TASAWUF
Rangkuman ceramah mingguan oleh:
Bp. Achmad Chodjim
Bagian ke-1
Di atas tahun 80-an tasawuf atau sufisme menjadi nge-tren di dunia.
Bahkan di Indonesia setelah tahun 90- an tasawuf banyak diminati orang. Seminar
dan kursus-kursus tentang tasawuf diadakan di hotel-hotel atau di gedung-gedung
mewah. Lebih-lebih dalam suasana krisis, tasawuf semakin dicari orang.
Jika kita melihat di toko-toko buku, semakin hari
semakin banyak buku tasawuf yang dipajang. Buku-buku tasawuf itu meliputi
tulisan orang Indonesia, maupun terjemahan dari buku-buku tasawuf yang
berbahasa asing, khususnya terjemahan dari bahasa Arab. Dan sekarang bisa kita
jumpai buku-buku tasawuf yang ditulis pada masa 700 ? 1000 tahun yang lalu.
Mengapa sekarang ini tasawuf semakin diminati orang?
Manusia modern sebenarnya manusia yang mengalami alienasi (keterasingan) jiwa.
Persaingan dalam berebut benda ternyata melelahkan pikiran.
Ketegangan-ketegangan dalam hidup sering dialami. Dalam kehidupan modern,
manusia sering terperangkap oleh kebahagian-kebahagian semu. Yaitu, kebahagiaan
yang direkayasa, bukan kebahagiaan yang tumbuh dari dalam diri manusia itu
sendiri. Dalam kehidupan modern manusia diiming-iming dengan status, posisi,
sertifikat, merek, dan berbagai macam simbol. Akhirnya pikiran manusia melekat
pada topeng-topeng ini.
Jika sudah terjerat oleh topeng kehidupan, manusia
merasa terjunjung dan tersanjung. Yang dalam keadaan tertentu menyebabkan lupa
diri. Nah, untuk menghadapi problema-problema psikologis ini ada yang lari ke
berbagai macam hiburan dari yang ringan hingga yang paling berat yaitu
“narkoba”; dan ada pula yang mencari solusi damai dengan mengikuti
kegiatan-kegiatan agama. Ternyata, ternyata....., yang dirasakan bersentuhan
langsung dengan kesejukan hati adalah “tasawuf”. Itulah sebabnya tasawuf
sekarang ini banyak diminati orang, baik oleh orang-orang Islam sendiri, maupun
orang-orang non-muslim. Bahkan di Eropa maupun Amerika sekarang ini banyak
orang non-muslim yang menjadi anggota jamaah tasawuf.
Tentu saja hal ini bisa menimbulkan kecemburuan di
kalangan umat Islam formalis, yaitu orang-orang Islam yang lebih berpegang
teguh pada aturan lahiriah agama atau syariat. Menghadapi perkembangan yang
pesat ini kalangan formalis merasa kehilangan pamor. Karena itu beberapa orang
(tidak banyak) di kalangan formalis ini menulis buku yang isinya mengecam
ajaran tasawuf, bahkan ada yang tega memfitnah bahwa ajaran tasawuf itu bid’ah
dan menyesatkan manusia.
Orang yang membid’ahkan tasawuf adalah orang-orang
yang tidak memahami ajaran tasawuf, pada pokoknya mereka tidak memahami ajaran
Islam secara menyeluruh. Mereka menganggap tasawuf itu lahir dari kalangan luar
Islam. Untuk membuktikan ini mereka cari-cari definisi kata tasawuf, yang
katanya tidak ada di dalam Al Quran dan Al Hadis. Jadi, mereka lebih disibukkan
mencari kulit daripada mencari isi atau substansi ajaran. Jika saja mereka
sadar bahwa apa yang diajarkan oleh tasawuf itu budipekerti atau akhlak yang
diajarkan oleh Rasul Allah, maka mereka pasti akan berhenti membid’ahkan para
sufi. Mengapa? Karena apa yang dipraktikkan oleh Rasul dalam kesederhanaan
hidupnya, apa yang diteladani oleh Abu Bakar dalam menyumbangkan hartanya, apa
yang dicontohkan oleh Umar bin Khaththab dalam istana gubuknya, serta apa yang
dilakukan oleh Ali bin Thalib dalam menegakkan keadilan, itulah yang disebut
tasawuf!
Landasan tasawuf adalah kecintaan kepada Allah dan
Rasul-Nya, melakukan zikir sebanyak-banyaknya, dan akhirnya menjadi hamba
manifestasi Ilahi, yang dalam ajaran tasawuf Jawa disebut “manunggaling kawula
klawan Gusti”, kesatuan hamba dan Tuhan.
Marilah kita simak dalil-dalil Qurani dan Al-Hadis
di bawah ini.
1. Surat Ali Imran/3:31,
Qul in kuntum tuhibbuunallaaha fattabi-‘uunii
yuhbibkumullaahu wa yaghfirlakum dzunuubakum wallaahu ghafuurun rahiim.
Katakan, “Jika kamu mencintai Allah maka ikutilah
aku, niscaya Allah mencintai kamu dan menutupi dosa-dosa kamu. Allah Maha
Pengampun dan Maha Pemurah,”
2. Surat Al Baqarah/2:115,
Wa lil-laahi l-masyriqu wa l-maghribu fa ainamaa
tuwalluu fatsamma wajhullaahi innallaaha waasi-‘un ‘aliim.
“Dan kepunyaan Allah Dunia Timur dan Barat itu.
Karena itu, kemana saja kamu menghadap, di situlah Wajah Allah. Sesungguhnya
Allah Maha Luas dan Maha Mengetahui.”
3. Surat Al Ahzab/33: 41 ? 43,
Yaa ayyuha l-ladziina aamanu dz-kuru llaaha dzikran
katsiira. Wa sabbihuuhu bukratan wa ashiila. Huwa l-ladzii yushallii ‘alaikum
wa malaa-ikatuhuu li yukhrijakum mina zh-zhuluumati ila n-nuuri wa kaana bi
l-mu’miniina rahiima.
“Wahai orang-orang yang beriman, berzikirlah kepada
Allah sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya pagi dan petang. Dia-lah
yang melimpahkan rahmat kepadamu, begitu pula para malaikat-Nya, dengan maksud
mengeluarkan kamu dari kegelapan menuju kehidupan yang bercahaya; dan Dia menyayangi
orang-orang yang beriman.”
4. Surat Qaaf/50:16,
Wa laqad khalaqna l-insaana wa na‘lamu maa tuwaswisu
bihi nafsuhu wa nahnu aqrabu ilaihi min habli l-wariid.
“Dan sungguh Kami telah menciptakan manusia dan Kami
mengetahui apa yang dibisikkan oleh jiwanya. Kami lebih dekat kepadanya
daripada urat lehernya.”
Untuk bagian pertama ini, kita cukup mengupas dan
mengulas enam ayat lebih dulu. Enam ayat inilah yang dijadikan landasan awal
dalam hidup bertasawuf. Jika diumpamakan orang naik tangga, maka harus melalui
tangga dasar yang kokoh. Dengan fondamen yang kokoh inilah para ahli tasawuf
mengembangkan Agama Islam. Dan dari sejarah diketahui bahwa perintis Islam di
seantero jagat adalah para sufi, orang-orang tasawuf. Mereka inilah yang
memperkenalkan Islam dengan hikmat dan pelajaran yang baik.
Baru kemudian diisi oleh kalangan formalis. Umumnya
kalangan formalis menjumpai kegagalan dalam mengembangkan Agama Islam. Mengapa
demikian? Karena oleh kalangan formalis, syariat Islam itu dikonfrontasikan
dengan adat-istiadat atau budaya setempat. Sehingga mereka dijauhi oleh umat.
Lihat saja bulan Ramadhan kemarin, demi khusyuknya pelaksanaan ibadah puasa,
pihak-pihak yang merasa sangat formalis ini ribut menutup kafe, restoran, dan
intinya meminta orang menghormati puasa. Lho, beragama itu seharusnya tidak
untuk minta dihormati. Orang harus menjalankan agama dengan santun Sehingga
agama itu bisa memikat hati orang yang melihatnya.
Jika kita memahami landasan pada ayat pertama, maka
harapan orang bertasawuf adalah ‘mahabbah’ atau jatuh cinta kepada Allah. Tentu
saja untuk mencintai Allah Yang Maha Gaib itu, manusia harus mempunyai pedoman.
Dan yang menjadi pedoman itu adalah “ittiba‘” atau mengikuti Rasul. Ketika
Rasul hadir secara fisik di tengah-tengah umat, maka mengikuti Rasul berarti
secara langsung mematuhi perintah dan larangannya secara aktual. Namun, setelah
secara fisik beliau tidak ada di tengah-tengah umat, beberapa sahabat berusaha
untuk mengajarkan Islam sebagaimana yang diteladankan oleh Rasul.
Abu Bakar tampil sebagai seorang khalifah yang
sederhana. Harta-bendanya didermakan untuk kepentingan umat. Dia tidak
menyisakan kekayaan materi untuk dirinya. Ketika dia dibaiat sebagai khalifah,
dengan sederhana dia mengucapkan, “Taatilah saya selama saya menaati Allah dan
Rasul-Nya. Dan bila tidak taat, maka tak ada keharusan bagi kalian untuk
menaatiku.” Suatu pidato pengukuhan yang pendek, tetapi tegas. Mungkin setelah
itu tak ada keberanian bagi seorang penguasa mengucapkan demikian. Bahkan
kalimat yang pertamanya adalah, “Saya
telah diangkat sebagai pemimpin kalian, tetapi saya bukanlah orang yang terbaik
di antara kalian.” Juga suka mengganjal perutnya jika kelaparan, sebagaimana
yang diteladankan Nabi. Dia lebih suka memilih demikian daripada makan makanan
yang tidak tahu halal dan haramnya.
Ijtihad mulai dilakukan oleh Umar. Umar menampilkan
diri sebagai seorang khalifah yang amat sederhana. Administrasi militer dan
pemerintahan ditegakkan. Penguasaan Al Quran lebih didorong, sedangkan
catatan-catatan yang disebut Hadis Nabi dimusnahkan. Hal ini dia lakukan agar
umat bersemangat dalam mempelajari Al Quran. Karena akhlak Rasul Allah s.a.w.
adalah Al Quran itu sendiri (Al Hadis, sumber Aisyah). Meskipun sebagai kepala
pemerintahan dia berhak mendapatkan istana gedung dan pengamanan dirinya,
tetapi dia meilih tinggal di gubuk beratap rumbai. Meskipun malam banyak jaga
untuk berzikir, siangnya tetap bersemengat dalam mengendalikan pemerintahan.
Utsman diangkat sebagai khalifah yang ke tiga. Di
zaman pemerintahannya berkecamuk berbagai fitnah dan hasudan. Kelembutan
jiwanya tak diragukan lagi. Dia tetap tidak mau menggunakan tindak kekerasan
dan kekuatan bersenjata dalam menghadapi fitnah. Seandainya harus terjadi
pertumpahan darah, dia memilih darahnya sendiri yang harus tertumpah, dan bukan
darah kaum muslimin. Ketika pemberontak mengepung rumahnya sambil menghunus
pedang, sedangkan baginya terbuka untuk menumpasnya, dia tetap menolak untuk
melakukan pembasmian itu dengan ucapan: “Saya tak mau menemui Allah sedang di
pundak saya ada percikan darah dari seorang Muslim.”
Khalifah Ali mewarisi pemerintahan yang penuh
kekacauan. Namun dia hadapi semua itu dengan penuh ketenangan. Meskipun para
pejabatnya menyediakan istana negara yang megah dan besar, dia menolaknya untuk
menghuni di istana itu. Ini tidak berarti sekarang seorang presiden harus meninggalkan istana negara. Tetapi, hal
ini menunjukkan bahwa seorang kepala negara harus memperhatikan keadaan
warganya. Para khalifah adalah orang-orang yang lebih mementingkan umatnya
daripada dirinya. Karena itu Ali pun lebih memilih cara-cara yang layak sesuai
kondisi rakyat. Dia memberi petunjuk orang-orang yang melakukan kesalahan, dan
memberi bantuan kepada yang lemah. Meskipun sebagai khalifah, suatu saat Ali tetap
membawakan barang kebutuhan orang-orang tua yang dia jumpai. Ketika
sahabat-sahabat yang tahu hal ini hendak mengambil alih bawaan itu, Ali menolak
sambil menyitir Al Quran: “Negeri Akhirat itu Kami jadikan bagi orang-orang
yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di muka bumi. Dan
kesudahan yang baik itu bagi orang-orang yang bertakwa.” (Al Qashash/28:83)
Ketika di Syam, Muawiyah menghasut masyarakat untuk
mencaci maki dan mengutuk Ali, di Kufah khalifah mencegah rakyatnya untuk membalas
mencaci maki Muawiyah, dan menimnta rakyatnya untuk berdoa: “Ya Allah,
peliharalah darah kami dan darah mereka, persengketaan kami dengan mereka.”
Nah, demikianlah para sahabat besar itu memberikan
keteladanan hidup sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi. Semua bentuk akhlak
yang mereka tampilkan itu sebagai wujud kecintaan mereka kepada Allah dengan
cara mengikuti keteladanan Rasul Allah. Harapan mereka adalah ampunan atau
perlindungan dari Allah, Tuhan semesta alam. Keteladanan-keteladanan yang mulia
inilah yang diwarisi oleh mereka yang memilih jalan kesufian. Mereka tak mau
bid’ah-membid’ahkan sesama umat. Mereka memberikan contoh yang bisa
menentramkan hati orang yang sedang gundah.
Jalaluddin Rumi mengajar mereka yang non-muslim
dengan sepenuh hati, tanpa meminta mereka pindah agamanya. Mereka, para murid
yang terdiri dari orang-orang Muslim dan non-muslim, diperlakukan sama baiknya.
Ajaran “tidak ada paksaan dalam agama” (QS 2:255) dipraktikkan dengan benar.
Betul-betul tidak ada paksaan! Jika ada orang yang tertarik dan pindah ke
Islam, ya diterima dengan baik. Jika tetap teguh dengan agamanya ya tetap
dipuji. Dengan cara ini, orang-orang Turki yang semula hanya 20% penduduknya
yang beragama Islam ketika Rumi pindah ke Turki, akhirnya dengan kesadarannya
sendiri rakyat Turki banyak yang pindah ke Agama Islam. Sehingga di akhir
hayatnya, ada 60% penduduk yang beragama Islam.
Sejarah para wali di Jawa sebenarnya juga demikian.
Islam diterima di Jawa dengan penetrasi damai. Walaupun tidak menutup mata
bahwa ditingkat kekuasaan negara, para wali itu pun berebut pengaruh. Dan hal
ini maklum, karena yang asli Jawa itu cuma Sunan Kalijaga. Namun, di hadapan
umat mereka berusaha melakukan akulturasi yang menyejukkan rakyat. Mereka tetap
mencoba memberikan langkah-langkah dalam kedamaian hidup di dunia ini.
Kesederhanaan masjid-masjid yang di nusantara
sebenarnya menunjukkan bahwa yang membawa ajaran Islam adalah mereka yang
berperilaku hidup tasawuf. Adanya Islam “wetu telu” atau shalat di tiga waktu
yaitu subuh, zuhur dan magrib, di Lombok ke timur dan di Talaud di Sulut
menunjukkan yang memperkenalkan Islam itu para sufi. Para ahli tasawuf ini tak
mau unjuk kesombongan. Jadi, secara gradual mereka menyemai Islam dengan cara
damai.
Hidup bertauhid seperti ayat nomor 2 di atas sangat
ditekankan. Kemana saja manusia itu memalingkan dirinya, niscaya ia tetap
menghadap Wajah Allah. Sekali lagi, menghadap Wajah Allah! Hal ini harus
dipahami benar, mengapa tidak dinyatakan “menghadap Allah” saja, melainkan menghadap
Wajah Allah. Karena, apa saja yang ada di penjuru mata angin, bukanlah Allah.
Islam tidak mengajarkan pantheisme, bahwa Allah adalah keseluruhan alam ini.
Islam mengajarkan bahwa semua ini ada karena dihadirkan oleh Allah. Dia Maha
Meliputi segala sesuatu. Dengan demikian, kemana saja kita menghadapkan diri
kita, di situlah kita melihat kehadiran Allah. Tanpa Dia tak akan ada wujud
alam semesta ini. Wujud alam ini menunjukkan kehadiran-Nya. Karena itu kemana
kita memandang, maka yang kita pandang adalah Wajah Allah.
Dengan fundamen yang kokoh itu, layaklah sebagai
hamba kita diseru untuk senantiasa berzikir kepada Allah sebanyak-banyaknya,
dan bertasbih dari pagi hingga petang. Dengan lain kata, berzikir kepada Allah
yang mengiringi aktivitas kita sepanjang hari. Hal ini dimaksudkan agar nurani
kita semakin tajam dalam hidup ini. Sehingga kita bisa keluar dari kegelapan
hidup ini menuju daerah kehidupan yang terang, yang bercahaya, yang transparan.
Jika hidup ini bisa kita jalani dengan Ajaran yang mulia ini niscaya kita tidak
timbul saling curiga dalam kehidupan bersama, bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara. Berzikir untuk selalu ingat Yang dicintai, yaitu Allah. Bertasbih
adalah tindakan untuk menjauhkan diri dari segala sifat yang tidak terpuji. Tindakan
untuk menjauhkan diri dari segala yang tidak patut dilakukan sebagai kekasih
Allah. Jadi, bertasbih alias memahasucikan Tuhan, bukanlah cuma mengucap
“subhaanallah”. Tetapi ia merupakan perbuatan yang nyata-nyata untuk menjauhkan
segala sifat yang tidak patut diatributkan kepada Tuhan. “Subhaana rabbika
ammaa yaashifuun,” Mahasuci Tuhan engkau dari apa yang mereka sifatkan.
Semua perbuatan bajik itu ditunaikan oleh
orang-orang yang mencintai Tuhan karena mereka sadar bahwa Kekasih mereka itu
selalu mengawasi mereka. Mereka merasa hidup ini dalam pengawasan Tuhan. Para
pencinta itu tak ingin ditinggalkan oleh Sang Kekasih. Mereka sadar bahwa
kehadiran Sang Kekasih itu lebih dekat kepada jiwa-jiwa mereka daripada urat
nadi leher mereka. Bisikan sekecil apa pun kepada jiwa mereka pasti diketahui.
Ada prinsip transparansi dalam akuntansi kehidupan ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar