a. Masa Khulafa al-Rasyidin
Nabi
Muhammad tidak meninggalkan wasiat tentang siapa yang akan menggantikan beliau
sebagai pemimpin politik umat Islam setelah beliau wafat. Tanpaknya beliau
menyerahkan persoalan tersebut kepada kaum muslimin sendiri untuk
menentukannya. Setelah beliau wafat dan
jenazahnya belum dimakamkan, sejumlah tokoh Muhajirin dan Anshar berkumpul di balai kota Bani Sa’idah di
Madinah untuk musyawarah menentukan siapa yang akan dipilih menjadi pemimpin.
Menurut
Hassan Ibrahim Hassan, bahwa semangat keagamaan Abu Bakar, mendapatkan
penghargaan yang dari umat Islam[1],
sehingga masing-masing pihak [Muhajirin
dan Anshar] dapat menerima Abu
Bakar dan membaitkannya sebagai pemimpin umat Islam.
1.
Masa
Khalifah Abu Bakar [632-634 M]
Sebagai
pemimpin umat Islam setelah Rasul, Abu Bakar disebut Khalifah Rasulillah [pengganti Rasul] yang dalam perkembangan selanjutnya disebut
khalifah saja. Abu Bakar menjadi
khalifah di tahun 632 M dan usia kepemimpinannya hanya dua tahun, karena pada
tahun 634 M Abu Bakar meninggal dunia[2].
Masanya yang singkat itu banyak dipergunakan untuk menyelesaikan persoalan
dalam negeri , terutama tantangan atau sikap membangkan dari suku-suku bangsa
Arab yang tidak mau tunduk pada pemerintahan
Madinah[3].
Alasan
yang sangat substansial dari sikap membangkan adalah “mereka menganggap bahwa
perjanjian yang dibuat dengan Nabi Muhammad, dengan sendirinya tidak mengingat
lagi dan batal, setelah Nabi wafat”.
Dengan dasar ini, maka mereka
kemudian mengambil sikap menentang Abu Bakar, sebagai pemimpin umat Islam. Karena sikap membangkang, menentang dan keras
kepala yang dapat membahayakan agama dan pemerintahan, maka Abu Bakar
menyelesaikan persoalan tersebut dengan apa yang disebut Perang Riddah
[perang melawan kemurtadan]. Dalam perang Riddah ini,
Khalid ibn al-Walid adalah jenderal yang banyak dalam mengatasi perang
tersebut[4].
Pada
tahun 634 M Abu Bakar meninggal dunia, sementara barisan depan pasukan Islam
berada di Palestina, Irak dan kerajaan Hirah.
Ketika Abu Bakar sakit dan merasa ajalnya sudah dekat, maka ia
bermusyawarah dengan para pemuka sahabat dan mengangkat Umar ibn Khattab
sebagai penggantinya dengan maksud untuk mencegah kemungkinan terjadinya
perselisihan dan perpecahan di kalangan
umat Islam[5].
Kebijakan Abu Bakar tersebut, diterima umat Islam dan secara beramai-ramai
membaiat Umar ibn Khattab untuk menjadi khalifah kedua. ]lgfq
2.
Masa
Khalifat Umar ibn Khattab [634 – 644 M]
Umar
ibn Khattab, menyebut dirinya sebagai
khalifah Khalifati Rasulillah [pengganti dari pengganti Rasulullah].
Selain itu, Umar ibn Khattab, juga memperkenalkan istilah Amir al-Mu’minin [Komandan orang-orang yang beriman].
Usaha-usaha yang telah dilakukan Abu Bakar dilanjutkan oleh khalifah kedua Umar
ibn Khattab.
Pada
zaman Umar ibn Khattab, perluasan daerah da’wah terjadi dengan cepat,sehingga
khalifah Umar ibn Khattab segera mengatur
administrasi negara dengan mencontoh administrasi yang sudah berkembang
terutama di Persia. Administrasi
pemerintahan diatur menjadi delapan wilayah propinsi, yaitu : Mekkah, Madinah,
SyriaJazirah, Basrah, Kufah, Palestina, dan Mesir.
Beberapa departemen yang dipandangperlu
didirikan. Pada masanya mulai diatur dan ditertibkan sistem pembayaran gaji dan
pajak tanah. Pengadilan didirikan dalam
rangka memisahkan lembaga yudikatif dengan lembaga eksekutif. Untuk menjaga keamanan dan ketertiban,
jawatan kepolisian dibentuk. Demikian pula jawatan pekerjaan umum[6].
Selain itu, Umar juga mendirikan Bait al-Mal,
menempa mata uang, dan menciptakan tahun hijrah
Periode
pemerintahan Umar ibn Khattab selama sepuluh tahun [13-23 H/634-644 M] dan masa
jabatannya berakhir dengan kematian, karena
dibunuh oleh Abu Lu’lu’ah seorang budak dari Persia. Untuk menentukan
penggantinya, Umar ibn Khattab tidak menempuh jalan yang dilaukakn Abu Bakar.
Umar ibn Khattab, menunjuk enam orang sahabat, yaitu : [1] Usman, ibn Affan [2]
Ali ibn Abi Thalib, [3] Thalhah, [4] Zubair, [5] Sa’ad ibn Abi Waqqas, dan [6]
Abdurrahman ibn Auf, dan meminta mereka untuk memilih salah seorang
diantaranya menjadi khalifah. Setelah Umar ibn Khattab wafat, tim ini
bermusyawarah dan berhasil menunjuk Usman ibn Affan sebagai khalifah ketiga,
tentu saja melalui persaingan yang agak ketat dengan Ali ibn Abi Thalib[7].
3.
Masa
Khalifah Usman ibn Affan [644 – 655 M]
Pemerintahan
Usman ibn Affan berlangsung selama 12
tahun dan terjadi perluasan wilayah kekuasaan dan da’wah sampai
ke Armenia, Tunisia, Cyprus, Rhodes, dan bagian yang tersisa dari Persia,
Transoxania, dan Tabaristan berhasil disebut. Ekspansi Islam pertama berhenti
sampai di sini[8].
Pada
tahun 35 H/655 M, Usman dibunuh oleh kaum pemberontak yang terdiri dari
orang-orang yang kecewa terhadap kebijakan pemerintahannya dan sebagai
penggantinya adalah Ali ibn Abi Thalib. Jasa Khalifah Usman diantaranya
membangun bendungan untuk menjaga arus banjir yang besar dan mengatur pembagian
air ke kota-kota. Usman juga membangun jalan-jalan, jembatan-jembatan,
mesjid-mesjid dan memperluas mesjid Nabi di Madinah[9].
4.
Masa
khalifah Ali ibn Abi Thalib [656 – 661 M]
Setelah
Usman ibn Affan wafat, masyatakat Islam beramai-ramai membait Ali ibn Abi
Thalib sebagai khalifah ke empat. Ali ibn Abi Thalib memerintah hanya enam
tahun dan nasibnya sama dengan khalifah Umar ibn Khattab dan Usman ibn Affan
yaitu mati terbunuh. Selama masa pemerintahannya, Ali menghadapi berbagai tantangan dan pergolakan,
sehingga pada masa pemerintahannya tidak ada masa sedikit pun yang dapat
dikatakan stabil [10].
Diakhir
ujung masa pemerintahan Ali ibn Abi Thalib, umat Islam terpacah menjadi tiga
kekuatan politik, yaitu : [1] golongan Mu’awiyah, [2] golongan Syi’ah
[pengikut] Ali, dan [3] golongan al-Khawarij [kumpulan orang-orang yang keluar dari barisan Ali ibn Abi Thalib].
Tanpaknya keadaan ini tidak
menguntungkan Ali ibn Abi Thalib, sebab pasukannya semakin lemah dan sementara
posisi Mu’awiyah semakin kuat. Maka pada tanggal 20 Ramadhan 40 H [660 M], Ali
ibn Abi Thalib terbunuh oleh salah
seorang anggota Khawarij.
Kedudukan
Ali ibn Abi Thalib sebagai khalifah kemudian dijabat oleh anaknya Hasan selama
beberapa bulan. Tetapi kedudukan
Hasan-pun lemah, sementara Mu’awiyah semakin kuat dan akhirnya Hasan membuat
perjanjian damai. Perjanjian ini dapat mempersatukan umat Islam kembali dalam
satu kepemimpinan politik di bawah Mu’awiyah ibn Abi Sufyan. Tetapi di sisi lain, perjanjian itu juga
menguntungkan Mu’awiyah yang menyebabkannya menjadi seorang penguasa absolut
dalam Islam. Maka tahun 41 H [661 M], tahun persatuan itu, dikenal dalam
sejarah Islam sebagai tahun Jama’ah [‘am jama’ah][11].
Dari sisi tercatat sebagai sejarah berakhirnya apa yang disebut dengan
nama Khulafa’ur Rasyidin, dan kemudian sebagai awal dimulailah
kekuasaan Bani Umayyah dalam sejarah politik Islam.
Dengan
demikian mulai dari masa Abu Bakar sampai kepada masa Ali dinamakan periode
Khilafah Rasyidin. Para khalifahnya disebut dengan al-khulafa’ al-rasyidun, [khalifah-khalifah yang mendapat petunjuk]. Ciri masa ini adalah pada khalifah
betul-betul menurut teladan Nabi.
Mereka dipilih melalui musyawarah
atau disebut dengan proses demokrasi[12].
Tetapi
ada hal yang sangat menyedihkan dari periode khulafah Rasyidin ini adalah
khalifah Umar ibn Khattan, Usman ibn Affan, dan Ali ibn Abi Thalib, meninggal
dalam keadaan terbunu oleh lawan-lawan politik mereka pada masa pemerintahan
mereka. Kemudian setelah periode ini,
pemerintahan Islam berbentuk kerajaan dan kekuasaan diwariskan secara turun temurun. Khalifah pada masa khilafah rasyidin tidak pernah bertindak sendiri ketika negara
menghadapi kesulitan, tetapi mereka selalu bermusyawarah dengan para sahabat
dan pembesar-pembesar yang lain.
Sedangkan pada masa kerajaan Islam, rajanya sering bertindak otoriter.
b. Masa Dinasti Umayyah dan Abasiyah
Pada
masa ini sistem pemerintahan Islam tidak lagi
berbetuk khilafah tetapi bernetuk
kerajaan. Kekuasaan diwariskan
secara turun temurun, sehingga demokratis berubah menjadi monarchiheridetis [kerajaan turun temurun]. Dalam sejarah
perkembangan Islam ada dua kerajaan besar yang sangat popular yaitu khilafah
Bani Umayyah dan Bani Abasiyah.
1. Khilafah Bani Umayyah
Kekuasaan
Bani Umayyah berumur kurang lebih 90 tahun. Ibu kota negara dipindahkan
Muawiyah dari ke Damaskus, tempat ia berkuasa sebagai gubernur sebelumnya.
Khalifah-khalifah besar dinasti Bani Umayyah adalah Muawiyah ibn Abi Sufyan
[661-680 M], Abd al-Malik ibn Marwan [685-705 M], al-Walid ibn Abdul
Malik[705-715 M], Umar ibn Abd al-Aziz [717 – 720 M], dan Hasyim ibn Abd
al-Malik [724 – 743 M][13].
Pada
masa Bani Umayyah, ekspansi dan da’wah Islam yang tehenti pada masa khalifah
Usman ibn Affan dan Ali ibn Abi Thalib, dilanjutkan kembali oleh dinasti ini. Perluasaan kekuasaan dan da’wah yang
dilakukan dinasti Muawiyah, dimulai dari menguasai Tunisia, kemudian di disebelah timur, Muawiyah menguasai daerah
Khurasan samapi ke sungai Oxus, Afganistan sampai ke Kabul, kota Bizantium dan Konstantinopel. Ekspansi ketimur kemudian dilanjutkan oleh
khalifah Abd al-Malik dengan menguasai Balkh, Bukhara, Khawarizm, Ferghana dan
Samarkand, bahkan sampai ke India dan dapat menguasai Balukhistan, Sind dan
daerah Punjab sampai ke Maltan[14].
Dari
perjelanan sejarah pemerintahan dan kekuasaan dinasti Bani Umayyah ini, ada
beberapa faktor kelemahan yang menyebabkan dan membawa kehancuran dinasti
tersebut. Faktor-faktor tersebut, antara lain :
1)
Sistem pemerintahan khalifah
melalui garis keturunan adalah sesuatu yang baru bagi tradisi Arab yang lebih
menekankan senioritas. Ketidak jelasan
sistem pergantian khalifah,menyababkan terjadinya persaingan tidak sehat di
kalngan anggota keluarga istina[15].
2)
Latar belakang terbentuknya dinasti Bani
Umayyah tidak dapat dipisahkan dari konflik-konflik politik yang terjadi di
masa Ali ibn Abi Thalib. Siswa-siwa pengkut Ali [Syi’ah] dan Khawarij terus
menjadi gerakan oposisi, baik secara terbuka
seperti di masa awal dan akhir maupun secara tersembunyi seperti di masa
pertengahan kekuasaan Bani Umayyah. Penumpasan terhadap gerakan-gerakan ini
banyak menyedot kekuatan pemerintah.
3)
Pada masa kekuasaan Bani
Umayyah, pertentangan etnis antara suku Arabia Utara [Bani Qays] dan Arabia Selatan
[Bani Kalb] yang sudah ada sejak zaman sebelum Islam makin meruncing.
Perselihan suku-suku ini mengakibatkan para penguasa Bani Umayyah mendapat
kesulitan untuk menggalan persatuan dan kesatuan.Selain itu, sebagian besar
golongan mawali [non Arab], terutama di Irak dan wilayah begian timur lainnya,
merasa tidak puas karena status mawali menggambarkan suatu inferioritas,
ditambah dengan keangkuhan bangsa Arab yang diperlihatkan pada masa Bani
Umayyah[16].
4)
Lemahnya pemerintahan daulat
Bani Umayyah juga disebabkan oleh sikap hidup mewah di lingkungan istana,
sehingga anak-anak khalifah tidak sanggup memikul beban berat kenegaraan
tatkala mereka mewarisi kekuasaan. Selain itu, golongan agama banyak yang
kecewa karena perhatian penguasa
terhadap perkembangan agama sangat kurang.
5)
Penyabab utama tergulingnya
kekuasaan dinasti Bani Umayyah adalah munculnya kekuatan baru yang dipelopori
oleh keturunan al-Abbas ibn Abd al-Muthalib. Gerakan ini mendapat dukungan penuh dari Bani Hasyim dan golongan
Syi’ah dan kaum mawali yang merasa dikelasduakan oleh pemerintahan Bani
Umayyah.
2. Khilafah Bani Abbas
Khilafah
Abbasiyah melanjutkan kekuasaan dinasti Bani Umayyah. Pendiri dan penguasa
dinasti ini adalah keturunan al-Abbas paman Nabi Muhammad saw, sehingga
dinamakan khilafah Abbasiyah. Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abdulah
al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbas dan kekuasaannya
berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun 132 H [750 M] sampai dengan 656 H [1258
M]. Pola pemerintahan yang diterapkan
dinasti berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya.
Berdasarkan
perubahan pola pemerintahan dan politik itu, para sejarawan membagi masa
pemerintahan Bani Abbas menjadi lima periode, yaitu : [1] Periode Pertama [132
H/750 M – 232 H/847 M, disebut periode pengaruh Persia Pertama. [2] Periode
Kedua [232 H/847 M - 334 H/945 M],
disebut masa pengaruh Turki pertama. [3] Periode Ketiga [334 H/945 M – 447 H/1055
M], masa kekuasaan dinasti Buwaih dalam
pemerintahan khilafah Abbasiyah dan periode ini disebut juga dengan
masa pengaruh Persia kedua. [4] Periode
Keempat [447 H/1055 M – 590 H/1194 M], masa kekuasaan dinasti Bani Seljuk dalam
pemerintahan khilafah Abbasiyah dan masa ini disebut juga masa pengaruh Turki
kedua. [5] Periode Kelima [590 H/1194 M – 656 H/1258 M], masa khilafah bebas
dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota
Bagdad.
Kemajuan
politik dan kebudayaan yang pernah dicapai oleh pemerintahan Islam pada masa
klasik, kemajuan yang tidak ada tandingannya di kala itu. Maka pada ini, kemajuan politik berjalan
seiring dengan kemajuan peradaban dan kebudayaan, sehingga Islam mencapai
keemasan, kejayaan dan kegemilangan. Masa keemasan ini mencapai puncaknya
terutama pada masa pemerintahan dan
kekuasaan Bani Abbasiyah pada periode pertama. Tetapi pada perkembangan
selanjutnya, setelah periode ini berakhir, Islam mengalami masa kemunduran[17].
[1]Hassan Ibrahim Hassan,1989, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Penerbit Kota
Kembang, Yogyakarta, hlm. 34.
[2]Harun Nasution, 1985, hlm. 57 dan Badri Yatim, 1999, hlm. 36.
[3]Badri Yatim, 1999, hlm. 36.
[4]Harun Nasution, 1985, hlm. 57 dan Badri Yatim, 1999, hlm. 36.
[5]Hassan Ibrahim Hassan, 1989, hlm. 38
[6]Syibli Nu’man, 1981, Umar Yang Agung, Pustaka, Bandung, hlm. 264-276
dan 324-418.
[7]Badri Yatim, 1999, hlm. 38.
[8]Ibid. hlm. 38.
[9]Badri Yatim, 1999, hlm. 38
[10]Ibid. hlm. 38.
[11]Hassan Ibrahim Hassan, 1989, hlm. 64.
[12]Badri Yatim, 1999, hlm. 42.
[13]Harun Nasution, 1985, Jakrta,
hlm. 61
[14]Harun Nasution, 1985, Jakrta,
hlm. 61
[15]Philip K. Hatti, 1970, History of the Arabs, Macmillan, London, hlm.
281.
[16] Montgomery Watt,1990, hlm. 28.
[17]Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar