Setiap zaman memiliki sejarah yang berbeda, pemikiran-pemikiran yang
berbeda dan tokoh-tokoh yang berbeda jua. Islam yang diklaim sebagai agama yang
komprehensif, baik dari kalangan intern maupun kalangan ekstern- bahkan orientalis
sekalipun juga mempunyai cerita tersendiri dalam sejarah ke-tata negaraannya.
Bermula sejak Nabi telah memilki konsep dasar dalam bernegara , terbukti dengan
adanya penyebutan dalam sejarah yaitu adanya negara Madinah, yang dianggap
merupakan praktek bernegara pertama yang dilakukan Nabi, dengan konsep
diantaranya, Hak Azazi Manusia, serta penanaman sikap tenggang rasa antar
sesama umat beragama-diakatakan demikian, karena pada saat itu umat Yahudi juga
berdampingan dengan umat Islam di Madinah, dalam Al-Quran sendiri tidak
ditemukan adanya petunjuk eksplisit pada ayat-ayatnya mengenai tata cara
bernegara dalam Islam, melainkan hanya melalui penyebutan prinsip-prinsip dasar
dalam kehidupan sehari-hari.
Pada fase setelah wafat Nabi, dunia peraturan politik dan tata negara
mengalami berbagai perubahan, seperti pada masa Khalifah al-‘Arba’ah, system
negara memakai pola Khilafah, namun
setelah terjadinya pengkudetaan di masa
Ali, sistem kenegaraan berubah menjadi monarki atau kerajaan yang dimasa-masa selanjutnya
kekuasaan selalu diserahkan kepada putra mahkota, dimulai dengan pemegangan
tampuk kekuasaan Muawiyah bin Abi Sufyan dengan putra mahkotanya Yazid.
Ada ungkapan setiap zaman pasti memiliki pemikir yang disebut sebagai
anak zaman, dan dari tiap pemikir tersebut pasti akan menghasilkan berbagai
konsepsi yang berbeda-beda, bukan tidak mungkin kita yang ada pada saat ini,
hanya suatu saat nanti akan menjadi tokoh terkemuka dalam dunia perpolitikan
Islam, seperti halnya Al-Farabi dengan konsepnya yang sama dengan “Negara
Sempurna” Plato atau Muhammad Abduh yang menganut pemikiran sekularistik, tapi
jelas yang diharapkan bukan pemikiran-pemikiran yang sifatnya mem-plagiat pendapat orang lain ataupun yang
keluar dari koridor Islam, melainkan bentuk pemikiran “Otentik Islamiyyah” yang
mampu menjawab segala permasalahan yang terjadi pada masyarakat kita
1. FlashBack Tiga Zaman
Sejarah mencatat bahwa dunia politik bukan hanya dimulai sejak turunnya
Islam, namun jauh sebelum itu. Dalam kisah Nabi-nabi terdahulu, manusia sudah
mengenal system pemerintahan, seperti zaman Nabi Ibrahim
dengan rajanya “Namrudz” yang terkenal lalim.
Empat belas abad sudah Islam bertahan sebagai agama yang dipegang di
daerah Jazirah Arab, tentunya bukan merupakan waktu yang singkat, dan seiring
waktu yang terus berputar, segala permasalahan yang belum terjamah oleh
sejarah-sejarah Islam sebelumnya, menjadi sebuah problematika dalam kehidupan,
dan terdesak untuk dilegitimasikan oleh Islam, maka muncul para pemikir yang
handal serta menggagaskan konsep pemikirannya dan sampailah kepada kita buah
tangan dari mereka yang siap dikaji ulang serta siap untuk diperbaharui oleh
kita melihat dari situasi dan kondisi kita saat ini.
- Era Klasik dan Pertengahan
Dimulai dengan masa Khulafaurrasyidin-
di masa Nabi konsep bernegara dikenal dengan Negara Madinah, yang akan diulas
pada pembahasan selanjutnya- corak praktek dalam bernegara belum memiliki
teori-teori yang utuh, maka dari itu mekanisme penggantian Khalifah pun
berubah-ubah dari masa Abu Bakar kepada Umar dengan cara wasiat, Umar kepada
Usman dengan tim formatur, Usman kepada Ali dengan cara aklamasi. Setelah itu,
akhirnya kekuasaan Islam diambil alih oleh Mu’awiyah
dan mengawali sistem monarki dalam pemerintahan.
Pada Khalifah
Abbasiyah lah dimana ilmu pengetahuan berkembang
pesat dan kebebasan berfikir yang diberikan pemerintah, para ahli ilmu mulai
bermunculan, termasuk para pemikir politik, tokoh-tokoh yang terkenal
sebagaimana disebutkan Suyuthi Pulungan yaitu Al-Baqillani
(w. 1013 M), Al-Baghdadi (w. 1037
M), Ibn Abi Rabi (Hidup pada masa
Khalifah Al-Mu’tashim 833-842 M), Al-Mawardi
(974-1058
M), Al-Juwaini (1028-1087 M), Al-Ghazali (1058-1111 M), Ibn Taimiyah (1262-1328 M) dan Ibnu Khaldun (1332-1406 M) yang
terakhir disebutkan hidup pada abad pertengahan.
Kemudian dengan criteria memilih dan mengangkat pemimpin, para tokoh juga
lebih mengedepankan pemikiran yang Islam kental. Dengan memberikan berbagai
kriteria yang hampir-hampir menyerupai manusia yang sempurna, seperti menurut
Al-Farabi yang menetapkan bahwa seorang pemimpin harus memiliki 12 kualitas
luhur: lengkap anggota badannya, baik daya pemahamannya, tinggi
itelektualitasnya, pandai mengemukakan pendapatnya, dll. Bila kriteria yang ada
dua belas itu dimiliki semuanya oleh seseorang, maka ia berhak untuk ditunjuk
kepala negara apabila ada lebih dari satu orang maka yang lain menunggu giliran
untuk menjadi pengganti. Namun apabila dalam satu wilayah tidak ada yang
memiliki kriteria tersebut secara sempurna maka pemimpin negara dipikul secara
kolektif.
Tidak
ada pengklasifikasian yang jelas mengenai karakteristik pemikiran pada zaman
ini, namun bisa ditarik pernyataan bahwa pendapat para tokoh tersebut,
Pertama,
cenderung diwarnai oleh pemikiran dari alam Yunani, terutama konsep Plato, meskipun kadar pengaruh
itu tidak sama antara satu pemikir dengan pemikir yang lain.
Kedua,
selain Al-Farabi, mereka mendasarkan pikirannya atas penerimaan terhadap sistem
kekuasaan yang ada pada zaman mereka masing-masing. Bahkan diantara mereka ada
yang dalam penyajian gagasannya bertitik tolak pada pemberian legitimasi/
keabsahan kepada sistem pemerintahan yang ada, atau mempertahankan status quo bagi kepentingan penguasa,
dan baru kemudian menawarkan saran-saran perbaikan dan reformasi.
B. Era Kontemporer
Setelah
sekian lama dunia Islam tenggelam tertutp oleh peradaban barat (Pasca takluknya
Dinasti Abbasiyah,
selaku pusat pemerintahan Islam, ketangan bangsa Mongol) kemudian tersadarlah
para leader Islam (sejak abad XVIII M).
Bahwa pada saat itu Islam sudah tertinggal jauh dari peradaban lainnya. Dan bangkitlah mereka dengan berbagai upaya untuk
menghidupkan kembali dunia pemikiran Islam. Berbeda dengan dua masa sebelumnya,
para tokoh dimasa ini tidak mengemukakan kembali dasar-dasar berdirinya negara,
dll. Melainkan lebih terfokus pada praktek berpolitik praktis, seperti
Al-Maududi yang mengembangkan konsep Jihad (holy
war) guna pengembalian keeksistensian Islam. Sekalipun konsep jihad ini
mempunyai pandangan yang negative dari barat kepada pemeluknya.
Cita-cita
yang luhur tersebut ditandai dengan munculnya para tokoh dan beberapa
organisasi beserta pemikiran-pemikiran yang mengutamakan revivalisasi ajaran Islam, diantara tokoh-tokoh yang terkenal
adalah Sayid Jamal Al-Din Al-Afghani
(1838-1897 M), Muhammad Abduh
(1849-1905 M), Muhammad Rasyid Ridha
(1865-1935 M), Ali Abd Al-Raziq
(1888-1966 M), Hasan Al-Banna
(1906-1949 M), Sayyid Quthb
(1906-1966 M). Dua nama yang disebut terakhir adalah termasuk aktifis dari
organisasi Al-Ikhwan
Al-Muslimin, Abu Al-A’la Al-Maududi (1903-1979 M). Para
tokoh dalam upaya revivalisasi ini
terbagi kepada tiga corak; Sekuleristik, Moderat, Integralistik.
Diantara
yang mewakili dasar pemikiran sekuleristik sebenarnya hal ini
jalan sekuleristik merupakan bukan “barang” baru lagi dalam Islam, mengingat
pada pembahasan sebelumnya ada pemikiran Ibnu Taimiyah (dikutip dari buku
Munawir Syadzali) yang menyetujui pendapat, bahwa
seorang kepala negara yang adil walaupun tidak beragama Islam itu lebih baik,
daripada kepala negara muslim namun berbuat zalim adalah Ali Abd Al-Raziq.
Beliau mengemukakan pada bagian kedua kesimpulan dibukunya yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad
itu hanya seorang utusan Tuhan dan tidak diperintah untuk mendirikan sebuah
negara. Jelas, tergambar pada pernyataan Raziq diatas, Islam tidak mencampuri
urusan duniawi. Raziq mengambil dalil dari pernyataan dia yaitu hadits Nabi
yang berbunyi, “Kalian lebih mengetahui
urusan dunia Kalian”. Dalam pemikirannya pun Raziq banyak dipengaruhi dari
sang guru, Muhammad Abduh.
Pada
perkembangannya pemikiran Raziq sangat ditentang oleh orang-orang dari golongan
Islamic Oriented, yang mulanya sangat bersemangat untuk menanamkan kembali
sendi-sendi Islam pada setiap elemen kehidupan, namun ketika melihat dari
pengaruh Raziq mereka menjadi takut kalau-kalau pemikiran tersebut, memiliki
pengaruh yang sangat luas nantinya.
Kemudian,
pada golongan Moderat yang
menganggap bahwa Islam tidak sepenuhnya mencampuri urusan ketatanegaraan ialah Dr. Muhammad Husin Haikal dan Muhammad
Abduh. Meskipun Islam tidak memberikan bentuk baku dalam prototype bernegara, namun memberikan asas-asas yang nantinya
dipergunakan dalam bernegara. Oleh karena itu mereka memberikan keleluasaan
umat Islam untuk melihat pola bernegara yang dipakai oleh Barat, tentunya
dengan pemikiran yang masih satu rel dengan Islam.
Yang
ketiga, tipologi yang dipakai adalah tipe integralistik,
dimana Islam dan agama menyatu. Golongan ini merujuk kepada pemikiran-pemikiran
klasik, juga pola pemerintahan yang dianjurkan menurut golongan ini adalah tipe
pemerintahan yang dicontohkan oleh Rasulullah (negara-kota Madinah), dan juga
pola pemerintahan pada masa Khulafaurrasyidin,
mereka tidak menghendaki umat Islam meniru pada pola pemeritahan yang dipakai
oleh Barat. Tokohnya adalah Abu Al-A’la Al-Maududi, Sayyid Quthb, dan
ikhwannya, Muhammad
Rasyid Ridha.
Terdapat kegelisahan pemakalah, apakah pola pemerintahan seperti ini masih bisa
diterapkan, mengingat alur kehidupan pada saat ini yang tergolong majemuk. Dan menjunjung tinggi nilai-nilai moralitas. Dalam
pola ini Maududi mencetuskan gagasan rakyat mempunyai otoritas dalam hal
pengambilan kebijakan pada pemerintahan. Namun dibatasi oleh ketetapan yang
telah dicantumkan oleh nash, meminjam dari istilah Munawwir Syadzali, tipe negara
ini disebut Teodemokrasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar