiran. Inilah yang
disebut setan itu berasal dari “al-jinnah” dan “al-naas” yang ada pada QS
114:6.
Perasaan dan pikiran manusia tumbuh seiring dengan
pertumbuhan manusia dari bayi hingga dewasa. Manusia mengalami suka-duka dan
kenikmatan melalui indera lahir dan batinnya. Seharusnya, manusia yang
mengendalikan perasaan dan pikirannya. Tetapi, kenyataannya kebanyakan manusia
dikendalikan oleh hati dan pikirannya. Bisikan hati dan pikiran ini bersembunyi
di daerah dada manusia. Ia menjadi setan yang bersembunyi yang disebut
khannaas. Nah, manusia yang hanya memenuhi seruan perasaan dan hatinya adalah
manusia yang mengikuti langkah-langkah setan. Dan, setan itu adalah musuh yang
nyata bagi manusia. Maka musuh yang sebenarnya dari manusia adalah bisikan
perasaan dan pikirannya sendiri! Manusia harus mampu mengendalikan perasaan dan
pikirannya sendiri. Sehingga dengan demikian ia dapat memilih makanan dan
minuman yang halal dan baik. Dengan kata lain, makanan dan minuman yang sehat
bagi badan jasmaninya. Lha, bagaimana dengan kesehatan jiwanya? Sabar,
sebentar.
Syariat memang ditujukan untuk membangun pertumbuhan
fisik yang sehat. Sesuai dengan ungkapan Arab, “Al ‘aqlu s-saliimu fi l-jismi
s-saliim” atau “Akal yang sehat terletak di dalam jasmani yang sehat”. Dalam
bahasa Itali dikatakan “Mens sana in corpore sano” atau “Pikiran yang sehat ada
di dalam tubuh yang sehat”. Tentu saja hal ini jangan dipertentangkan dengan
adanya kenyataan bahwa ada orang yang badannya tidak sehat tetapi pikirannya
sehat. Kita harus melihat sehat dari segi kedokteran, yaitu keadaan yang
mengintegrasikan antara impuls masukan dan impuls keluaran oleh saraf pusat.
Atau, terintegrasikannya saraf sensorik dan motorik oleh saraf pusat. Nah, agar
saraf sensorik yaitu saraf penerima yang berhubungan dengan indera dan saraf
motorik yang berhubungan dengan aktivitas tanggapan bisa bekerja normal
(seimbang) maka badan jasmani ini harus disehatkan lebih dahulu. Jadi, kalau
gula itu rasanya manis maka saraf sensorik itu harus merasakan manis. Dan kalau
ada dua makanan yang manis, maka kemanisannya dapat diperbandingkan. Ini
tandanya sehat, alias normal. Salah satu upaya menjaga kesehatan jasmani adalah
memilih makanan yang sehat (halal dan baik).
Kesehatan jasmani juga dihasilkan melalui kebersihan
badan dan lingkungan. Kulit jasmani ini dapat menjadi tempat berkembangbiaknya
penyakit bila tidak dirawat atau dibersihkan. Dalam perkembangan evolusi
jiwanya, manusia pada akhirnya sadar bahwa air adalah sarana untuk membersihkan
badannya. Minimal setiap harinya manusia harus membersihkan bagian-bagian yang
penting dari jasmaninya. Dengan demikian, pori-pori yang ada di seluruh
permukaan kulit yang dibersihkan itu tidak tertutup oleh kotoran. Dalam istilah
sekarang semua ventilasi di bagian-bagian pokok seperti bagian kepala, wajah,
tangan dan kaki kita buka. Sehingga udara segar bisa masuk dengan leluasa, dan
badan terasa segar. Dalam badan yang segar, perasaan dan pikiran terasa segar
pula. Nah, konsep pembersihan bagian tertentu badan jasmani ini dalam syariat
disebut “wudhu”. Kata ini dalam bahasa Indonesianya adalah memisahkan. Ya,
wudhu adalah tindakan untuk memisahkan kotoran dari badan.
Kesehatan jasmani dipenuhi dengan makanan dan
minuman yang sehat, dan bagian luar jasmani yang dibersihkan dari berbagai
macam kotoran. Disamping itu, badan akan menjadi sehat bila secara teratur
digerak-gerakkan. Dengan gerakan yang teratur, peredaran darah dan hormon akan
berjalan dengan normal. Bukan hanya peredaran darah dan hormon, peredaran udara
dan zat-zat makanan dalam tubuh pun berjalan dengan baik. Bila metabolisme
dalam tubuh ini tidak ada yang terganggu atau terhambat, maka badan jasmani ini
akan bekerja dengan normal. Badan menjadi sehat! Syariat salat mewakili
gerakan-gerakan tubuh.
Makanan dan minuman harus dipilih yang sehat. Badan
harus bersih dari najis atau kotoran. Kemudian, makanan pun harus dimakan
secara teratur waktu dan banyaknya. Dalam Islam ada syariat yang mengatur waktu
dan banyaknya makanan yang dikonsumsi dalam setiap tahunnya. Inilah yang
dinamakan puasa! Zakat dalam pengertian sedekah, yaitu mengeluarkan sebagian
kekayaan untuk orang lain yang perlu dibantu, juga merupakan syariat untuk
membersihkan kehidupan lahiriah seseorang. Oleh karena itu, dalam tasawuf Jawa,
pengamalan ibadah yang ragawi ini disebut “Sembah Raga”. Suatu pengabdian yang
harus ditampilkan secara ragawi.
Sembah raga merupakan tingkatan yang terendah dalam
peribadatan. Tetapi, sembah raga adalah dasar untuk membersihkan dan
menyehatkan kehidupan lahiriah seseorang. Karena itu syariat meliputi semua
tindakan lahiriah manusia. Tentu saja yang termasuk dalam syariat adalah adalah
semua tindakan yang bersifat etiket dan etika dalam kehidupan ini. Agar
orang-orang yang beli bahan makanan di suatu toko tidak saling berebut, maka
harus dilakukan antre. Ini pun syariat!
Dalam surat 5:48 di atas disebutkan bahwa dijadikan
syariat bagi setiap umat, dan juga minhaaj. Kata minhaaj atau manhaaj, yang
bentuk pluralnya manaahij, artinya tata-cara atau prosedur. Jika akan
mendirikan salat disyariatkan ‘berwudhu’ yaitu mengguna-kan air untuk membersihkan bagian-bagian tertentu, maka dengan
minhaaj bagian-bagian yang dibersihkan itu dijelaskan secara detil termasuk
yang membatalkannya. Begitu pula puasa yang disyariatkan artinya menahan diri
dari makan, minum, dan bersanggama di siang hari, maka dengan minhaaj
batas-batas itu diterangkan.
Dalam surat al-Maidah/5 : 6 dijelaskan bahwa tujuan
syariat itu, “Allah tidak ber-kehendak untuk menyulitkan kamu, tetapi Dia
berkehendak untuk membersihkan kamu dan menyempurnakan kenikmatan yang
diberikan kepadamu agar kamu menjadi orang yang bersyukur.” Dari ayat ini jelas
sekali bahwa maksud ditetapkannya syariat itu untuk membersihkan kehidupan
lahiriah atau ragawi pelakunya. Bahkan zakat yang dipungut pun dimaksudkan
untuk membersihkan dan menyucikan harta-harta yang mereka peroleh. Dengan
berzakat, secara lahiriah mereka digolongkan ke dalam orang-orang yang harus
dilindungi kehidupannya, terlepas dari hatinya tidak rela atau malah menerima
dengan ikhlas. Sama dengan orang yang terkena iuran untuk jaga malam. Yang
diutamakan tentu kesediaan secara lahiriah untuk membayar iuran itu, meskipun
yang bersangkutan mungkin saja kesal hatinya karena dipungut iuran. Namun,
dalam hidup bermasyarakat kepentingan bersama jauh lebih penting daripada
kepentingan kelompok atau pribadi. Lebih-lebih ketika agama Islam baru pada
tahap awal perkembangannya. Sehingga solidaritas yang tampak secara lahiriah
sangat penting.
Kita lihat bahwa ajaran Islam ketika di Mekah
bersifat panduan moral yang universal. Syariat belum diimplementasikan dalam
kehidupan sehari-hari. Solidaritas umat belum terbentuk. Keperkasaan badan
jasmani umat belum dibina dan dilatih. Tetapi, setelah umat Islam hijrah ke
Madinah, dan tetap dikejar-kejar dan ditekan, maka solidaritas umat perlu
digalang, kesatuan perlu dibina, dan keperkasaan perlu dibentuk.
Karena itu setelah masuk Madinah, perlahan-lahan
syariat diterapkan bagi umat Islam. Yang pertama kali diberlakukan adalah salat
wajib, kemudian puasa Ramadhan pada tahun ke-2 Hijrah, salat Jumat pada tahun
ke-5, haji pada tahun ke-8 dan disusul zakat. Jadi, jelas bahwa syariat adalah
konsep untuk membangun kesehatan umat. Sedangkan dari tinjauan pribadi, syariat
adalah ajaran yang bersifat “zikir”. “Fadzakkir, lasta alaihim bi mushaithir”,
berilah ajaran mereka itu (Muhammad), dan engkau bukannya orang yang ditugaskan
untuk menguasai mereka.
Dengan syariat itu Islam berkembang dengan pesat. Hal
ini disebabkan syariat Islam itu menunjang keteraturan dan ketertiban hidup.
Dilihat dari aspek jasmani, salat adalah suatu bentuk olah raga yang walaupun
sedikit waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakannya, tetapi aktivitasnya
dilakukan cukup sering, minimal 5 kali sehari. Dan, dalam aspek sosialnya,
salat mendidik orang untuk hidup bersama secara disiplin. Tentu saja yang tidak
boleh dilupakan dalam salat adalah pelatihan meditasi atau zikir di dalamnya.
Dan sebenarnya makna batin ini yang paling penting dari salat. Karena itu,
salat yang tidak dijalankan dengan khusyuk dipandang tidak ada nilainya. Karena
tanpa kekusyukan tak akan bisa terbentuk jiwa yang tenang. Di dalam surat
al-Ankabut/29:45 disebutkan bahwa tujuan dari salat adalah mencegah perbuatan
keji dan mungkar. Dan, nilai zikir dalam salat itu lebih besar dari bentuk
peribadatan lainnya.
Memang tidak mudah mempraktikkan zikir sambil
bergerak. Karena gerakan itu sendiri mempengaruhi pikiran pelaksananya. Tetapi,
bila sanggup menjalankan zikir dalam gerakan, maka efek positifnya akan tampak
nyata. Tapi sayang, masyarakat agamis hanya terpaku pada kewajiban menjalankan
salat secara lahiriahnya. Kita mandeg pada kesehatan lahiriah. Kita tidak mau
mempromosikan salat untuk membangun kesehatan batiniah. Buktinya apa? Ya, dapat
dikatakan tidak adanya guru salat yang mampu mengajar orang salat yang khusyuk.
Padahal kekhusukan inilah yang dapat membuat orang mampu mencegah perbuatan
keji dan mungkar. Mengapa? Karena hatinya sudah tenang. Pikirannya tidak lagi
ngaya. Akhirnya tercipta manusia yang mampu mengenda-likan perasaan dan
pikirannya. Orang demikianlah yang tidak mempan dibisiki oleh khannas yang
senantiasa berbisik di dalam dada.
Tasawuf Jawa mengajarkan bahwa di tingkat syariat,
syahadat baru merupakan ucapan “Asyhadu an laa ilaaha illa llaah wa asyhadu
anna muhammadan rasuulu llah.” Ya, baru sampai pada ucapan “Saya bersaksi bahwa
tidak ada Tuhan selain Allah, dan saya bersaksi bahwa Muhammad itu utusan
Allah.” Betul-betul baru sebagai tanda identitas kemusliman seseorang. Jadi,
syahadat di tingkat syariat baru pada pernyataan bahwa seseorang itu masuk
kedalam masyarakat atau agama Islam. Ucapan ini tentu saja terlepas dari apakah
‘syahadat’ itu lahir dari hati yang tulus atau karena kepentingan lain bagi si
pengucap. Lalu, bagaimana dengan salatnya? Tentu saja masih sebatas mengisi
daftar hadir sebagai orang muslim. Dalam istilah sekarang,
salat yang dilaksanakan secara syariat itu masih sebatas untuk membebaskan diri
dari kewajiban. Padahal sebenarnya, salat ditegakkan untuk berzikir!
Puasa pada tingkat syariat juga sebatas mencegah
makan-minum dan sanggama pada siang hari. Ya, masih formalitaslah namanya.
Pelaku menunjukkan bahwa dirinya termasuk orang yang menjalankan ibadah puasa.
Dan puasa semacam ini yang diwariskan dari generasi ke generasi. Seharusnya
umat Islam harus mengajarkan puasa yang lebih tinggi kualitasnya, yaitu puasa
yang efektif untuk mengendalikan makan dan minum selama hidupnya. Saya yakin,
jika mutu puasa umat meningkat setiap tahun, maka tak ada lagi orang Islam yang
terserang penyakit akibat makanan.
Ringkasnya, semua bentuk syariat terkait erat dengan
peribadatan ragawi. Tujuan pokok syariat adalah untuk membersihkan dan
menyucikan kehidupan lahiriah manusia. Jadi, yang diharapkan adalah kesehatan
individu dan masyarakat secara formal. Aspek formalitasnya lebih menonjol. Jika
kita mandeg atau berhenti di tataran syariat, maka sulit sekali kita mewujudkan
masyarakat adil dan makmur secara lahir dan batin. Masih jauhlah kita dari
terwujudnya masyarakat standar, yaitu masyarakat shalihin. Masyarakat yang
orang-orangnya saling memberikan manfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar