6 Agustus 2012

KONSEP BERNEGARA DALAM ISLAM



Setiap zaman memiliki sejarah yang berbeda, pemikiran-pemikiran yang berbeda dan tokoh-tokoh yang berbeda jua. Islam yang diklaim sebagai agama yang komprehensif, baik dari kalangan intern maupun kalangan ekstern- bahkan orientalis sekalipun juga mempunyai cerita tersendiri dalam sejarah ke-tata negaraannya. Bermula sejak Nabi telah memilki konsep dasar dalam bernegara , terbukti dengan adanya penyebutan dalam sejarah yaitu adanya negara Madinah, yang dianggap merupakan praktek bernegara pertama yang dilakukan Nabi, dengan konsep diantaranya, Hak Azazi Manusia, serta penanaman sikap tenggang rasa antar sesama umat beragama-diakatakan demikian, karena pada saat itu umat Yahudi juga berdampingan dengan umat Islam di Madinah, dalam Al-Quran sendiri tidak ditemukan adanya petunjuk eksplisit pada ayat-ayatnya mengenai tata cara bernegara dalam Islam, melainkan hanya melalui penyebutan prinsip-prinsip dasar dalam kehidupan sehari-hari.
Pada fase setelah wafat Nabi, dunia peraturan politik dan tata negara mengalami berbagai perubahan, seperti pada masa Khalifah al-‘Arba’ah, system negara memakai pola Khilafah, namun
setelah terjadinya pengkudetaan di masa Ali, sistem kenegaraan berubah menjadi monarki atau kerajaan yang dimasa-masa selanjutnya kekuasaan selalu diserahkan kepada putra mahkota, dimulai dengan pemegangan tampuk kekuasaan Muawiyah bin Abi Sufyan dengan putra mahkotanya Yazid.
Ada ungkapan setiap zaman pasti memiliki pemikir yang disebut sebagai anak zaman, dan dari tiap pemikir tersebut pasti akan menghasilkan berbagai konsepsi yang berbeda-beda, bukan tidak mungkin kita yang ada pada saat ini, hanya suatu saat nanti akan menjadi tokoh terkemuka dalam dunia perpolitikan Islam, seperti halnya Al-Farabi dengan konsepnya yang sama dengan “Negara Sempurna” Plato atau Muhammad Abduh yang menganut pemikiran sekularistik, tapi jelas yang diharapkan bukan pemikiran-pemikiran yang sifatnya mem-plagiat pendapat orang lain ataupun yang keluar dari koridor Islam, melainkan bentuk pemikiran “Otentik Islamiyyah” yang mampu menjawab segala permasalahan yang terjadi pada masyarakat kita
1. FlashBack Tiga Zaman
Sejarah mencatat bahwa dunia politik bukan hanya dimulai sejak turunnya Islam, namun jauh sebelum itu. Dalam kisah Nabi-nabi terdahulu, manusia sudah mengenal system pemerintahan, seperti zaman Nabi Ibrahim dengan rajanya “Namrudz” yang terkenal lalim.
Empat belas abad sudah Islam bertahan sebagai agama yang dipegang di daerah Jazirah Arab, tentunya bukan merupakan waktu yang singkat, dan seiring waktu yang terus berputar, segala permasalahan yang belum terjamah oleh sejarah-sejarah Islam sebelumnya, menjadi sebuah problematika dalam kehidupan, dan terdesak untuk dilegitimasikan oleh Islam, maka muncul para pemikir yang handal serta menggagaskan konsep pemikirannya dan sampailah kepada kita buah tangan dari mereka yang siap dikaji ulang serta siap untuk diperbaharui oleh kita melihat dari situasi dan kondisi kita saat ini.


  1. Era Klasik dan Pertengahan
Dimulai dengan masa Khulafaurrasyidin- di masa Nabi konsep bernegara dikenal dengan Negara Madinah, yang akan diulas pada pembahasan selanjutnya- corak praktek dalam bernegara belum memiliki teori-teori yang utuh, maka dari itu mekanisme penggantian Khalifah pun berubah-ubah dari masa Abu Bakar kepada Umar dengan cara wasiat, Umar kepada Usman dengan tim formatur, Usman kepada Ali dengan cara aklamasi. Setelah itu, akhirnya kekuasaan Islam diambil alih oleh Mu’awiyah dan mengawali sistem monarki dalam pemerintahan.
Pada Khalifah Abbasiyah lah dimana ilmu pengetahuan berkembang pesat dan kebebasan berfikir yang diberikan pemerintah, para ahli ilmu mulai bermunculan, termasuk para pemikir politik, tokoh-tokoh yang terkenal sebagaimana disebutkan Suyuthi Pulungan yaitu Al-Baqillani (w. 1013 M), Al-Baghdadi (w. 1037 M), Ibn Abi Rabi (Hidup pada masa Khalifah Al-Mu’tashim 833-842 M), Al-Mawardi (974-1058 M), Al-Juwaini (1028-1087 M), Al-Ghazali (1058-1111 M), Ibn Taimiyah (1262-1328 M) dan Ibnu Khaldun (1332-1406 M) yang terakhir disebutkan hidup pada abad pertengahan.
Kemudian dengan criteria memilih dan mengangkat pemimpin, para tokoh juga lebih mengedepankan pemikiran yang Islam kental. Dengan memberikan berbagai kriteria yang hampir-hampir menyerupai manusia yang sempurna, seperti menurut Al-Farabi yang menetapkan bahwa seorang pemimpin harus memiliki 12 kualitas luhur: lengkap anggota badannya, baik daya pemahamannya, tinggi itelektualitasnya, pandai mengemukakan pendapatnya, dll. Bila kriteria yang ada dua belas itu dimiliki semuanya oleh seseorang, maka ia berhak untuk ditunjuk kepala negara apabila ada lebih dari satu orang maka yang lain menunggu giliran untuk menjadi pengganti. Namun apabila dalam satu wilayah tidak ada yang memiliki kriteria tersebut secara sempurna maka pemimpin negara dipikul secara kolektif.
Tidak ada pengklasifikasian yang jelas mengenai karakteristik pemikiran pada zaman ini, namun bisa ditarik pernyataan bahwa pendapat para tokoh tersebut,
Pertama, cenderung diwarnai oleh pemikiran dari alam Yunani, terutama konsep Plato, meskipun kadar pengaruh itu tidak sama antara satu pemikir dengan pemikir yang lain.
Kedua, selain Al-Farabi, mereka mendasarkan pikirannya atas penerimaan terhadap sistem kekuasaan yang ada pada zaman mereka masing-masing. Bahkan diantara mereka ada yang dalam penyajian gagasannya bertitik tolak pada pemberian legitimasi/ keabsahan kepada sistem pemerintahan yang ada, atau mempertahankan status quo bagi kepentingan penguasa, dan baru kemudian menawarkan saran-saran perbaikan dan reformasi.
B.     Era Kontemporer
Setelah sekian lama dunia Islam tenggelam tertutp oleh peradaban barat (Pasca takluknya Dinasti Abbasiyah, selaku pusat pemerintahan Islam, ketangan bangsa Mongol) kemudian tersadarlah para leader Islam (sejak abad XVIII M). Bahwa pada saat itu Islam sudah tertinggal jauh dari peradaban lainnya. Dan bangkitlah mereka dengan berbagai upaya untuk menghidupkan kembali dunia pemikiran Islam. Berbeda dengan dua masa sebelumnya, para tokoh dimasa ini tidak mengemukakan kembali dasar-dasar berdirinya negara, dll. Melainkan lebih terfokus pada praktek berpolitik praktis, seperti Al-Maududi yang mengembangkan konsep Jihad (holy war) guna pengembalian keeksistensian Islam. Sekalipun konsep jihad ini mempunyai pandangan yang negative dari barat kepada pemeluknya.
Cita-cita yang luhur tersebut ditandai dengan munculnya para tokoh dan beberapa organisasi beserta pemikiran-pemikiran yang mengutamakan revivalisasi ajaran Islam, diantara tokoh-tokoh yang terkenal adalah Sayid Jamal Al-Din Al-Afghani (1838-1897 M), Muhammad Abduh (1849-1905 M), Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935 M), Ali Abd Al-Raziq (1888-1966 M), Hasan Al-Banna (1906-1949 M), Sayyid Quthb (1906-1966 M). Dua nama yang disebut terakhir adalah termasuk aktifis dari organisasi Al-Ikhwan Al-Muslimin, Abu Al-A’la Al-Maududi (1903-1979 M). Para tokoh dalam upaya revivalisasi ini terbagi kepada tiga corak; Sekuleristik, Moderat, Integralistik.
Diantara yang mewakili dasar pemikiran sekuleristik sebenarnya hal ini jalan sekuleristik merupakan bukan “barang” baru lagi dalam Islam, mengingat pada pembahasan sebelumnya ada pemikiran Ibnu Taimiyah (dikutip dari buku Munawir Syadzali) yang menyetujui pendapat, bahwa seorang kepala negara yang adil walaupun tidak beragama Islam itu lebih baik, daripada kepala negara muslim namun berbuat zalim adalah Ali Abd Al-Raziq. Beliau mengemukakan pada bagian kedua kesimpulan dibukunya yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad itu hanya seorang utusan Tuhan dan tidak diperintah untuk mendirikan sebuah negara. Jelas, tergambar pada pernyataan Raziq diatas, Islam tidak mencampuri urusan duniawi. Raziq mengambil dalil dari pernyataan dia yaitu hadits Nabi yang berbunyi, “Kalian lebih mengetahui urusan dunia Kalian”. Dalam pemikirannya pun Raziq banyak dipengaruhi dari sang guru, Muhammad Abduh.
Pada perkembangannya pemikiran Raziq sangat ditentang oleh orang-orang dari golongan Islamic Oriented, yang mulanya  sangat bersemangat untuk menanamkan kembali sendi-sendi Islam pada setiap elemen kehidupan, namun ketika melihat dari pengaruh Raziq mereka menjadi takut kalau-kalau pemikiran tersebut, memiliki pengaruh yang sangat luas nantinya.
Kemudian, pada golongan Moderat yang menganggap bahwa Islam tidak sepenuhnya mencampuri urusan ketatanegaraan ialah Dr. Muhammad Husin Haikal dan Muhammad Abduh. Meskipun Islam tidak memberikan bentuk baku dalam prototype bernegara, namun memberikan asas-asas yang nantinya dipergunakan dalam bernegara. Oleh karena itu mereka memberikan keleluasaan umat Islam untuk melihat pola bernegara yang dipakai oleh Barat, tentunya dengan pemikiran yang masih satu rel dengan Islam.
Yang ketiga, tipologi yang dipakai adalah tipe integralistik, dimana Islam dan agama menyatu. Golongan ini merujuk kepada pemikiran-pemikiran klasik, juga pola pemerintahan yang dianjurkan menurut golongan ini adalah tipe pemerintahan yang dicontohkan oleh Rasulullah (negara-kota Madinah), dan juga pola pemerintahan pada masa Khulafaurrasyidin, mereka tidak menghendaki umat Islam meniru pada pola pemeritahan yang dipakai oleh Barat. Tokohnya adalah Abu Al-A’la Al-Maududi, Sayyid Quthb, dan ikhwannya, Muhammad Rasyid Ridha. Terdapat kegelisahan pemakalah, apakah pola pemerintahan seperti ini masih bisa diterapkan, mengingat alur kehidupan pada saat ini yang tergolong majemuk. Dan menjunjung tinggi nilai-nilai moralitas. Dalam pola ini Maududi mencetuskan gagasan rakyat mempunyai otoritas dalam hal pengambilan kebijakan pada pemerintahan. Namun dibatasi oleh ketetapan yang telah dicantumkan oleh nash, meminjam dari istilah Munawwir Syadzali, tipe negara ini disebut Teodemokrasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. solihat collection - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger