Tasawuf
Bagian ke-3
Telah dijelaskan bahwa ajaran tasawuf adalah untuk
menggapai hikmah Ilahi, yang pada akhirnya mampu kembali kepada Allah. Dia
adalah asal segala keberadaan, baik yang kasat mata maupun yang gaib. Alam
semesta ini tumbuh dari wujud yang paling sederhana, yang disebut titik
singularitas. Pada suatu masa yang sangat mampat, meledaklah titik singularitas
itu. Ilmuwan fisika menamai ledakan ini dengan “big bang”, atau “ledakan
besar”. Segala sesuatu ini memang berasal dari titik tunggal seperti yang
diungkapkan pada QS 21 : 30, “Dan apakah orang-orang yang ingkar itu tidak
mengetahui bahwa sesungguhnya langit dan bumi itu dahulunya satu yang padu.
Lalu Kami pisahkan keduanya. Dan Kami jadikan segala sesuatu yang hidup dari
“zat cair”. Maka apakah mereka tetap tidak beriman?”
Di antara mufasir Al Quran ada yang mengatakan bahwa
“samawat” adalah semua ruang, dan “ardh” adalah materi. Dengan demikian ayat
tersebut di atas diterjemahkan menjadi “sesungguhnya ruang dan materi itu
dahulunya sebagai wujud yang satu”. Lalu, apa hubungannya ayat ini dengan
bahasan tasawuf kita? Ya, ayat ini sebenarnya mengi-ngatkan kita bahwa semua
keberadaan ini berasal dari “SATU” wujud. Dari situlah
adanya matahari, planet-planet,
rembulan, dan semua bintang yang bermilyar-milyar banyaknya itu. Dan di
planetlah tumbuh kehidupan, yang berevolusi dari kehidupan satu sel hingga
menjadi makhluk milyaran sel yang sangat kompleks yang disebut manusia.
Semua makhluk, kecuali manusia, menempuh
kehidupannya sesuai dengan komando Tuhan semesta alam. Manusia dalam perjalanan
sejarahnya akhirnya menemukan kebe-basan dirinya. Manusia tidak lagi tunduk
kepada hukum alam, tetapi berusaha mengatasi alam. Karena itu pada akhirnya
manusia dipilih menjadi “khalifatullah fil ardh”, yaitu wakil Tuhan di bumi.
Jadi manusia itu bukan “penguasa bumi”, tetapi wakil-Nya di bumi. Sebagai
“wakil” tentu manusia harus bisa bertemu dengan-Nya untuk
mempertanggung-jawabkan amanat yang diembannya. Dan sudah menjadi “janji” Tuhan
bahwa setiap orang pada akhirnya dapat menemui-Nya!!
Perhatikan QS 84:6-9,
“Hai manusia sesungguhnya engkau telah berusaha
sungguh-sungguh menuju Tuhan engkau, dan engkau niscaya menemui-Nya. Dan orang
yang menerima rekaman pada tangan kanannya, maka ia mendapatkan penilaian yang
baik. Dan ia akan kembali kepada keluarganya dengan gembira.”
Jadi, kapan seseorang bertemu dengan-Nya? Yaitu,
ketika orang itu sudah bisa menyucikan dirinya, yang pada ayat tersebut
dikatakan sebagai ‘menerima rekaman amalannya pada tangan kanannya’. Tentang
ayat 9 yang menyatakan kembali kepada keluarganya dengan gembira, tidak kita
bahas sekarang ini. Bertahap supaya kita tidak bingung! Yang jelas, untuk bisa
bertemu dengan-Nya, kita harus sungguh-sungguh mencari-Nya. Agar kita bisa
mempertanggungjawabkan tugas-tugas yang kita emban, yaitu tugas untuk “hamemayu
ayuning bawana”, menciptakan kebaikan dan keindahan di bumi ini. Sehingga pada
QS 21:105 disebutkan oleh Tuhan bahwa bumi ini akan diwarisi oleh
hamba-hamba-Nya yang saleh, hamba yang berbuat kebajikan, yaitu sebagai lawan
dari orang-orang yang membuat kerusakan di bumi. Hal inilah yang disinggung
dalam surat al-Baqarah/2:11, “Dan apabila dikatakan kepada mereka (orang-orang
kafir): ‘Jangan membuat kerusakan di bumi!’ Mereka menjawab, ‘Sesungguhnya kami
adalah orang-orang yang saleh.’” Jadi, kesalehan adalah lawan dari kekafiran.
Mencintai-Nya, tentu diikuti dengan tindakan
mencari-Nya. Omong kosong, orang yang mengatakan ‘mencintai’ Dia tanpa ada
keinginan untuk bertemu dengan-Nya! Tapi bagaimana mencari-Nya, wong Dia itu
tak tertangkap oleh indera kita. Dia memang Maha Besar, Allaahu Akbar, tetapi
Dia juga Maha halus, wa huwa lathiif. Dikonfirmasi dalam surat
al-An-‘aam/6:103, “Dia tidak dapat dicapai oleh indera, sedangkan Dia meliputi
indera. Dia Maha Halus dan Maha Menyadari.” Karena Dia tidak tertangkap oleh
indera itulah, Allah memerintahkan manusia untuk berittiba’ atau mengikuti
Rasul-Rasul-Nya, yang untuk umat Islam berittiba’ kepada Nabi Muhammad s.a.w.
Rasul adalah juga manusia seperti kita. Ia manusia
yang makan, minum, dan bekerja layaknya manusia biasa. Sebagian besar dari
rasul justru memilih kehidupan berkeluarga. Namun mereka itu manusia yang
mempunyai kualitas lebih dari kebanyakan manusia. Yang jelas semua rasul/nabi
tahan menderita. Semangat hidupnya tinggi. Makan, minum, dan tidurnya relatif
sedikit. Mereka terpanggil untuk mewartakan jalan hidup yang benar. Mereka
bahkan tidak hanya mewartakannya, tetapi membawa dan menggembalakan umat
manusia. Tentu saja sifat jujur,
tepercaya, cerdas, dan menyampaikan kebenaran itu adalah sifat mereka.
Nah, di antara para rasul dan yang menjadi penghulu para nabi adalah Nabi
Muhammad s.a.w.
Muhammad memiliki keteladan yang baik bagi umat
manusia yang mendambakan Allah dan Hari Akhir dan banyak berzikir kepada Allah
(QS 33:21). Seperti yang telah dijelaskan di bagian ke-2, mengikuti keteladanan
tidak sama dengan meniru. Meniru adalah proses pendewasaan tahap awal seorang
anak manusia. Sedangkan mengikuti keteladanan, termuat usaha untuk mengerti apa
yang diteladankan. Mengikuti juga tidak sama dengan “sekadar ikut” atau
menyertai. Dalam tindakan mengikuti, terdapat proses menyempurnakan diri. Ada
upaya untuk mengadopsi dan mengadaptasi. Mengapa demikian? Karena keteladanan
dari seseorang tak lepas dari budayanya. Pakaian gamis tentu sangat cocok
dengan budaya padang pasir. Namun kata “gamis” tersebut di negara Spanyol
ketika dikuasai oleh Bani Umayyah, berubah menjadi kamisa dan akhirnya kemeja seperti yang kita
kenal di Indonesia.
Untuk mengikuti Nabi, manusia diperintah untuk
mematuhi Allah dan Rasul-Nya. Selama beliau di Mekah, wahyu yang memuat kalimat
perintah “athii-‘uu” hanya ada di surat Thaahaa/20:90. Dan itu pun mengabarkan
perintah Nabi Harun a.s. kepada umatnya. Sedangkan kalimat perintah
“athii-‘uuni”, patuhilah aku, hanya ada di surat asy-Syu-‘araa, yaitu surat
ke-26 pada ayat 108, 110, 126, 131, 144, 150, 163, 179; dan surat ke-43
(az-Zukhruf) ayat 63, serta surat Nuh/71:3. Dan semua perintah “patuhilah aku”
pada semua ayat tersebut adalah perintah nabi-nabi, seperti Nuh, Shaleh, Hud,
Syuaib, Luth dan Isa, kepada umat beliau masing-masing. Perintah “patuh kepada
Allah dan Rasul” baru muncul pada periode Nabi s.a.w. di Madinah
Ada 13 ayat Madaniyah yang memerintahkan manusia
untuk patuh kepada Allah dan Rasul, yaitu ayat 3:32,132, 4:59, 5:92, 8:1,20,46,
24:54,56,47:33, 58:13, 64:12,16. Jika ayat-ayat Makiyah menegaskan bahwa Rasul
itu sebagai penyampai Ajaran Tuhan, maka ayat-ayat Madaniyah memberitahukan
bahwa Rasul juga Pemimpin umat yang harus dipatuhi. Apa yang disampaikan di
Mekah adalah Ajaran yang universal dari Islam, sedang yang di Madinah lebih
spesifik sebagai solusi bagi kehidupan masyarakat Arab pada waktu itu. Hal itu
jelas sekali bila kita memperhatikan hukum-hukum yang tertera pada 5:89-91,
yang mendahului perintah ketaatan kepada Allah dan Rasul pada 5:92.
Demikian pula jika kita memperhatikan perintah
tentang kepatuhan kepada Rasul dalam surat al-Anfaal (Rampasan Perang).
Perintah itu sangat erat kaitannya dengan peperangan, agar pasukan tentara yang
dipimpin Nabi tetap solid (bersatu), teguh dan tetap mengikat tali persaudaraan
orang-orang beriman. Pada intinya semua ayat tersebut, kecuali 64:12-16,
menjelaskan kepatuhan umat kepada Rasul ketika beliau ada di tengah-tengah
mereka. Nah, sejak 632 M secara fisik beliau sudah tidak hadir di tengah-tengah
umat. Kehadiran beliau di tengah-tengah umat bersifat ruhaniyah. Dengan
demikian, taat kepada Allah Yang Maha Gaib itu dan taat kepada Rasul dalam
keadaan gaib, merupakan kepatuhan yang bersifat spiritual.
Kepatuhan spiritual, yang di dalam bahasa tasawuf
Jawa sebagai “Sembah Jiwa”, adalah jalan kepatuhan terakhir untuk memasuki
tingkat kerohanian tertinggi, yaitu alam nubuwat atau “kenabian” seperti yang
dinyatakan pada surat an-Nisa’/4:69. Yang di dalam ayat itu disebutkan bahwa
orang-orang yang mendapat anugerah kenikmatan dari Tuhan adalah para shalihin,
para syuhada’, para shiddiqin, dan para nabi. Yang dimaksud dengan para nabi,
tidak berarti mereka yang menyatakan dan dinyatakan sebagai “nabi” dalam bahasa
Arab, tetapi semua orang yang menjadi “ahli waris kenabian” yaitu mereka yang
disebut ulama, baik dalam Al Quran maupun Al Hadis (al-‘ulamaa-u waratsatu l-anbiyaa’,
ulama itu ahli waris para nabi). Yang saya maksud dengan ulama di sini, bukan
sebutan ulama yang ditempelkan pada orang tertentu. Tetapi orang-orang yang ada
di barisan para nabi Allah. Ulama demikian inilah yang dikabarkan dalam surat
ar-Ra’d (guruh)/13 : 7,
“Wa yaquulu
l-ladziina kafaruu laulaa unzila ‘alaihi aayatun min rabbihii innamaa anta
mundzirun wa li kulli qaumin haaad.”
Berkatalah orang-orang yang ingkar (kafir) itu,
“Mengapa tidak diturunkan suatu mukjizat dari Tuhannya kepada Muhammad?”
Engkau (Muhammad) sesungguhnya salah
seorang yang memberi peringatan! Dan setiap kaum itu ada orang yang memberi
petunjuk (Haad).
Jadi, jelas bahwa orang yang senantiasa terpanggil
untuk memberi peringatan dan petunjuk tentang jalan hidup yang benar dalam
suatu kaum itu selalu ada. Dan Nabi adalah salah seorang Haad itu. Dengan
demikian, Haad atau orang yang memberi petunjuk untuk berbuat dan bertindak
benar kepada suatu kaum ada di barisan para nabi. Mereka adalah orang-orang
yang menerima tongkat estafet kenabian. Mereka itulah para ahli waris nabi.
Sehingga di dalam suatu Al hadis disebutkan bahwa para ulama di kalangan umat
beliau bagaikan para nabi Bani Israel. Mereka tidak memerlukan sebutan nabi
bagi diri mereka. Sebab Penghulu para nabi adalah Muhammad s.a.w.
Lalu, apa hubungannya menjadi ulama dengan belajar
tasawuf? Apakah belajar tasawuf itu untuk menjadi wali atau ulama? Tentu saja
tidak! Kodrat dan irodat Tuhan dalam diri setiap manusia itu tidak sama.
Kapasitas manusia untuk mengarungi hidup ini berbeda-beda. Kita lihat saja di
sekolahan, untuk kelas yang sama tak ada orang yang kepandaiannya sama.
Masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan atas yang lain. Meskipun di
sekolah suatu nilai itu ada standarnya, tetapi sepuluh orang yang mendapat
nilai matematika yang sama, tetap kepandaiannya tak ada yang sama.
Tuhan Maha Mengetahui! Setiap orang mempunyai kodrat
dan iradatnya sendiri. Kapasitas dan kapabilitas usaha manusia berbeda-beda.
Penggolongan pada manusia juga karena adanya perbedaan-perbedaan itu. Demikian
pula penggolongan tentang kesalehan, seperti shalihin, syuhada’, shiddiqin, dan
nabi, adalah karena adanya kapabilitas yang berbeda-beda. Nah, orang-orang yang
memiliki perbedaan kapabilitas yang tidak berarti biasanya dimasukkan dalam
satu golongan atau tingkatan, maqam, posisi, stasiun atau dengan sebutan
lainnya. Dan Allah pun memerintahkan manusia untuk bertakwa sesuai dengan
kesanggupan atau kapabilitasnya. Dalam surat at-Taghaabun/64:16 disebutkan, “Bertakwalah kepada Allah menurut
kesanggupanmu. Dengarlah dan patuhilah, serta belanjakan hartamu, itu yang
lebih baik bagi jiwamu. Barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran jiwanya,
maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.”
Jika demikian, untuk apa kita belajar tasawuf bila
kodrat dan irodat dan kapabilitas manusia itu berbeda-beda? Di bagian depan
telah disampaikan bahwa belajar tasawuf itu untuk menjadi hamba-hamba yang
mencintai dan dicintai Tuhan. Dengan kata lain untuk bisa kembali dan bertemu
dengan-Nya. Dan jalan kembali untuk bertemu dengan Tuhan itu bisa kita peroleh
bila kita menjadi manusia yang arif dalam hidup ini. Dan, orang yang arif itu
adalah orang-orang yang memperoleh hikmah atau kesadaran. Seberapa besar hikmah
yang diterima, itulah yang menempatkan orang-orang itu dalam tingkatan
shalihin, syuhada’, shiddiqin, dan para nabi. Tentu saja hikmah yang diterima
syuhada’ lebih besar daripada yang diterima shalihin, shiddiqin lebih besar
dari syuhada’ dan hikmah terbesar yang diterima para nabi dan ahli warisnya.
Shalihin adalah manusia standar yang diharapkan
dalam Islam. Jika diterjemahkan secara sederhana adalah kelompok orang-orang
yang saleh, yang berbuat kebajikan. Amal saleh dan iman merupakan paket yang
tak terpisahkan. Amal saleh harus lahir dari iman seseorang, dan iman pun
terbentuk karena kesalehan orang itu. Dalam pengertian yang sederhana, orang
saleh adalah orang yang melakukan hal-hal yang bermanfaat, baik bagi dirinya
sendiri maupun lingkungannya.
Syuhada’ adalah orang-orang yang menjadi saksi
kebenaran. Orang-orang yang rela mengorbankan dirinya bagi orang lainnya.
Karena itu orang yang gugur dalam membela kebenaran disebut orang yang “mati
syahid”. Dengan kata lain, syuhada’ bukan cuma mereka yang mati syahid. Menurut
Hadis yang diriwayatkan oleh Malik, Ahmad, Abu Daud, An Nasaa-i, Ibnu Majah,
Ibnu Hibban, dan Al Hakim, dan yang bersumber dari Sahabat Jabir dan Atik, ada
tujuh macam orang yang mati syahid, yaitu orang yang terbunuh di jalan Allah,
meninggal karena kolera, tenggelam, paru-paru, penyakit perut, reruntuhan, dan
melahirkan. Mengapa orang yang meninggal karena berbagai penyakit atau
kecelakaan disebut mati syahid? Hal ini harus dipahami bahwa standar masyarakat
Islam adalah orang-orang saleh. Di tengah masyarakat yang saleh, orang yang
dengan tabah menerima penyakit yang menimpanya dan mencoba berobat, lalu
meninggal, maka mereka adalah syahid. Tabah dan berobat adalah bentuk kebajikan
yang lebih tinggi dari sekadar amal saleh. Menurut Hadis, orang yang terserang
penyakit menular yang memati-kan harus bersedia dikarantinakan agar tidak
terjadi penularan. Ketabahan dan upaya ber-obat inilah yang membuat orang yang
sakit itu menyelamatkan banyak orang. Karena itu orang yang terserang
jenis-jenis penyakit itu (waktu itu hanya teridentifikasi kolera, paru-paru dan
perut) dan meninggal disebut syahid. Juga masalah reruntuhan, hal ini
menunjuk-kan kepada kita ada orang yang rela untuk melakukan hal-hal yang
membahayakan dirinya untuk kemaslahatan orang banyak. Kita lihat saja, ada orang
yang rela bekerja sebagai “cleaning service” yang membersihkan dinding bangunan
bertingkat tinggi, yang risiko kehilangan nyawanya sangat besar. Bayangkan jika
setiap orang hanya menginginkan pekerjaan-pekerjaan yang aman-aman saja, apakah
kita bisa hidup sejahtera?
Orang yang meninggal karena kecelakaan, mungkin saja
ia termasuk orang yang lalai. Mungkin saja, bukan pasti! Yang jelas ada
orang-orang yang sudah berhati-hati dan mengikuti aturan yang benar, tetap
tertimpa kecelakaan hingga meninggal. Terlalu banyak macam kecelakaan, walaupun
dalam hadis disebutkan hanya dua yaitu karena reruntuhan dan tenggelam. Tetapi,
intinya berbagai kecelakaan itu akan mendorong orang untuk memikirkan cara
berbuat dan bertindak agar tidak terjadi kecelakaan. Dengan demikian meninggal
karena kecelakaan juga mendorong lahirnya undang-undang tentang kesela-matan
dan cara-cara penyelamatannya. Dan, banyak orang yang selamat dari kecelakaan.
Wajar, orang yang meninggal akibat kecelakaan mendapat status syahid.
Orang yang juga tergolong mati syahid adalah orang
yang mati akibat melahirkan. Ya, melahirkan adalah kesediaan untuk melakukan
kodrat dari Tuhan. Yang menciptakan kodrat adalah Tuhan, dan yang menerima
kodrat adalah wanita. Menurut ilmu ekonomi, besarnya keuntungan tergantung
dengan besarnya risiko. Orang yang hanya mau menerima keuntungan kecil, risiko
yang mungkin ditimbulkannya juga kecil. Kalau mau mendapat keuntungan yang
besar, maka harus siap dengan risiko yang besar. Nah, kesyahidan adalah imbalan
dari risiko kematian akibat melahirkan.
Syuhada’ tidak hanya bagi mereka yang mati karena
gugur di medan perang, terserang penyakit yang mematikan, kecelakaan maupun
akibat melahirkan. Dari ketujuh macam orang yang mati syahid adalah orang yang
meninggal “di jalan Allah”. Meninggal di jalan Allah mempunyai pengertian yang
luas. Siapa saja yang konsisten berbakti kepada Tuhan hingga meninggalnya,
adalah orang tergolong syuhada’. Wartawan yang menyam-paikan kebenaran yang
seharusnya disampaikan kepada khalayak ramai, terus dijahati hingga meninggal,
adalah syuhada’. Orang yang berani menasihati penguasa yang zalim, dan
terbunuh, juga syuhada’. Dan banyak lagi yang tidak disebutkan di sini.
Shiddiqin adalah orang-orang yang berbuat kebenaran,
atau orang-orang yang ucapan dan tindakannya tulus sepenuh hatinya. Untuk
memberikan gambaran tentang orang shiddiqin, saya ambilkan contoh Abu Bakar
ash-Shiddiq r.a. Cuma satu contoh yang bisa dikembangkan sendiri! Dari awal
beliau menunjukkan ketulusan hidupnya. Beliau membebaskan budak ketika masih di
awal-awal perjuangan Islam. Rela tinggal di Gua Tsur bersama Rasul Allah ketika
hijrah ke Madinah. Beliau berani tampil untuk dicaci-maki ketika membela Rasul
Allah. Orang-orang yang berkarya besar untuk kesejahteraan manusia adalah mereka
yang ada di kelompok shiddiqin.
Para nabi adalah orang-orang yang menjadi rasul,
pemberi petunjuk (Haad), dan siapa saja yang mengambil jalan para nabi atau
ahli waris para nabi. Mereka bukan hanya mencintai dan menegakkan kebenaran,
tetapi juga mengajarkan kemanusiaan dengan ke-teladanan dan ajaran. Di dalam Al
Quran maupun Hadis, tidak ada pembedaan definisi antara nabi, rasul, dan haad.
Sebutan-sebutan itu tergantung peran yang dilakukannya. Seperti ayah dan suami.
Ia disebut ayah jika yang diperankan adalah ayah dari anak-anak hasil
perkawinannya. Pada saat yang lain ia disebut sebagai suami jika peranan yang
dimaksud sebagai pasangan sah dalam perkawinan. Begitu juga dengan kenabian.
Dia disebut nabi bila perannya adalah orang yang menerima berita paripurna dari
Tuhan. Dan dia disebut rasul bila dia mengemban misi penyelematan umat manusia.
Nah, dengan bertasawuf orang dididik untuk bisa
kembali kepada Tuhan, sesuai dengan kemampuannya, dan bertemu dengan-Nya di
maqam masing-masing. Bila tidak mampu menemukan-Nya di stasiun shiddiqin, ya
cukup bertemu di stasiun shalihin. Yang jelas, manusia harus bisa bertemu
dengan-Nya. Karena itu digambarkan dalam Al Quran bahwa orang yang melihat
Tuhan itu dengan wajah berseri-seri. Sehingga dilukiskan dalam berbagai
penjelasan bahwa kenikmatan yang tertinggi adalah saat manusia menyaksikan
Tuhannya. Dalam surat al-Qiyaamah/25:22-23 dinyatakan, “Wajah-wajah pada hari
itu berseri-seri (bercahaya), kepada Tuhan mereka itu memperhatikan.”
Wajar bila kita bertemu Tuhan itu tampil dengan
berseri-seri yang alami. Keberserian itu muncul dari dalam diri yang senantiasa
mendabakan-Nya. Tidak dibuat-buat atau direkayasa. Seperti terpancarnya sinar
dari sumber cahaya. Kita tidak perlu membayangkan jauh-jauh, cukup kita lihat
orang yang bertemu dengan orang yang sangat dicintainya. Karena itu bertemu
dengan yang dicintai itu merupakan kenikmatan yang luar biasa. Dan minimal
orang harus bisa bertemu di tangga shalihin. Memang, semakin atas tangga tempat
pertemuan hamba dan Tuhan, semakin nyata dan nikmat. Namun, manusia toh harus
berjuang untuk mendaki ke tangga yang tertinggi. Di maqam itulah tabir antara
hamba dan Tuhan sudah lenyap. Hilang segala keraguan dan mantab hati
memandangnya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar