A.
PEMERINTAHAN
DI MASA RASULULLAH (11-13H)
Kajian terhadap Negara dan
pemerintahan ini dapat diamati dengan menggunakan pendekatan. Normatif Islam
yang menekankan pada pelaksanaan nash-nash Al-Qur’an dan sunnah nabi yang
mengisayaratkan adanya praktek pemerintahan yang dilakukan nabi dalam rangka Siyasah
syar’iyyah. Kedua, pendekatan dekriptif- histories yang mengidentikkan
tugas-tugas yang dilakukan Nabi di bidang tugas-tugas Negara dan pemerintahan,
hal ini dilihat dari sudut teori-teori politik dan ketatanegaraan.
Terbentuknya
Negara Madinah akubat dari perkembangan penganut Islam menjelma menjadi
kelompok social dan memiliki kekuatan politik riil pada pasca periode Mekkah di
bawah pimpinan Nabi.Pada periode Mekkah pengikut beliau yang jumlahnya relatif
kecil belum menjadi suatu komunitas yang mempunyai wilayah kekuasaan dan
berdaulat.Mereka merupakan golongan minoritas yang lemah dan tertindas,
sehingga tidak mampu tampil menjadi kelompok social penekan terhadap kelompok
mayoritas kala itu yang berada di bawah kekuasaan aritokrasi Quraisy, yang masyarakatnya
homogen, tetapi setelah di Madinah, posisi Nabi dan umarnya mengalami perubahan
besar.
Di kala itu mereka mempunyai
kedudukan yang baik dan segera merupakan umat yang kuat dan
dapat berdiri
sendiri.Nabi sendiri menjadi kepala dalam masyarakat yang baru dibentuk itu dan
yang akhirnya merupakan suatu nagara.Suatu Negara yang dapat kekuasaannya di
akhir zaman Nabi meliputi seluruh semenanjung Arabia. Dengan kata lain Madinah
Nabi bukan lagi hanya mempnyai sifat rasul, tetapi juga sifat kepala Negara
juga.[1]DB. Mc Donald juga
menyatakan “disini, Madinah. Telah terbentuk Negara Islam pertama dan telah
meletakkan dasar-dasar negeri Islam pertama dan telah meletakkan dasar-dasar
politik bagi perundang-undang Islam.[2]
Dalam Negara Madinah itu, kata
Thomas W. Arnald dalam waktu yang bersamaan Nabi adalah sebagai pemimpin agama
dan kepala Negara. Fazlurrahman,[3] tokoh neo-modernismeIslam,
juga membenarkan bahwa masyarakat Madinah yang diorganisir nabi itu mmerupakan
suatu Negara dan pemerintahan yang membawa kepada terbentuknya suatu umat
muslim.[4]
Pada
tahun 621 dan 622 M, Nabi berturut-turut mendapatkan dukungan moral dan
dukungan politik dari sekelompok orang arab (suku Aus dan Khazraj). Kota yang
menyatakan diri masuk Islam, peristiwa ini mempunyai keistimewaan tidak seperti
halnya orang arab Mekkah musuh Islam. Karena di samping mereka menerima Islam
sebagai agama mereka, juga mereka membaiat Nabi.
Dalam bai’at di tahun 621 M,
dikenal dengan Bai’at Al-Aobah pertama. Mereka berikrar bahwa mereka
tidak menyembah selain Allah, akan meninggalkan segala perbuatan jahat dan akan
mentaati Rasulullah dalam segala hal yang benar, sedangkan pada Bai’at tahun
622 M, dikenal dengan Bia’at Aqobah kedua, mereka berjanji akan
melindungi Nabi sebagaimana melindungi keluarga mereka. Nabi juga dalam
kesempatan itu berjanji akan berjuang bersama mereka baik untuk berperang
maupun untuk perdamaian.[5]
Langkah
berikutnya Nabi adalah menata kehidupan politik komunitas-komunitas di Madinah,
sebab dengan hijrahnya kaum muslimin Mekkah ke kota itu. Masyarakatnya semakin
bercorak heterogen dalam hal etnis dan keyakinan. Yaitu komunitas arab muslim
yahudi dan komunitas arab paganis. Untuk itu Nabi menempuh dua cara, pertama,
menata intern kehidupan kaum muslimin. Yaitu mempersaudarakan antara kaum
muhajirin dan kaum anshar secara efektif.[6]
Persaudaraan
ini bukan diperkuat oleh hubungan darah dan kabilah, melainkan atas dasar
ikatan agama (Iman), inilah awal terbentuknya komunitas Islam untuk pertama
kali, yang menurut Hitti, merupakan “suatu miniature dunia Islam”[7] kedua, Nabi
mempersyaratkan antara kaum muslimin dan kaum yahudi bersama sekutu-sekutunya,
melalui perjanjian tertulis yang terkenal dengan Piagam Madinah.
B.
PEMERINTAHAN
DIMASA AL-KHULAFA’AL-RASYIDUN
Dalam bukunya, Islam dan tatanegara.Munawir
Syadzali lebih mengkonsentrasikan bagaimana tampuk kekuasaan tertinggi dalam
pemerintahan Negara Madinah itu berpindah tangan dari mendiang Rasulullah ke
tangan para Khalifah penggantinya. Yang hal itu dapat dinilai-menurut hemat
kami- terbagi menjadi dua periode yaitu masa kekholifahan Abu Bakar As-Shiddiq
dan Umar bin Khattab, dimana pemilihan kedua khalifah ini berjalan lancar
melalui jalur musyawarah, sedang periode kedua kendati juga melalui proses
pemilihan demokratis namun, dikotori dengan pertempuran dua kubu antara Usman
bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Dan hal itulah yang nantinya menjadi bumbu
terjadinya perpecahan di antara kaum muslimin.
Namun
begitu seperti kami jelaskan dimuak dalam uraian ini juga akan diulas bagaimana
aspek-aspek kenegaraan lainnya pada masa kekholifahan keempat pengganti Nabi
ini.
- KHALIFAH ABU BAKAR dan UMAR BIN KHATTAB
Pemerintahan Abu Bakar (11-13H), pengangkatan
Abu Bakar menjadi khalifah merupakan awal terbentuknya khalifah pertama dalam
Islam, pada tahun pertama jabatan Abu Bakar
kepemimpinannya langsung diuji. Ancaman yang timbul dari kalangan umat Islam
sendiri, ancaman itu datang menghancurkan bangunan struktur Islam dan tatanan
kehidupan umar Islam oleh Nabi dengan susah payah karena tidak lama setelah
Nabi wafat dan Abu Bakar terpilih menjadi khalifah, muncul sekelompok umat
Islam di berbagai daerah menentang kepemimpinannya.
Faktor
keberhasilan Abu Bakar yang lain membangun pranata social di bidang politik dan
pertahanan keamanan keberhasilan tersebut tidak pula lepas dari sikap
keterbukaan beliau yaitu memberikan hak dan kesempatan yang sama kepada tokoh
sahabat untuk ikut membicarakan berbagai masalah sebelum ia mengambil kepurusan
melalui forum musyawarah sebagai lembaga-lembaga legislatif. Hal ini mendorong
para sahabat khususnya dan pada umumnya berpartisipasi aktif untuk melaksanakan
berbagai keputusan yang dibuat.
Sedangkan
tugas-tugas eksekutif ia dilegislasikan kepada para sahabat baik untuk
pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan di madinah maupun pemerintahan di daerah
untuk menjalankan tugas pemerintahan di Madinah ia mengangkat Ali bin Abi
Thalib dan Utsman bin Affan dan Zaid bin Tsabit sebagai katib (sekretaris), dan
Abu Ubadah sebaga bendaharawan, mengurusi baitul maal. Di samping tugas
kemiliteran : mengangkat panglima-panglima perang sebagai disebut di atas,
untuk tugas yudikatif ia mengangkat Umar bin Khattab sebagai hakim agung.
Adapun
unsur pemerintahan dinas kota Madinah khalifah Abu Bakar membagi wilayah
kekuasaan hukum Negara Madinah menjadi beberapa propinsi. Dan tiap propinsi
menugaskan seorang Amiratau wali (setingkat jabatan gubernur) 1)
Itab bin Asid untuk Mekkah, Amir yang diangkat dimasa Nabi. 2) Usman bin Abi
Al-Ash Amir untuk Thaif, amir yang diangkat dimasa Nabi. 3) Al-Muhajir bin Abi
Umayyah, amir untuk San’a. 4) Ziyad bin Labid, amir untuk Hadramaut. 5) Ya’la
bin Umayyah, amir untuk Zubaid dan untuk rima’. 6) Muadz bin Jabal amir untuk
Janad. 7) Jarir bin Abdillah untuk Najran. 8) Abdullah bin Tsur amir untuk
Jaray. 9) Al Ala’ bin al-Hadrami amir untuk Bahrain dan Umuh Irah dan Syam
(Syiria). Dipercayakan kepada para pemimpin militer sebagai Wulaat Al-Amri.Para
amir tersebut juga bertugas sebagai pemimpin agama (sebagai imam dalam
shalat).Menetapkan hukum dan melaksanakan Undang-Undang.Artinya seorang amir di
samping sebagai pemimpin agama, sebagai hakim dan pelaksanaan tugas kepolisian.[8]Namun demikian kepada
setiap amir, diberi hak untuk mengangkat pembantu-pembantunya seperti katib,
amil dan lain-lain sebagainya.
Praktek
pemerintahan Khalifah Abu Bakar terpenting lainnya adalah mengenai suksesi
kepemimpinan atas inisiatifnya sendiri dengan menunjuk Umar bin Khattab untuk
menggantikannya.[9]Ada
beberapa faktor yang mendorong Abu Bakar untuk menunjuk atau mencalonkan Umar
menjadi khalifah kedua. Faktor utama adalah kehawatirannya akan berulang
kembali peristiwa yang sangat menegangkan di Tsaqifah Bani Saidah yang nyaris
menyeret umat Islam ke jurang perpecahan, bila ia tidak menunjuk seseorang yang
akan menggantikannya pada saat itu antara kaum anshar dan kaum muhajirin
sebagai golongan-golongan yang berhak menjadi khalifah.
Begitu
pula terasa pemilihan Umat bin Khattab hampir tidak menimbulkan perbedaan,
mengingat pertimbangan-pertimbangan, yaitu bahwa untuk menghadapi sejubel
persoalan umat Islam pasca Abu Bakar, maka dibutuhkan kepemimpinan seorang yang
tegas dan berwibawa. Tak lain Umar lah orangnya.
Catatan
histories menorehkan bahwa Umar bin Khattab, panji-panji Islam kian berkibar
bahkan dengan adanya perluasan ke wilayah-wilayah seperti juga dilakukan oleh
Abu Bakar kekuatan Islam kian terasa. Di samping itu dari segi pemerintahan ada
berbagai kebijakan Umar yang dinilai sangat brilian, salah satunya adalah
desentralisasi administrasi Negara, untuk itu Muhammad Thair Azhary.[10]Menyatakan dalam bukunya
bahwa Umar-lah khalifah Islam yang melakukan desentralisasi administrasi Negara
itu dan bahkan Negara Islam Madinah mengalami masa kejayaannya pada masa
khalifah kedua ini.Sistem otonomi yang diterapkan ini tentunya juga menuntut
perubahan sistem kinerja pemerintahan di wilayah-wilayah bagian, untuk itu tak
jarang jika ditemukan terjadi semacam pengembangan struktur pemerintahan yang
pada generasi sebelumnya tidak ditemukan.
Namun
tragedi yang tak diinginkan terjadi, yaitu buntut dari
pemberontakan yang juga kerap terjadi adalah tewanya khalifah Umar sendiri.Yang
di tenggarai dibunuh oleh Abu Lu’luah.[11]
- USMAN BIN AFFAN DAN ALI BIN ABI THALIB
Di samping perluasan wilayah dan
perbaikan ketatanegaraan.Madinah kebijakan dua khalifah terakhir dari khulafa
ar- Rasyidun ini juga sangatlah terasa, termasuk di dalamnya pembinaan
kehidupan masyarakat yang boleh dikata lebih plural dari semua pemerintahan
sebelumnya. Ali bin Abi Thalib misalnya, yang menurut Mujar Ibnu Syarif tak
jauh beda dengan perlakuan Umar bin Khattab terhadap kaum minoritas, dalam hal
ini adalah kaum non-muslim, termasuk dalam pengurusan Jizyah- terhadap kaum
dzimmiyah (ahl al-dzimmah) terkait denang kasus pembunuhan seorang ahl
al-dzimmah oleh seorang muslim. Setelah terbukti bahwa si muslim bersalah,
maka Ali bin Abi Thalib tun tidak segan untuk menjatuhkan hukuman qishass kepada
si muslim. Namun sebelum pelaksanaan eksekusi qishash terlaksana, pihak
korban mengampuni kesalahan Muslim itu, maka setelah mempertimbangkan
kemungkinan munculnya pemaafan itu, maka akhirnya memutuskan hukum diyat
kepada si pembunuh
Bidang pemerintahan banyak terjadi
kekusutan sejarah, luka sejarah yang seharusnya tidak terjadi, yaitu
keterpecahan kaum muslim atas kebijakan politik Utsman yang dinilai KKN dengan
memilih para sanak kerabatnya sebagai pejabat Negara. Begitu pula dengan Ali
bin Abi Thalib yang sebenanya tidak terkait dengan kebijaknnya, melainkan
meluasnya pemberontakan yang menjadi pemicu atas keterpecahan umat Islam itu
sendiri- berakhir dengan sejumlah peperangan melawan pemerintah- dalam hal ini
Ali sendiri dan akhirnya ia terbunuh dalam sebuah insiden pembunuhan.
Namun terlepas dari titik hitam
sejarah pemerintahan Islam itu. Dua kholifah ini tak jauh beda dengan para
pendahulunya. Seorang pemimpin yang adil dan bernafaskan ajaran yang tidak lain
adalah peninggalan Rasulullah SAW. Yang secara global dapat dirumuskan bahwa
sejak masa Nabi hingga Ali bin Abi Thalib banyak bentuk pengembangan dalam
dunia pemerintahan Islam, baik secara struktural maupn yuridis dan perluasan
wilayah. Akhirnya menutup ulasan waktu itu adalah NOMOKRASI, disamping dalam
bentuk republic yang sangat kental dengan konsep demokrasi musyawarahnya.
Kendati ada secuil perbedaan antara kepemimpinan proses keterpilihan
masing-masing. Dan legalitas kepemimpinannya.Yang dalam hal ini Nabi adalah
teratas, mengingat wahyu selalu menyertai beliau.
[1] Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai
aspeknya, (Jakarta : UI- press, 1986), h. 92
[2] Seperti dikutip oleh Muhammad Dhiya’ al-Din al- Rayis,
al-Nadzariyat as-Siyasah al-Islamiyah, (Mesir : Al-Ajlu, 1957), h. 15.
[3] Thomas W Arnold, the caliphate, (London :
Routladge And Leegan Paul Paul LTD, 1965), h. 30.
[4] Fazlurrahman, The Islam Concept, dalam Jhon J.
Donohue and L. Esposito (ed), Islam transistion ; muslim perspective,
(New york: Oxpord University Press, 1982), h. 261
[5] Ibnu Ishqa, Sirat Rasul Allah, terjemahan
Inggris oleh A. Guilaume, the life of Muhammad, (Karachi: Oxpord
University Press, 1970), h. 198-204. Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh Al-Islam,
Jilid I,(Kairo:Al-Maktabah Al-nahdloh Al—Mishriyah, 1979), h. 95-97.
[6]Ibnu
Hisyam, Sirat al-Nabawiyah, Jilid I, (Mathba’ah Muhammad Ali Shabit,
tt), h. 303-304.
[7]
Philip K. Hitti, Capital Cities Of Arab Islam, (Minneapolis: University
of Mineesota,1973), h. 35.
[8]Ibid, hal. 97-98
[9]Ibid, hal. 100-103
[10] Muhammad Thair Azhary, Negara Hukum; Suatu –Studi
Tentang Prinsip-Prinsipnya Dari Segi
Hukum Islam, Implementasinya Pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, (Bandung
: Angkasa,2003), hal. 42
[11] Mujar Ibnu Syarif, Hak-Hak Politik Ninoritas Non
Muslim Dalam Komunitas Islam, (Bandung : Angkasa, 2003), hal. 42
Tidak ada komentar:
Posting Komentar