7 Agustus 2012

TEOLOGI ALIRAN MU’TAZILAH


BAB I
PENDAHULUAN

      A.     Latar Belakang
            Pemikiran-pemikiran para filosof dari pada ajaran dan wahyu dari Allah sehingga banyak ajaran Islam yang tiddak mereka akui karena menyelisihi akal menurut prasangka mereka Berbicara perpecahan umat Islam tidak ada habis-habisnya, karena terus menerus terjadi perpecahan dan penyempalan mulai dengan munculnya khowarij dan syiah kemudian muncullah satu kelompok lain yang berkedok dan berlindung dibawah syiar akal dan kebebasan berfikir, satu syiar yang menipu dan mengelabuhi orang-orang yang tidak mengerti bagaimana Islam telah menempatkan akal pada porsi yang benar. sehingga banyak kaum muslimin yang terpuruk dan terjerumus masuk pemikiran kelompok ini. Akhirnya terpecahlah dan berpalinglah kaum muslimin dari agamanya yang telah diajarkan Rasulullah dan para shahabat-shahabatnya.
Akibat dari hal itu bermunculanlah kebidahan-kebidahan yang semakin banyak dikalangan kaum muslimin sehingga melemahkan kekuatan dan kesatuan mereka serta memberikan gambaran yang tidak benar terhadap ajaran Islam, bahkan dalam kelompok ini terdapat hal-hal yang sangat berbahaya bagi Islam yaitu mereka lebih mendahulukan akal dan mencampakan dalil-dalil dari Al-qur’an dan As-Sunnah.
Oleh karena itu sudah menjadi kewajiban bagi seorang muslim untuk menasehati saudaranya agar tidak terjerumus kedalam pemikiran kelompok ini yaitu kelompok Mu'tazilah yang pengaruh penyimpangannya masih sangat terasa sampai saat ini dan masih dikembangkan oleh para kolonialis kristen dan yahudi dalam menghancurkan kekuatan kaum muslimin dan persatuannya. Oleh karena itu perlu dibahas asal pemikiran ini agar diketahui penyimpangan dan penyempalannya dari Islam, maka dalam pembahasan kali ini dibagi menjadi beberapa pokok pembahasan.[1]

      B.     Perumusan Masalah
Dalam karya ilmiah ini penulis akan memaparkan pembahasan tentang teologi aliran Mu’tazilah seperti pembahasan di bawah ini.
      1.      Bagaimana sejarah perkembangan aliran Mu’tazilah ?
      2.      Apa doktirn-doktrin yang menjadi ajaran aliran Mu’tazilah ?
      3.      Siapa saja tokoh-tokoh Aliran Mu’tazilah ?
      C.     Tujuan Penulisan
Dari penjelasan di atas penulis bertujuan untuk memenuhi tugas akhir pada mata kuliah Bahasa Indonesia.

      D.     Manfaat Penulisan
Untuk memperdalam pemahaman mahasiswa agar mempunyai wawasan yang luas tentang teologi aliran Mu’tazilah.
 
BAB II
TEOLOGI ALIRAN MU’TAZILAH

      A.     Sejarah kemunculan
Sejarah munculnya mu’tazilah kelompok pemuja akal ini muncul di kota Bashrah (IraQ), pada abad ke-2 Hijriyah, antara tahun 105-110 H, tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan khalifa Hisyam Bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal, nah kemunculan ini adalah karena Wasil bin Atha' berpendapat bahwa muslim berdosa besar bukan mukmin dan bukan kafir yang berarti ia fasik. Imam Hasan al-Bashri berpendapat mukmin berdosa besar masih berstatus mukmin. Inilah awal kemunculan paham ini dikarenakan perselisihan tersebut antar murid dan Guru, dan akhirnya golongan mu’tazilah pun dinisbahkan kepadanya. Seiring dengan bergulirnya waktu, kelompok Mu’tazilah semakin berkembang dengan sekian banyak sektenya. Hingga kemudian para dedengkot mereka mendalami buku-buku filsafat yang banyak tersebar di masa khalifah Al-Makmun. Maka sejak saat itulah manhaj mereka benar-benar terwarnai oleh manhaj ahli kalam (yang berorientasi pada akal dan mencampakkan dalil-dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah).
Oleh karena itu, tidaklah aneh bila kaidah nomor satu mereka berbunyi: “Akal lebih didahulukan daripada syariat (Al Qur’an, As Sunnah dan Ijma’) dan akal-lah sebagai kata pemutus dalam segala hal. Bila syariat bertentangan dengan akal menurut persangkaan mereka, maka sungguh syariat tersebut harus dibuang atau ditakwil. Ini merupakan kaidah yang batil, karena kalaulah akal itu lebih utama dari syariat maka Allah akan perintahkan kita untuk merujuk kepadanya ketika terjadi perselisihan. Namun kenyataannya Allah perintahkan kita untuk merujuk kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, sebagaimana yang terdapat dalam Surat An-Nisa: 59. Kalaulah akal itu lebih utama dari syariat maka Allah tidak akan mengutus para Rasul pada tiap-tiap umat dalam rangka membimbing mereka menuju jalan yang benar sebagaimana yang terdapat dalam An-Nahl: 36. Kalaulah akal itu lebih utama dari syariat maka akal siapakah yang dijadikan sebagai tolok ukur?! Dan banyak hujjah-hujjah lain yang menunjukkan batilnya kaidah ini.
Mengapa disebut Mu’tazilah ? Mu’tazilah, secara etimologis bermakna: orang-orang yang memisahkan diri. Sebutan ini mempunyai suatu kronologi yang tidak bisa dipisahkan dengan sosok Al-Hasan Al-Bashri, salah seorang imam di kalangan tabi’in.Asy-Syihristani berkata: (Suatu hari) datanglah seorang laki-laki kepada Al-Hasan Al-Bashri seraya berkata: “Wahai imam dalam agama, telah muncul di zaman kita ini kelompok yang mengkafirkan pelaku dosa besar (di bawah dosa syirik). Dan dosa tersebut diyakini sebagai suatu kekafiran yang dapat mengeluarkan pelakunya dari agama, mereka adalah kaum Khawarij. Sedangkan kelompok yang lainnya sangat toleran terhadap pelaku dosa besar (di bawah dosa syirik), dan dosa tersebut tidak berpengaruh terhadap keimanan. Karena dalam madzhab mereka, suatu amalan bukanlah rukun dari keimanan dan kemaksiatan tidak berpengaruh terhadap keimanan sebagaimana ketaatan tidak berpengaruh terhadap kekafiran, mereka adalah Murji’ah umat ini. Bagaimanakah pendapatmu dalam permasalahan ini agar kami bisa menjadikannya sebagai prinsip (dalam beragama)?” Al-Hasan Al-Bashri pun berpikir sejenak dalam permasalahan tersebut. Sebelum beliau menjawab, tiba-tiba dengan lancangnya Washil bin Atha’ berseloroh: “Menurutku pelaku dosa besar bukan seorang mukmin, namun ia juga tidak kafir, bahkan ia berada pada suatu keadaan di antara dua keadaan, tidak mukmin dan juga tidak kafir.” Lalu ia berdiri dan duduk menyendiri di salah satu tiang masjid sambil tetap menyatakan pendapatnya tersebut kepada murid-murid Hasan Al-Bashri lainnya. Maka Al-Hasan Al-Bashri berkata: “Washil telah memisahkan diri dari kita”, maka disebutlah dia dan para pengikutnya dengan sebutan Mu’tazilah. Pertanyaan itu pun akhirnya dijawab oleh Al-Hasan Al-Bashri dengan jawaban Ahlussunnah Wal Jamaah: “Sesungguhnya pelaku dosa besar (di bawah dosa syirik) adalah seorang mukmin yang tidak sempurna imannya. Karena keimanannya, ia masih disebut mukmin dan karena dosa besarnya ia disebut fasiq (dan keimanannya pun menjadi tidak sempurna)”.[2]
      B.     Sebab penamaannya
Para Ulama telah berselisih tentang sebab penamaan kelompok (aliran) ini dengan nama Mu'tazilah menjadi beberapa pendapat:
Pertama: Berpendapat bahwa sebab penamaannya adalah karena berpisahnya Waashil bin Atho' dan Amr bin Ubaid dari majlis dan halaqohnya Al Hasan Al Bashry. Hal ini didasarkan oleh riwayat yang mengisahkan bahwa ada seseorang yang menemui Al Hasan Al Bashry, lalu berkata:wahai imam agama. Telah muncul pada zaman kita ini satu jamaah yang mengkafirkan pelaku dosa besar dan dosa besar menurut mereka adalah kekafran yang mengeluarkan pelakunya dari agama, dan mereka adalah Al Wa'iidiyah khowarij dan jamaah yang menangguhkan pelaku dosa besar, dan dosa besar menurut mereka tidak mengganggu (merusak) iman, bahkan amalan menurut mazhab mereka bukan termasuk rukun iman, dan iman tidak rusak oleh kemaksiatan, sebagaiman tidak bermanfaat ketaatan bersama kekufuran, dan mereka adalah murjiah umat ini, maka bagaimana engkau memberikan hukum bagi kami dalam hal itu secara i'tikad? Lalu Al Hasan merenung sebentar tentang hal itu, dan sebelum beliau menjawab, berkata Waashl bin Atho': saya tidak akan mengatakan bahwa pelaku dosa besar itu mu'min dan tidak juga kafir, akan tetapi dia di dalam satu kedudukan diantara dua kedudukan tersebut (manzlah baina manzilatain), tidak mu'min dan tidak kafir. Kemudian dia berdiri dan memisahkan diri ke satu tiang dari tiang-tiang masjid menjelaskan jawabannya kepada para murid Al Hasan, lalu berkata Al Hasan : telah berpisah (i'tizal) dari kita Washil, dan Amr bin Ubaid mengikuti langkah Waashil, maka kedua orang ini beserta pengikutnya dinamakan Mu'tazilah.
Berkata A Qodhi Abdul Jabaar Al Mu'tazily dalam menafsirkan sebab penamaan mereka ini:telah terjadi dialog antara Waashil bin Atho' dan Amr bin Ubaid dalam permasalahan ini -permasalahan pelaku dosa besar-lalu Amr bin Ubaid kembali ke mazhabnya dan meninggalkan halaqoh Al Hasan Al Bashry dan memisahkan diri, lalu mereka menamainya Mu'tazily, dan ini adalah asal penggelaran Ahlul Adil dengan Mu'tazilah.
Kedua: Berpendapat bahwa mereka dinamai demikian karena ucapan imam Qatadah kepada Utsman Ath Thowil: siapa yang menghalangimu dari kami? apakah mereka Mu'tazilah yang telah menghalangimu dari kami? Akujawab:ya.
BerkataIbnuAblIzzy : dan mu'tazilahadalah Amr bin Ubaid dan Waashil bin Atho' Al Ghozaalserta para pengikutnya, merekadinamakandemikiankarenamerekamemisahkandiri dari Al Jamaahsetelahwafatnya Al Hasan Al Bashry di awal-awalabadkedua dan merekaitubermajlissendiri dan terpisah, sehnggaberkataQotadah dan yang lainnya: merekalahMu'tazilah.
C.     Tokoh-tokoh aliran Mu’tazilah
Tokoh-tokoh aliran Mu’tazilah banyak jumlahnya dan masing-masing mempunyai pikiran dan ajaran-ajaran sendiri yang berbeda-beda dengan tokoh sebelumnya atau tokoh-tokoh pada masanya, sehingga masing-masing tokoh mempunyai aliran sendiri-sendiri. Dari segi geografis, aliran Mu’tazilah dibagi menjadi dua, yaitu aliran Mu”tazilah Basrah dan aliran Mu’tazilah Baghdad. Aliran Basrah dan yang pertama-tama mendirikan aliran Mu”tazilah.
Tokoh-tokoh aliran Basrah antara lain :
      1.      Wasil bin ‘Ata al Ghazzal (80-131 H/699-748 M)
      2.      Abdul Huzail Muhammad bin al Huzail al ‘Allaf (135-226 H/752-840 M)
      3.      Ibrahim bin Sayyar bin Hani an Nazzaham (wafat 231 H/845 M)
      4.      al Jubbai (wafat 303 H/915 M)
Tokoh-tokoh aliran Baghdad antara lain :
      1.      Basyr bin al Mu’tamir (wafat 226 H/840 M)
      2.      al Khayat (wafat 300 H/912 M)
Kemudian pada masa-masa berikutnya lagi ialah al Qadhi Abdul Jabbar (wafat 1024 M di Ray) dan az Zamachsyari (467-538 H/1075-1144 M).[3]
      D.     Doktrin mu’tazilah
Mempunyai doktrin yang selalu dipegang erat oleh mereka, bahkan di atasnya-lah prinsip-prinsip mereka dibangun. Doktrin itu mereka sebut dengan Al-Ushulul-Khomsah (lima landasan pokok).[4] Adapun rinciannya sebagai berikut dan sekaligus kami iringi dengan bantahan cara pemahaman mereka mengenai ajaran keislaman mereka, sebagai berikut :
      1.      Tauhid
Yang mereka maksud dengan At-Tauhid adalah mengingkari dan meniadakan sifat-sifat Allah, dengan dalil bahwa menetapkan sifat-sifat tersebut berarti telah menetapkan untuk masing-masingnya tuhan, dan ini suatu kesyirikan kepada Allah, menurut mereka. Oleh karena itu mereka menamakan diri dengan Ahlut-Tauhid atau Al-Munazihuuna lillah (orang-orang yang mensucikan Allah).
Bantahannya :                                 
                        1)      Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Dalil ini sangat lemah, bahkan menjadi runtuh dengan adanya dalil sam’i (naqli) dan ‘aqli yang menerangkan tentang kebatilannya. mensifati dirinya sendiri dengan sifat-sifat Adapun dalil sam’i bahwa Allah yang begitu banyak , padahal Dia Dzat Yang MahaTunggal.” Allah berfirman: “Sesungguhnya adzab Rabbmu sangat dahsyat. Sesungguhnya Dialah yang menciptakan (makhluk) dari permulaan dan menghidupkannya (kembali), Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Pengasih, Yang mempunyai ‘Arsy lagi Maha Mulia, Maha Kuasa berbuat apa yang dikehendaki-Nya.” (Al-Buruuj: 12-16).
“Sucikanlah Nama Rabbmu Yang Maha Tinggi, Yang Menciptakan dan Menyempurnakan (penciptaan-Nya), Yang Menentukan taqdir (untuk masing-masing) dan Memberi Petunjuk, Yang Menumbuhkan rerumputan, lalu Ia jadikan rerumputan itu kering kehitam-hitaman.” (Al-A’la: 1-5).
Adapun dalil ‘aqli: bahwa sifat-sifat itu bukanlah sesuatu yang terpisah dari yang disifati, sehingga ketika sifat-sifat tersebut ditetapkan maka tidak menunjukkan bahwa yang disifati itu lebih dari satu, bahkan ia termasuk dari sekian sifat yang dimiliki oleh dzat yang disifati tersebut. Dan segala sesuatu yang ada ini pasti mempunyai berbagai macam sifat.
                        2)      Menetapkan sifat-sifat Allah tanpa menyerupakannya dengan sifat makhluq bukanlah bentuk kesyirikan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata dalam Ar-Risalah Al-Hamawiyah: “Menetapkan sifat-sifat Allah tidak termasuk meniadakan kesucian Allah, tidak pula menyelisihi tauhid, atau menyamakan Allah dengan makhluk-Nya.” Bahkan ini termasuk konsekuensi dari tauhid al-asma wash-shifat. Sedangkan yang meniadakannya, justru merekalah orang-orang yang terjerumus ke dalam kesyirikan. Karena sebelum meniadakan sifat-sifat Allah tersebut, mereka terlebih dahulu menyamakan sifat-sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya. Lebih dari itu, ketika mereka meniadakan sifat-sifat Allah yang sempurna itu, sungguh mereka menyamakan Allah dengan sesuatu yang penuh kekurangan dan tidak ada wujudnya. Karena tidak mungkin sesuatu itu ada namun tidak mempunyai sifat sama sekali. Oleh karena itu Ibnul-Qayyim rahimahullah di dalam Nuniyyah-nya menjuluki mereka dengan ‘Abidul-Ma’duum (penyembah sesuatu yang tidak ada wujudnya). Atas dasar ini mereka lebih tepat disebut dengan Jahmiyyah, Mu’aththilah, dan penyembah sesuatu yang tidak ada wujudnya.
      2.      Al-‘adl ( Keadilan )
Yang mereka maksud dengan keadilan adalah keyakinan bahwasanya kebaikan itu datang dari Allah, sedangkan . Dalilnya kejelekan datang dari makhluk dan di luar kehendak (masyi’ah) Allah adalah firman Allah : “Dan Allah tidak suka terhadap kerusakan.” (Al-Baqarah: 205). “Dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya.” (Az-Zumar: 7). Menurut mereka kesukaan dan keinginan merupakan kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Sehingga mustahil bila Allah tidak suka terhadap kejelekan, kemudian menghendaki atau menginginkan untuk terjadi (mentaqdirkannya) oleh karena itu mereka menamakan diri mereka dengan nama Ahlul ‘Adl atau Al-‘Adliyyah.[5]
Bantahannya :
As-Syaikh Yahya bin Abil-Khair Al-‘imrani berkata : kita tidak sepakat bahwa kesukaan dan keinginan itu satu, dasarnya adalah dalam Al-Qur’an Allah berfirman : “Maka sesungguhnya Allah tidak menyukai Orang-orang kafir”.
Padahal kita semua tahu Allah-lah yang menginginkan adanya orang kafir tersebut dan Dia-lah yang menciptakan mereka. Terlebih lagi Allah telah menyatakan bahwasanya apa yang dikehendaki dan dikerjakan hamba tidak lepas dari kehendak dan ciptaan-Nya, Allah berfirman : “ Dan kalian tidak akan mampu menghendaki ( jalan itu ), kecuali bila dikehendaki Allah”. ( Al – Ihsan : 30 ). “Padahal Allah-lah yang meciptakan kalian dan yang kalian perbuat”. (Ash-Shaafaat : 96).
Dari sini kita tahu bahwa ternyata istilah keadilan itu mereka jadikan sebagai yang merupakan bagian dari takdir Allah , kedok untuk mengingkari kehendak Allah. Atas dasar inilah mereka lebih pantas dikatakan Qadariyyah, Majusyiah, dan orang-orang yang zalim.
      3.      Al-Wa’du Wal-Wa’id
Yang mereka maksud dengan landasan ini adalah bahwa wajib bagi Allah untuk memenuhi janji-Nya (al-wa’d) bagi pelaku kebaikan agar dimasukkan ke dalam Al-Jannah, dan melaksanakan ancaman-Nya (al-wa’id) bagi pelaku dosa besar (walaupun di bawah syirik) agar dimasukkan ke dalam An-Naar, kekal abadi di dalamnya, dan tidak boleh bagi Allah untuk menyelisihinya. Karena inilah mereka disebut dengan Wa’idiyyah.[6]
Bantahannya :
                        1)      Seseorang yang beramal shalih (sekecil apapun) akan mendapatkan pahalanya (seperti yang dijanjikan Allah) sebagai karunia dan nikmat dari-Nya. Dan tidaklah pantas bagi makhluk untuk mewajibkan yang demikian itu, karena termasuk pelecehan terhadap Rububiyyah-Nya dan sebagai bentuk keraguan kepada Allah terhadap Firman – Nya : “Sesungguhnya Allah tidak menyelisihi janji – Nya”. ( Ali-Imran : 9 ) Bahkan Allah mewajibkan bagi diri-Nya sendiri sebagai keutamaan untuk para hamba-Nya. Adapun orang-orang yang mendapatkan ancaman dari Allah karena dosa besarnya (di bawah syirik) dan meninggal dunia dalam keadaan seperti itu, maka sesuai dengan kehendak Allah. Dia Maha berhak untuk melaksanakan ancaman-Nya dan Maha berhak pula untuk tidak melaksanakannya, karena Dia telah mensifati diri-Nya dengan Maha Pemaaf, Maha Pemurah, Maha Pengampun, Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang. Terlebih lagi Dia telah menyatakan : “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik (bila pelakunya meninggal dunia belum bertaubat darinya) dan mengampuni dosa yang di bawah (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (An-Nisa: 48).
                        2)      Adapun pernyataan mereka bahwa pelaku dosa besar (di bawah syirik) kekal abadi di An-Naar, maka sangat bertentangan dengan firman Allah dalam Surat An-Nisa ayat 48 di atas, dan juga bertentangan dengan sabda Rasulullah SAW yang artinya: “Telah datang Jibril kepadaku dengan suatu kabar gembira, bahwasanya siapa saja dari umatku yang meninggal dunia dalam keadaan tidak syirik kepada Allah niscaya akan masuk ke dalam al-jannah.” Aku (Abu Dzar) berkata: “Walaupun berzina dan mencuri?” Beliau menjawab: “ Walaupun berzina dan mencuri “ ( HR. Al-Bukhori Dan muslim dari sahabat Abu Dzar Al-Ghiffari ) namun meskipun mungkin mereka harus masuk neraka terlebih dahulu.
      4.      Suatu keadaan di antara dua keadaan (Posisi di antara 2 posisi )
Yang mereka maksud adalah, bahwasanya keimanan itu satu dan tidak bertingkat-tingkat, sehingga ketika seseorang melakukan dosa besar (walaupun di bawah syirik) maka telah keluar dari keimanan, namun tidak kafir (di dunia). Sehingga ia berada pada suatu keadaan di antara dua keadaan (antara keimanan dan kekafiran).
Bantahannya :
                        1)      Bahwasanya keimanan itu bertingkat-tingkat, bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan, sebagaimana firman Allah : “Dan jika dibacakan ayat-ayat-Nya Kepada mereka, maka bertambahlah keimanan mereka”. ( Al-Anfal : 2 ). Dan juga firman-Nya : “Dan apabila diturunkan suatu surat, maka di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata: ‘Siapakah di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turunnya) surat ini?’ Adapun orang-orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya, sedang mereka merasa gembira. Dan adapun orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka dengan surat itu bertambah kekafiran mereka, di samping kekafirannya (yang telah ada) dan mereka mati dalam keadaan kafir”. ( At-Taubah : 124-125 ).
Dan dalam Firman-Nya yang lain juga : “(Yaitu) orang-orang (yang menaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan: ‘Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka’, maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: ‘Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung’.” (Ali ‘Imran: 173).
                        2)      Atas dasar ini, pelaku dosa besar (di bawah syirik) tidaklah bisa dikeluarkan dari keimanan secara mutlak. Bahkan ia masih sebagai mukmin namun kurang iman, karena Allah masih menyebut dua golongan yang saling bertempur (padahal ini termasuk dosa besar) dengan sebutan orang-orang yang beriman, sebagaimana dalam firman-Nya: “Dan jika ada dua golongan dari orang-orang yang beriman saling bertempur, maka damaikanlah antara keduanya.” (Al-Hujurat: 9)
     

      5.      Amar Ma’ruf Nahi Mungkar
Di antara kandungan landasan ini adalah wajibnya memberontak terhadap pemerintah (muslim) yang zalim. Bantahannya : Memberontak terhadap pemerintah muslim yang zalim merupakan prinsip sesat yang bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah. Sebagaimana Allah berfirman : “Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri (pimpinan) di antara kalian.” (An-Nisa: 59) Rasulullahbersabda: “Akan datang setelahku para pemimpin yang tidak mengikuti petunjukku dan tidak menjalankan sunnahku, dan sungguh akan ada di antara mereka yang berhati setan namun bertubuh manusia.” (Hudzaifah berkata): “Wahai Rasulullah, apa yang kuperbuat jika aku mendapati mereka?” Beliau menjawab: “Hendaknya engkau mendengar (perintahnya) dan menaatinya, walaupun punggungmu dicambuk dan hartamu diambil.” (HR. Muslim, dari shahabat Hudzaifah bin Al-Yaman).
Adapun ciri-ciri Mu’tazilah ialah suka berdebat, terutama di hadapan umum mereka yakin akan kekuatan fikiran, karena itulak suka berdebat dengan siapa saja yang berbeda pendapat dengannya.
Sekitar dua abad lamanya ajaran-ajaran mu’tazilah ini berpengaruh, karena diikuti atau didukung oleh penguasa waktu itu. Masalah-masalah yang diperdebatkan antara lain :
      1.      Sifat-sifat allah itu ada atau tidak
      2.      Baik dan buruk itu ditetapkan berdasarkan syara’ atau akal
      3.      Orang yang berdosa besar akan kekal di neraka atau tidak
      4.      Perbuatan manusia itu dijadikan oleh allah
      5.      Al-qur’an itu makhluk atau tidak
      6.      Allah itu bias dilihat di akhirat nanti atau tidak
      7.      Alam itu qodim atau hadits
      8.       Allah wajib membuat yang baik (shilah) dan yang lebih baik (ashlah).[7]
      E.      Pandangan Ulama
Para Ulama banyak mendepenisikan kalimat ini, sebagian ulama mendefinisikannya sebagai “satu kelompok dari qadariyah yang menyelisihi pendapat umat Islam dalam permasalahan hukum pelaku dosa besar yang dipimpin oleh Washil bin Atho' dan Amru bin Ubaid pada zaman Al Hasan Al Bashry”. Suatu persi menyebutkan munculnya Mu’tazilah adalah dari kisah Hasan Al-Bashri (105-110 H), yang berbeda pendapat dengan muridnya yang bernama washil bin ‘atha’ (80-131) pada masalah pelaku dosa besar. Maka dengan I’tizalnya’ dari majlis Hasan Al-bashri dinamakanlah Wasil dan orang-orang yang sepaham dengannya dengan Mu’tazilah. Mereka begitu hebat melobi dan memutar kata sehingga bisa memegang pemerintahan islam selama kurang lebih dua ratus tahun. Sebagaimana berselisih faham Hasan bashri dengan muridnya berselisih pula Abu Hasan Al-asy'ari (260-330) dengan gurunya yang bernama Abu Ali Al-juba’I (235-303) pada masalah sifat Allah swt yaitu wajibnya Allah swt berbuat baik.


BAB III
KESIMPULAN

      A.     Kesimpulan
Aliran Mu’taziliyah (memisahkan diri) muncul di Basrah, Irak pada abad 2 H. Kelahirannya bermula dari tindakan Wasil bin Atha (700-750 M) berpisah dari gurunya Imam Hasan al-Bashri karena perbedaan pendapat. Wasil bin Atha berpendapat bahwa muslim berdosa besar bukan mukmin bukan kafir yang berarti ia fasik. Imam Hasan al-Bashri berpendapat mukmin berdosa besar aliran Mu’tazilah yang menolak pandangan-pandangan kedua aliran di atas. Bagi Mu’tazilah orang yang berdosa besar tidaklah kafir, tetapi bukan pula mukmin. Mereka menyebut orang demikian dengan istilah al-manzilah bain al-manzilatain (posisi di antara dua posisi).
Aliran Mu’tazilah terdiri atas lima prinsip utama yaitu :
      1.      Tauhid
      2.      Keadilan (al-‘adl)
      3.      Janji dan ancaman (Al-Wa’du Wal-Wa’id)
      4.      Tempat diantara dua tempat (al Manzilatu bainal manzilatain)
      5.      Menyuruh kebaikan dan melarang segala kemungkaran (amar ma’ruf nahi mungkar).





 









DAFTAR PUSTAKA


           
      Rojak Abdul, Anwar Rosihon. ilmu kalam. 2006. CV Pustaka Setia, Bandung.
     
      Abdul Aziz. A. Sachedina, Kepemimpinan Dalam Islam, terjemahan: Ilyas Hasan, cetakan kedua, Mizan, Bandung, 1994

Abdul Karim Utsman, Syarh al-Ushul al-Khamsah, Maktabah Wahbah, Kairo, 1996

Ahmad Daudi, Kuliah Ilmu Kalam, Bulan Bintang, Jakarta, 1997

Ahmad Mahmud Subhi, Fii ‘Ilmi al-Kalami, Dar al-Nahdhah al-‘Arabiah, Beirut, 1985

Ahmad Warson Munawir, al-Munawwir, Yogyakarta, 1984

Jauhari, Heri, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah, CV Pustaka Setia, Bandung

http://www.almanhaj.or.id/content/1985/slash/0.
Nasution, Harun, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Anlisa Perbandingan, Jakarta :UI Press. 2002
Abu Fatiah, Al-Adnani, Agenda Al- Muzzai, Solo : Pustaka Amanah, 1999

Abdurrazak, Ilmu Kalam, Jakarta: Bulan Bintang, 2004

Anwar, Rosihan, Ilmu Kalam, Jakarta : Pustaka Setia, 2005

Dhuhri, Saifuddin, Diktat Kuliah¸ Lhokseumawe: STAIN Malikussaleh , 1999





[1]http://www.docstoc.com/docs/27379706/Aliran-Mutazilah
[2]Htp:// wiki. Myquran.org/index.php/Mu%27tazilah
[3]A.Hanafi.Pengantar Teologi Islam,2003,hlm.82-83
[4]Adapun lima prinsip dasar Mu’tazilah yaitu: at-Tauhid, al-‘Adl, al-Wa’ad wa al-Wa’id, al-manzilah baina al-Manzilataini, dan al-Amru bi al-Ma’ruf wa an-Nahi ‘ani al-Munkar, untuk lebih jelas lihat: Ahmad Mahmud Subhi, Fii ‘Ilmi al-Kalami (1) al-Mu’tazilah, Dar al-Nahdhah al-‘Arabiah, Beirut, 1985, h. 119
[5]Yunan Yusuf, Corak pemikiran kalam Tafsir al-Azhar, Penamadani, Jakarta, 2003, h. 93
[6]Zuhdi Jarallah, al-Mu’tazilah, Dar al Faris Li Nasyri wa al-Tauzik, Amman, 1990, h. 59

[7]H.Salim A.Nasir,Pengantar Ilmu Kalam,1995,hlm.117

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. solihat collection - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger