7 Agustus 2012

Pembentukan Lembaga-lembaga Negara pada Zaman Rasulullah



 A.     PEMERINTAHAN DI MASA RASULULLAH (11-13H)

Kajian terhadap Negara dan pemerintahan ini dapat diamati dengan menggunakan pendekatan. Normatif Islam yang menekankan pada pelaksanaan nash-nash Al-Qur’an dan sunnah nabi yang mengisayaratkan adanya praktek pemerintahan yang dilakukan nabi dalam rangka Siyasah syar’iyyah. Kedua, pendekatan dekriptif- histories yang mengidentikkan tugas-tugas yang dilakukan Nabi di bidang tugas-tugas Negara dan pemerintahan, hal ini dilihat dari sudut teori-teori politik dan ketatanegaraan.
            Terbentuknya Negara Madinah akubat dari perkembangan penganut Islam menjelma menjadi kelompok social dan memiliki kekuatan politik riil pada pasca periode Mekkah di bawah pimpinan Nabi.Pada periode Mekkah pengikut beliau yang jumlahnya relatif kecil belum menjadi suatu komunitas yang mempunyai wilayah kekuasaan dan berdaulat.Mereka merupakan golongan minoritas yang lemah dan tertindas, sehingga tidak mampu tampil menjadi kelompok social penekan terhadap kelompok mayoritas kala itu yang berada di bawah kekuasaan aritokrasi Quraisy, yang masyarakatnya homogen, tetapi setelah di Madinah, posisi Nabi dan umarnya mengalami perubahan besar.
Di kala itu mereka mempunyai kedudukan yang baik dan segera merupakan umat yang kuat dan
dapat berdiri sendiri.Nabi sendiri menjadi kepala dalam masyarakat yang baru dibentuk itu dan yang akhirnya merupakan suatu nagara.Suatu Negara yang dapat kekuasaannya di akhir zaman Nabi meliputi seluruh semenanjung Arabia. Dengan kata lain Madinah Nabi bukan lagi hanya mempnyai sifat rasul, tetapi juga sifat kepala Negara juga.[1]DB. Mc Donald juga menyatakan “disini, Madinah. Telah terbentuk Negara Islam pertama dan telah meletakkan dasar-dasar negeri Islam pertama dan telah meletakkan dasar-dasar politik bagi perundang-undang Islam.[2]
Dalam Negara Madinah itu, kata Thomas W. Arnald dalam waktu yang bersamaan Nabi adalah sebagai pemimpin agama dan kepala Negara. Fazlurrahman,[3] tokoh neo-modernismeIslam, juga membenarkan bahwa masyarakat Madinah yang diorganisir nabi itu mmerupakan suatu Negara dan pemerintahan yang membawa kepada terbentuknya suatu umat muslim.[4]
            Pada tahun 621 dan 622 M, Nabi berturut-turut mendapatkan dukungan moral dan dukungan politik dari sekelompok orang arab (suku Aus dan Khazraj). Kota yang menyatakan diri masuk Islam, peristiwa ini mempunyai keistimewaan tidak seperti halnya orang arab Mekkah musuh Islam. Karena di samping mereka menerima Islam sebagai agama mereka, juga mereka membaiat Nabi.
Dalam bai’at di tahun 621 M, dikenal dengan Bai’at Al-Aobah pertama. Mereka berikrar bahwa mereka tidak menyembah selain Allah, akan meninggalkan segala perbuatan jahat dan akan mentaati Rasulullah dalam segala hal yang benar, sedangkan pada Bai’at tahun 622 M, dikenal dengan Bia’at Aqobah kedua, mereka berjanji akan melindungi Nabi sebagaimana melindungi keluarga mereka. Nabi juga dalam kesempatan itu berjanji akan berjuang bersama mereka baik untuk berperang maupun untuk perdamaian.[5]
            Langkah berikutnya Nabi adalah menata kehidupan politik komunitas-komunitas di Madinah, sebab dengan hijrahnya kaum muslimin Mekkah ke kota itu. Masyarakatnya semakin bercorak heterogen dalam hal etnis dan keyakinan. Yaitu komunitas arab muslim yahudi dan komunitas arab paganis. Untuk itu Nabi menempuh dua cara, pertama, menata intern kehidupan kaum muslimin. Yaitu mempersaudarakan antara kaum muhajirin dan kaum anshar secara efektif.[6]
            Persaudaraan ini bukan diperkuat oleh hubungan darah dan kabilah, melainkan atas dasar ikatan agama (Iman), inilah awal terbentuknya komunitas Islam untuk pertama kali, yang menurut Hitti, merupakan “suatu miniature dunia Islam”[7] kedua, Nabi mempersyaratkan antara kaum muslimin dan kaum yahudi bersama sekutu-sekutunya, melalui perjanjian tertulis yang terkenal dengan Piagam Madinah.

B.     PEMERINTAHAN DIMASA AL-KHULAFA’AL-RASYIDUN

            Dalam bukunya, Islam dan tatanegara.Munawir Syadzali lebih mengkonsentrasikan bagaimana tampuk kekuasaan tertinggi dalam pemerintahan Negara Madinah itu berpindah tangan dari mendiang Rasulullah ke tangan para Khalifah penggantinya. Yang hal itu dapat dinilai-menurut hemat kami- terbagi menjadi dua periode yaitu masa kekholifahan Abu Bakar As-Shiddiq dan Umar bin Khattab, dimana pemilihan kedua khalifah ini berjalan lancar melalui jalur musyawarah, sedang periode kedua kendati juga melalui proses pemilihan demokratis namun, dikotori dengan pertempuran dua kubu antara Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Dan hal itulah yang nantinya menjadi bumbu terjadinya perpecahan di antara kaum muslimin.
            Namun begitu seperti kami jelaskan dimuak dalam uraian ini juga akan diulas bagaimana aspek-aspek kenegaraan lainnya pada masa kekholifahan keempat pengganti Nabi ini.

  1. KHALIFAH ABU BAKAR dan UMAR BIN KHATTAB

            Pemerintahan Abu Bakar (11-13H), pengangkatan Abu Bakar menjadi khalifah merupakan awal terbentuknya khalifah pertama dalam Islam, pada tahun pertama jabatan Abu Bakar kepemimpinannya langsung diuji. Ancaman yang timbul dari kalangan umat Islam sendiri, ancaman itu datang menghancurkan bangunan struktur Islam dan tatanan kehidupan umar Islam oleh Nabi dengan susah payah karena tidak lama setelah Nabi wafat dan Abu Bakar terpilih menjadi khalifah, muncul sekelompok umat Islam di berbagai daerah menentang kepemimpinannya.
            Faktor keberhasilan Abu Bakar yang lain membangun pranata social di bidang politik dan pertahanan keamanan keberhasilan tersebut tidak pula lepas dari sikap keterbukaan beliau yaitu memberikan hak dan kesempatan yang sama kepada tokoh sahabat untuk ikut membicarakan berbagai masalah sebelum ia mengambil kepurusan melalui forum musyawarah sebagai lembaga-lembaga legislatif. Hal ini mendorong para sahabat khususnya dan pada umumnya berpartisipasi aktif untuk melaksanakan berbagai keputusan yang dibuat.
            Sedangkan tugas-tugas eksekutif ia dilegislasikan kepada para sahabat baik untuk pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan di madinah maupun pemerintahan di daerah untuk menjalankan tugas pemerintahan di Madinah ia mengangkat Ali bin Abi Thalib dan Utsman bin Affan dan Zaid bin Tsabit sebagai katib (sekretaris), dan Abu Ubadah sebaga bendaharawan, mengurusi baitul maal. Di samping tugas kemiliteran : mengangkat panglima-panglima perang sebagai disebut di atas, untuk tugas yudikatif ia mengangkat Umar bin Khattab sebagai hakim agung.
            Adapun unsur pemerintahan dinas kota Madinah khalifah Abu Bakar membagi wilayah kekuasaan hukum Negara Madinah menjadi beberapa propinsi. Dan tiap propinsi menugaskan seorang Amiratau wali (setingkat jabatan gubernur) 1) Itab bin Asid untuk Mekkah, Amir yang diangkat dimasa Nabi. 2) Usman bin Abi Al-Ash Amir untuk Thaif, amir yang diangkat dimasa Nabi. 3) Al-Muhajir bin Abi Umayyah, amir untuk San’a. 4) Ziyad bin Labid, amir untuk Hadramaut. 5) Ya’la bin Umayyah, amir untuk Zubaid dan untuk rima’. 6) Muadz bin Jabal amir untuk Janad. 7) Jarir bin Abdillah untuk Najran. 8) Abdullah bin Tsur amir untuk Jaray. 9) Al Ala’ bin al-Hadrami amir untuk Bahrain dan Umuh Irah dan Syam (Syiria). Dipercayakan kepada para pemimpin militer sebagai Wulaat Al-Amri.Para amir tersebut juga bertugas sebagai pemimpin agama (sebagai imam dalam shalat).Menetapkan hukum dan melaksanakan Undang-Undang.Artinya seorang amir di samping sebagai pemimpin agama, sebagai hakim dan pelaksanaan tugas kepolisian.[8]Namun demikian kepada setiap amir, diberi hak untuk mengangkat pembantu-pembantunya seperti katib, amil dan lain-lain sebagainya.
            Praktek pemerintahan Khalifah Abu Bakar terpenting lainnya adalah mengenai suksesi kepemimpinan atas inisiatifnya sendiri dengan menunjuk Umar bin Khattab untuk menggantikannya.[9]Ada beberapa faktor yang mendorong Abu Bakar untuk menunjuk atau mencalonkan Umar menjadi khalifah kedua. Faktor utama adalah kehawatirannya akan berulang kembali peristiwa yang sangat menegangkan di Tsaqifah Bani Saidah yang nyaris menyeret umat Islam ke jurang perpecahan, bila ia tidak menunjuk seseorang yang akan menggantikannya pada saat itu antara kaum anshar dan kaum muhajirin sebagai golongan-golongan yang berhak menjadi khalifah.
            Begitu pula terasa pemilihan Umat bin Khattab hampir tidak menimbulkan perbedaan, mengingat pertimbangan-pertimbangan, yaitu bahwa untuk menghadapi sejubel persoalan umat Islam pasca Abu Bakar, maka dibutuhkan kepemimpinan seorang yang tegas dan berwibawa. Tak lain Umar lah orangnya.
            Catatan histories menorehkan bahwa Umar bin Khattab, panji-panji Islam kian berkibar bahkan dengan adanya perluasan ke wilayah-wilayah seperti juga dilakukan oleh Abu Bakar kekuatan Islam kian terasa. Di samping itu dari segi pemerintahan ada berbagai kebijakan Umar yang dinilai sangat brilian, salah satunya adalah desentralisasi administrasi Negara, untuk itu Muhammad Thair Azhary.[10]Menyatakan dalam bukunya bahwa Umar-lah khalifah Islam yang melakukan desentralisasi administrasi Negara itu dan bahkan Negara Islam Madinah mengalami masa kejayaannya pada masa khalifah kedua ini.Sistem otonomi yang diterapkan ini tentunya juga menuntut perubahan sistem kinerja pemerintahan di wilayah-wilayah bagian, untuk itu tak jarang jika ditemukan terjadi semacam pengembangan struktur pemerintahan yang pada generasi sebelumnya tidak ditemukan.
            Namun tragedi yang tak diinginkan terjadi, yaitu buntut dari pemberontakan yang juga kerap terjadi adalah tewanya khalifah Umar sendiri.Yang di tenggarai dibunuh oleh Abu Lu’luah.[11]

  1. USMAN BIN AFFAN DAN ALI BIN ABI THALIB

Di samping perluasan wilayah dan perbaikan ketatanegaraan.Madinah kebijakan dua khalifah terakhir dari khulafa ar- Rasyidun ini juga sangatlah terasa, termasuk di dalamnya pembinaan kehidupan masyarakat yang boleh dikata lebih plural dari semua pemerintahan sebelumnya. Ali bin Abi Thalib misalnya, yang menurut Mujar Ibnu Syarif tak jauh beda dengan perlakuan Umar bin Khattab terhadap kaum minoritas, dalam hal ini adalah kaum non-muslim, termasuk dalam pengurusan Jizyah- terhadap kaum dzimmiyah (ahl al-dzimmah) terkait denang kasus pembunuhan seorang ahl al-dzimmah oleh seorang muslim. Setelah terbukti bahwa si muslim bersalah, maka Ali bin Abi Thalib tun tidak segan untuk menjatuhkan hukuman qishass kepada si muslim. Namun sebelum pelaksanaan eksekusi qishash terlaksana, pihak korban mengampuni kesalahan Muslim itu, maka setelah mempertimbangkan kemungkinan munculnya pemaafan itu, maka akhirnya memutuskan hukum diyat kepada si pembunuh
Bidang pemerintahan banyak terjadi kekusutan sejarah, luka sejarah yang seharusnya tidak terjadi, yaitu keterpecahan kaum muslim atas kebijakan politik Utsman yang dinilai KKN dengan memilih para sanak kerabatnya sebagai pejabat Negara. Begitu pula dengan Ali bin Abi Thalib yang sebenanya tidak terkait dengan kebijaknnya, melainkan meluasnya pemberontakan yang menjadi pemicu atas keterpecahan umat Islam itu sendiri- berakhir dengan sejumlah peperangan melawan pemerintah- dalam hal ini Ali sendiri dan akhirnya ia terbunuh dalam sebuah insiden pembunuhan.
Namun terlepas dari titik hitam sejarah pemerintahan Islam itu. Dua kholifah ini tak jauh beda dengan para pendahulunya. Seorang pemimpin yang adil dan bernafaskan ajaran yang tidak lain adalah peninggalan Rasulullah SAW. Yang secara global dapat dirumuskan bahwa sejak masa Nabi hingga Ali bin Abi Thalib banyak bentuk pengembangan dalam dunia pemerintahan Islam, baik secara struktural maupn yuridis dan perluasan wilayah. Akhirnya menutup ulasan waktu itu adalah NOMOKRASI, disamping dalam bentuk republic yang sangat kental dengan konsep demokrasi musyawarahnya. Kendati ada secuil perbedaan antara kepemimpinan proses keterpilihan masing-masing. Dan legalitas kepemimpinannya.Yang dalam hal ini Nabi adalah teratas, mengingat wahyu selalu menyertai beliau.





[1] Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai aspeknya, (Jakarta : UI- press, 1986), h. 92
[2] Seperti dikutip oleh Muhammad Dhiya’ al-Din al- Rayis, al-Nadzariyat as-Siyasah al-Islamiyah, (Mesir : Al-Ajlu, 1957), h. 15.
[3] Thomas W Arnold, the caliphate, (London : Routladge And Leegan Paul Paul LTD, 1965), h. 30.
[4] Fazlurrahman, The Islam Concept, dalam Jhon J. Donohue and L. Esposito (ed), Islam transistion ; muslim perspective, (New york: Oxpord University Press, 1982), h. 261
[5] Ibnu Ishqa, Sirat Rasul Allah, terjemahan Inggris oleh A. Guilaume, the life of Muhammad, (Karachi: Oxpord University Press, 1970), h. 198-204. Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh Al-Islam, Jilid I,(Kairo:Al-Maktabah Al-nahdloh Al—Mishriyah, 1979), h. 95-97.
[6]Ibnu Hisyam, Sirat al-Nabawiyah, Jilid I, (Mathba’ah Muhammad Ali Shabit, tt), h. 303-304.
[7] Philip K. Hitti, Capital Cities Of Arab Islam, (Minneapolis: University of Mineesota,1973), h. 35.
[8]Ibid, hal. 97-98
[9]Ibid, hal. 100-103
[10] Muhammad Thair Azhary, Negara Hukum; Suatu –Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya   Dari Segi Hukum Islam, Implementasinya Pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, (Bandung : Angkasa,2003), hal. 42
[11] Mujar Ibnu Syarif, Hak-Hak Politik Ninoritas Non Muslim Dalam Komunitas Islam, (Bandung : Angkasa, 2003), hal. 42

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. solihat collection - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger