Tasawuf
Bagian ke-2
Pada bagian ke satu, telah dikutipkan surat Aali
Imraan/3:31 yang terjemahannya sebagai berikut, “Jika kamu mencintai Allah maka
ikutilah aku, niscaya Allah mencintai kamu dan menutupi dosa-dosa kamu. Allah
Maha Pengampun dan Maha Pemurah.”
Dalam kehidupan ini banyak orang yang tidak bisa
membedakan antara kata “mengikuti” dan “meniru”. Yang diperintahkan kepada umat
manusia adalah “mengikuti” atau “ittiba‘”, bukan meniru. Hal ini jelas, karena
manusia bukanlah hewan. Manusia adalah sebuah kepribadian yang bisa tumbuh dan
berkembang. Manusia adalah kepribadian yang dapat tumbuh dewasa. Mula-mula
manusia tumbuh menjadi “kanak-kanak”
yang sifatnya hanya meniru. Ia berusaha meniru perilaku di lingkungannya. Dalam
bahasa agama, ia dikatakan tumbuh secara
“taqlid”.
Mengapa peniruan oleh kanak-kanak ini disebut
taqlid? Karena tahap pemikiran kanak-kanak belum berkembang dengan baik.
Sedangkan meniru adalah tahap pertama dalam proses pendewasaan pribadinya.
Kanak-kanak ingin melakukan apa saja yang dilihatnya. Ia belum bisa mengerti
alasan mengapa perbuatan tertentu dilakukan oleh orang-orang di sekelilingnya.
Seandainya kanak-kanak itu bisa berjanggut, maka ia
akan memelihara janggutnya
bila orang-orang di sekitarnya berjanggut. Contoh yang paling konkret dalam
bertaklid adalah “merokok”. Perbuatan merokok yang dilakukan oleh para remaja
adalah produk dari taklid. Akhirnya, perbuatan ini menjadi kebiasaan sampai
dewasa dan tua, mungkin seumur hidupnya.
Banyak sekali perbuatan agamis kita ini juga hasil
dari taklid ketika kita masih kecil atau ketika kita bersentuhan pertama kali
dengan ajaran-ajaran agama. Kalau toh sekarang ini kita mengaji Al-Quran dan
Al-Hadis, lebih banyak ayat-ayat itu sebagai pembenaran atau “justifikasi” bagi kepercayaan atau perbuatan
yang telah kita lakukan. Sebaliknya, kita ini jarang sekali yang menelaah Al
Quran dan Al Hadis untuk melahirkan suatu produk yang berupa perbuatan etika
(sopan-santun), estetika (keindahan), dan spiritual (semangat hidup) yang
unggul. Semenjak mandegnya kemunculan tokoh-tokoh besar Islam 1.000 tahun yang
lalu, praktis umat Islam hanya bertaklid kepada mereka.
Perbedaan-perbedaan yang muncul dari sikap taklid
ini tidak menghasilkan rahmat bagi umat Islam. Bahkan sering perbedaan ini
menjadi bencana atau mala petaka bagi umat. Mengapa demikian? Karena perbedaan
itu tidak tumbuh dari pencarian. Perbedaan yang tumbuh dari peniruan, akan melahirkan
“claim-claim” kebenaran. Banyak orang yang beranggapan bahwa apa yang ditirunya
(bukan diikutinya, sekali lagi bukan diikutinya) sebagai yang paling benar.
Akhirnya, orang berebut benar sendiri. Orang lain yang tidak sepaham atau
seperti apa yang ditirunya dianggap berada dalam jalan yang salah. Ia merasa
telah berada di atas dalil yang benar; padahal dalil tadi hanyalah intepretasi
atau paham mursyid, gurunya.
Nah, tasawuf mengajak kita untuk beramal dengan
arif. Tasawuf mengajak kita untuk mencari hikmah Allah. Tak ada kampus atau
sekolahan di dunia ini yang memberikan pelajaran hikmah atau “wisdom”. Hikmah
adalah barang orang mukmin yang hilang, karena itu marilah kita cari, dan di
mana pun ia berada harus kita temukan, dan kita ambil. Kitasusuri melalui jalur
syariat, kita gunakan cara (tarekat) untuk menemukannya. Lalu kita pahami
hakikatnya, dan lahirlah hikmah. Dengan hikmah yang diberikan kepada kita maka
kita memperoleh kebajikan yang banyak. Akhirnya, dada kita terasa lapang. Dan,
lapang dada adalah sarana untuk mendapatkan hikmah.
Surat Al Baqarah/2:269,
“Allah memberikan hikmah kepada siapa yang
dikehendaki. Dan barangsiapa yang menerima hikmah, sungguh ia telah diberi
kebajikan yang banyak. Tak ada yang dapat memahami pelajaran kecuali kelompok
albab.”
Kata “khairan katsiira” pada ayat di atas sebenarnya
tidak cukup diterjemahkan dengan “kebajikan yang banyak”. Makna “khair” yang
lain adalah sesuatu yang sangat baik, rahmat, keistimewaan, keuntungan, dan
kesejahteraan. Sehingga proses untuk mencapai status “Hamba-Tuhan” atau “Manunggaling
kawula-Gusti” adalah proses pencarian hikmah. Dan seperti yang telah saya
jelaskan pada pelajaran-pelajaran sebelumnya, kalimat “siapa yang
dikehendaki-Nya” tidak berarti Tuhan berbuat sewenang-wenang. Arti yang
sebenarnya kalimat tersebut adalah Dia menghendaki siapa yang menghendaki-Nya.
Nuh, Ibrahim, Musa, Isa dan Muhammad menjadi nabi, bukan karena mereka
semata-mata dikehendaki menjadi nabi; tetapi mereka adalah orang-orang yang
telah berjuang keras mencari-Nya.
Kedua ayat tersebut, yaitu 3:31 dan 2:269 merupakan
ayat yang saling melengkapi untuk memahami tasawuf. Pada 3:31 yang ditekankan
adalah kecintaan atau “mahabbah” dari Allah kepada hamba-Nya yang
sungguh-sungguh mencintai-Nya. Jika Allah mencintai hamba-Nya maka ditutupinya
semua dosa hamba-Nya. Jika Allah menutupi segala dosa hamba-Nya tidak berarti
dosa itu dihapus seperti kita menghapus papan tulis yang kotor, tetapi hamba
tersebut menerima hikmah dari ssi-Nya. Dengan hikmah tersebut hamba dapat
bertindak atau beramal yang mendatangkan keuntungan yang besar. Sehingga dosa
atau kerugian yang ada itu tertutupi atau terlunasi.
Jika ujung ayat 3:31 berbunyi “Allah Maha Pengampun
dan Maha Penyayang”, maka ujung ayat 2:269 adalah “Tak ada yang dapat memahami
pelajaran atau ayat-ayat Tuhan, kecuali kaum albab. Kaum albab adalah mereka
yang mampu menyatukan dada dan kepala, hati dan otak, atau perasaan dan
nalarnya. Karena itu mereka layak menerima hikmah. Sedangkan pengampun dan
penyayang adalah sifat asli Tuhan. Artinya, Tuhan senantiasa merespon hamba-Nya
yang betul-betul memohon ampun dan kasih-sayang-Nya, yang dalam ayat di atas
disebutkan sebagai “mencintai Tuhan” yang dibuktikan dengan cara berittiba‘
atau mengikuti Rasul s.a.w.
Dalam QS 3:32 disebutkan bahwa mengikuti Rasul itu
harus diwujudkan dengan tindakan menaati atau mematuhi Allah dan Rasul-Nya.
Namun, kebanyakan orang memiliki pengertian yang salah tentang kepatuhan kepada
Allah dan Rasul-Nya. Allah sering disamakan dengan Al Quran, sedangkan Rasul
disamakan dengan Al Hadis. Allah Yang Maha Hidup dan Maha Besar itu dikecilkan
menjadi sekadar sebuah Kitab Suci. Inilah kesalahan yang sangat fatal.
Allah adalah Allah! Allah bukanlah Taurat, Zabur,
Injil, atau Al Quran. Semua kitab suci hanyalah sebagian kecil dari kalam-Nya.
Seandainya lautan itu dijadikan tinta dan pohon-pohon di muka bumi ini
dijadikan pena, maka telah keringlah tinta itu sebelum habis kalam Tuhan.
Kalam-Nya yang ditulis dalam kitab-kitab itu hanyalah miniatur dari kebenaran
Ilahi. Karena kitab suci itu miniatur dari kalam-Nya maka diperlukan pemahaman
pesan-pesan-Nya. Kalau hanya sekadar membaca kulitnya, selamanya tak akan
pernah mengerti isi kitab suci tersebut.
Surat Al Kahfi/18:109 menyebutkan,
“Qul lau kaana l-bahru midaadal li kalimaati rabbii
lanafida l-bahru qabla antanfada kalimaatu rabbii wa lau ji’naa bi mitslihii
madadaa.”
“Katakanlah,
seandainya air laut itu sebagai tinta untuk menulis kalimat-kalimat Tuhanku,
niscaya air laut itu kering sebelum kalimat-kalimat Tuhanku habis dituliskan;
bahkan jika ditambahkan sebanyak itu.”
Jadi, jelaslah bahwa kalam Allah itu tak terhingga.
Karena kalam Allah itu seluas ilmu-Nya. Dan, keluasan Allah di banyak ayat
dinyatakan dengan iringan kemahatahuan-Nya, yaitu “Innallaaha waasi-‘un
‘aliim”, sesungguhnya Allah Maha Luas dan Maha Mengetahui. Nah, belajar tasawuf
sebenarnya mempelajari bagaimana caranya mencintai Allah dan mendekatkan diri
ke maqam-Nya atau ke Hadirat-Nya. Dia adalah Dzat Yang Maha Hidup, sedangkan kitab
suci memuat kalam-Nya. Dia tidak dibatasi oleh ruang dan waktu, sedangkan kitab
suci bersifat kontekstual yang ada di dalam ruang dan waktu. Dan, Al Quran
sebagai salah satu kitab suci, ia berkaitan dengan bahasa dan budaya Arab,
lebih tepatnya Arab Qureisy.
Lalu bagaimana dengan Muhammad Rasul Allah? Rasul
adalah manusia yang diutus untuk mengajarkan kalam Allah tersebut. Seperti yang
dikatakan dalam firman-Nya dalam surat al Ghaasyiyah/88:21-22, “Fadzakkir
innamaa anta mudzakkir, lasta ‘alaihim bi mushaithir”, Sampaikan ajaran (Tuhan)
karena sesungguhnya engkau orang yang menyampaikan ajaran, dan engkau bukanlah
orang yang ditugasi untuk menguasai mereka. Dan ayat senada ada pada QS 87:9,
yaitu Nabi s.a.w. diperintah untuk menyampaikan ajaran, karena ajaran dari
Tuhan itu bermanfaat bagi manusia.
Kemudian, dimana letak Al Hadis dalam pengajaran
kalam Ilahi kepada umat manusia? Jadi, di dalam mengajarkan kalimat-kalimat
Tuhan kepada manusia, Nabi memberikan contoh-contoh yang pas bagi yang beliau
ajar. Nabi memberikan contoh sesuai dengan daya tangkap dan tingkat kecerdasan
orang-orang yang beliau ajar. Karena itu hadis-hadis itu sifatnya kasuistis. Al
Hadis adalah produk atau jawaban bagi masalah yang dihadapi oleh umat pada
waktu kehidupan Rasul di bumi. Sehingga Al Hadis harus ditempatkan sebagai
referensi dalam memahami ajaran Islam yang disampaikan oleh Nabi. Masalah dalam
kehidupan manusia terus berkembang karena adanya perubahan lingkungan hidup
manusia. Untuk memberikan solusi yang islami, umat Islam harus merujuk kepada
Nabi, bukan meniru Nabi. Beliau telah memberikan “uswatun hasanah” atau
contoh-contoh yang baik dalam memberikan solusi.
Masalah yang paling pokok bagi manusia adalah
masalah psikologis, masalah yang terkait dengan faktor kejiwaan. Dapat
dikatakan 95% problem manusia adalah problem yang muncul dari jiwanya. Dan,
agama-agama diturunkan kepada manusia adalah untuk memberikan jawaban bagi jiwa
manusia agar manusia menjadi terarah hidupnya dan dapat menemukan jalan
hidupnya. Oleh karena problema manusia itu problema jiwanya, dan daya tangkap
dan kecerdasan manusia itu berbeda-beda, maka untuk hal-hal yang bersifat
sangat abstrak atau batiniah, oleh Nabi, diajarkan pada orang-orang tertentu
saja. Dan sumber ajaran tasawuf kalau dirunut hingga akarnya akan dijumpai pada
Abubakar dan Ali bin Abi thalib, dan penghulunya adalah Muhammad Rasulullah
s.a.w.
Dengan demikian mematuhi Allah dan Rasul-Nya tidak
sama dengan meniru yang tersurat dalam Al Quran dan Al Hadis. Meniru yang
tersurat akan melahirkan sikap spekulatif. Dan, akhirnya mengabsolutkan yang
relatif. Hal demikian ini disinggung dalam QS 62:5, Tuhan membuat permisalan
bagi orang-orang yang berkewajiban mempelajari isi Taurat, tetapi mereka tidak
mau mempelajarinya untuk menemukan hikmah yang terkandung di dalamnya, maka
mereka itu diumpamakan sebagai keledai yang mengangkut kitab-kitab yang tebal.
Tentu saja kitab-kitab itu tidak bisa menjadi petunjuk bagi keledai. Kitab itu
tak akan menjadi solusi bagi mereka. Bahkan kalau cuma dibawa secara fisik,
cuma disentuh kulitnya, akan menjadi beban bagi dirinya. Hasil akhirnya adalah
kezaliman. Dan Allah tidak memberi petunjuk kaum yang lalim, “Wallaahu laa
yahdi l-qauma zh-zhaalimiin,” seperti pada ujung ayat tersebut.
Umat manusia tidak diperintah untuk meniru Rasul
atau bertaklid kepada beliau, maka itu Allah memerintah Rasul untuk menyeru
kepada jalan Tuhan itu dengan menggunakan al-hikmah dan pengajaran yang baik.
Jadi, umat diperintah oleh Allah untuk berittiba‘, mengikuti ajaran beliau. Dan
beliau serta orang-orang yang menjadi ahli waris ajaran beliau diperintah untuk
menyeru ke jalan Tuhan dengan menggunakan hikmah dan peng-ajaran yang baik.
Ayat selengkapnya pada QS 16:125 sebagai berikut,
“Ud-‘u ilaa sabiili rabbika bi l-hikmati wa
l-mau-‘izhati l-hasanati wa jaadilhum bi l-latii hiya ahsanu inna rabbaka huwa
a‘lamu bi man dhalla ‘an sabiilihi wa huwa a‘lamu bi l-muhtadiin.”
“Serulah mereka itu kepada jalan Tuhan engkau dengan
menggunakan hikmah dan mauizhah yang baik. Dan berargumenlah dengan cara yang
sebaik-baiknya. Sesungguhnya Tuhan engkau lebih mengetahui orang-orang yang
tersesat dari jalan-Nya dan orang-orang yang mendapat petunjuk.”
Marilah kita rinci pengertian ayat tersebut. Kita
pahami kandungannya.
Pertama, Nabi?dan orang-orang yang menjadi ahli
waris kenabian?diperintah untuk mengajak manusia ke jalan Tuhan. Coba
perhatikan makna kata “ajakan”. Jelas bahwa ajakan tidak sama dengan paksaan.
Jika kita melihat tingkah laku umat sekarang ini tampak sekali adanya paksaan
untuk mempraktikkan agama. Sedangkan Al Quran sendiri menyebut bahwa “tidak ada
paksaan dalam beragama”. Lihat kembali surat ke-88 di atas. Betul-betul
kehidupan beragama itu sebagai ajakan. Di sini harus bisa kita bedakan dengan
pelarangan untuk berbuat kriminal. Untuk mencegah timbulnya kriminalitas atau
kezaliman dalam hidup bernegara ini, pemerintah yang berkewajiban menegakkan
hukum dan keadilan. Sedangkan warga berkewajiban mematuhinya. Nah, di sini kita
harus memahami mana ayat-ayat yang menunjukkan Muhammad sebagai Nabi, dan
Muhammad sebagai Kepala Negara/Pemerintahan.
Ke dua, diajak menuju jalan Tuhan. Lho, Tuhan punya
jalan? Pengertian ayat itu adalah Tuhan telah menciptakan “sabiil” atau jalan
bagi ciptaan dan ‘amr (kehendak)-Nya. Ciptaan adalah sesuatu yang menjadi ada
melalui sebuah proses, sedangkan kehendak-Nya ada tanpa proses kejadian. Nah,
proses kejadian dan kehendak itu mengikuti suatu jalan yang telah ditetapkan
Tuhan berdasarkan ilmu-Nya. Dan, jalan yang telah ditentukan Tuhan itu banyak.
Karena itu, kata “sabiil” mempunyai kata pluralnya yaitu “subul”. Jalan-jalan
ini pada akhirnya menjadi satu di jalan yang besar yang disebut “shiraath”.
Dengan demikian, ada satu shiraath yaitu “shiraath al-mustaqiim”. Dan petunjuk
ke jalan yang lurus inilah yang kita minta dari Tuhan.
Ke tiga, cara mengajak kepada jalan Tuhan itu pun
harus menggunakan “hikmah” atau “wisdom”. Tidak ada sekolahan atau tempat
belajar untuk memperoleh hikmah. Karena hikmah bukan materi atau sesuatu yang
tampak. Hikmah sendiri berasal dari kata “hukum”, karena itu hikmah merupakan
esensi kebenaran yang tampak. Diceritakan di dalam Al Quran, surat Al
Baqarah/2:251, bahwa Daud sebelum diangkat menjadi Nabi, memperoleh hikmah dari
Tuhan. Sehingga beliau mampu mengalahkan Jalud, yang jauh lebih kuat, hanya
dengan ketapel. Nah, ide menggunakan ketapel untuk membunuh Jalud itu namanya
hikmah. Karena hikmah itu sebuah esensi sebuah kebenaran yang tampak, maka ia
tidak bisa didentifikasi layaknya sebuah produk. Sebab jika sekarang Anda
bertempur dengan orang yang menggunakan bedil, lalu Anda menggunakan ketapel,
ya Anda akan kalah dan kemungkinan besar mati. Ketapel ditangan Anda bukan lagi
hikmah namanya. Karena itu hikmah harus digali dan dicari. Tetapi hikmah tak
akan kita dapatkan bila kita berlaku lalim, karena Allah tidak akan memberi
petunjuk kepada orang-orang yang bertindak zalim, aniaya, yang merugikan.
Ke empat, disamping menggunakan hikmah, orang harus
kita ajak dengan menggunakan mau-izhah yang baik. Kata mau-izhah berasal dari
“wa- ‘a-zha” yang artinya memberikan nasihat atau peringatan. Jadi, mau-izhah
artinya pelajaran yang mengandung nasihat dan peringatan. Dan itu pun harus
yang baik, yang tidak menyakitkan hati orang yang di ajak melalui jalan Tuhan.
Lha, kalau mengajaknya itu bukan dengan cara yang baik, maka yang diajak akan
ketakutan atau malah tidak percaya. Dengan hikmah ajakan itu akan tepat
sasaran, dan dengan mau-izhah yang baik yang diajak akan masuk dengan puas.
Ke lima, berargumen dengan cara yang sebaik-baiknya.
Kadang kala yang diajak itu minta penjelasan dan bahkan membantah. Dalam
keadaan demikian, ajakan itu harus disertai argumen atau bantahan yang
sebaik-baiknya. Bukan hanya cara yang baik, tetapi yang lebih baik. Sehingga
yang diajak tidak tersinggung hatinya.
Ke enam, ajakan itu harus disertai kewaspadaan. Di
ujung ayat tersebut dikatakan bahwa Tuhan lebih mengetahui orang-orang yang
tersesat dari jalan-Nya. Meskipun dalam ayat itu dinyatakan “Tuhan lebih
mengetahui”, namun dalam praktik, orang yang mengajak kepada jalan Tuhan itu
yang harus waspada. Dengan kewaspadaan itu amalan untuk mengajak kepada jalan
Tuhan tidak menjadi sia-sia, yaitu kehilangan waktu dan tenaga. Waspada artinya
cermat, siapa yang diajaknya berdebat atau berargumentasi itu. Dengan demikian
tidak timbul debat kusir.
Ke tujuh, kewaspadaan itu harus diikuti dengan
persuasi atau kesantunan. Jika sudah di-cermati bahwa orang yang diajak kepada
jalan Tuhan itu sungguh-sunnguh orang yang mau mengikuti, maka selanjutnya
adalah menyantuninya dengan memberikan binaan dan bimbingan. Dengan cara ini
terbentuklah kehidupan umat yang harmonis, yang setara dalam pergaulan hidup,
sama-sama berada di jalan Tuhan.
Nah, belajar tasawuf sebenarnya belajar untuk dapat
mencari dan memperoleh hikmah dalam kehidupan ini. Dengan memperoleh hikmah,
kita tidak lagi beribadah untuk mencari surga atau karena takut neraka. Karena
hikmah itu sendiri merupakan kebajikan, rahmat, keuntungan, “advantage” yang banyak. Sekian pelajaran
hari ini, semoga bermanfaat bagi kita semua, dan kita lanjutkan bagian ke-3.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar